Mandub, Sunnah, Mustahab dan Tathowu'
Tuesday, 8 July 2014
SUDUT
HUKUM | Mandub adalah segala sesuatu yang apabila dikerjakan akan mendapatkan
pahala, dan jika ditinggalkan tidak mendapatkan siksa. Atau segala
sesuatu yang terpuji secara syar’I jika dikerjakan dan tidak dicela
secara syar’I ketika ditinggalkan . Atau sesuatu yang diperintahkan oleh syara’
secara tidak tegas.
Adapun
al-Sunnah adalah sesuatu yang dikerjakan oleh Rosulullah saw secara rutin.
At
Tathowu’ adalah apa yang dikerjakan oleh seseorang atas inisiatifnya sendiri,
akan tetapi masih dalam kerangka syar’i. Mungkin bisa kita katakana bahwa
Tathowu’ adalah sunnah-sunnah yang masih mutlak, seperti sholat sunnah
mutlak,atau membaca Al Qur’an dan berdoa kapan kita mau dan lain
sebagainya. Dalam suatu hadist disebutkan bahwa seorang badui bertanya
kepada rosulullah saw tentang kewajiban sholat , maka Rosulullah saw menjawab
bahwa yang menjadi kewajiban adalah sholat lima waktu, setelah itu orang badui
tersebut bertanya ; “ Adakah kewajiban sholat selain itu ? ‘ Rosulullah saw
menjawab “ Tidak, kecuali anda melakukan Sholat Tathowu’ “
Sebagian
ulama mengatakan bahwa Mandub lebih umum dari pada yang lain-lainnya. Mandub
sendiri mempunyai beberapa tingkatan :
1/ Sunnah
Muakkadah , adalah sesuatu yang dikerjakan oleh Rosulullah saw secara rutin,
seperti, sholat witir, sholat 2 rekaat sebelum fajar, sholat rowatib.
Termasuk juga menikah, karena Rosulllah saw bersabda :
من
أحب فطرتي فليستن بسنتي ومن سنتي النكاح
“ Barang siapa yang cinta dengan “ fitroh-ku “ , maka hendaknya dia melaksanakan sunnah-ku, dan diantara sunnah-ku adalah menikah “ ( HR Baihaqi : 7/ 78 )
2/ Sunnah ghoir muakkadah ,
seperti sholat Dhuha, sholat empat rekaat sebelum Dhuhur, dan lain sebagainya.
Sebagian
ulama lain membedakan antara istilah –istilah tersebut sebagai berikut :
1/ Sunnah
adalah sesuatu yang dilakukan berjama’ah, seperti sholat Terawih, sholat I’ed
Fitri dan I’ed Adha.
Sebagian
ulama mengatakan bahwa Sunnah di dalam I istilah syar’I lebih umum dari pada
Mandub, karena Sunnah kadang berarti wajib, seperti halnya membaca Al Fatihah
di dalam sholat Jenayah dengan mengeraskan suara. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas
ra , ketika beliau membaca surat Al Fatihah dengan suara keras di dalam sholat
Jenayah, kemudian beliau mengatakan : Ini saya lakukan agar mereka mengetahui
bahwa hal ini adalah sunnah ( Bukhari no : 1335 )
Contoh
lain dari sunnah yang berarti wajib adalah apa yang dikatakan oleh Anas
ra :
“ Termasuk dari sunnah adalah jika seseorang menikah dengan perawan, padahal dia telah menikah dengan janda, maka hendaknya dia tinggal bersamanya ( bersama perawan tersebut ) selama tujuh hari.( Bukhari no : 5213 ,Muslim no : 3562 )
Perkataan
Sunnah yang dimaksud oleh Anas ra di atas adalah suatu kewajiban yang harus
dikerjakan oleh laki-laki terhadap istrinya yang baru.
Sebagian
ulama lain berpendapat bahwa Sunnah adalah sesuatu yang berdasarkan sunnah atau
hadist. Sedangkan Mustahab adalah sesuatu yang berdasarkan ijtihad
. Tetapi pendapat ini tentunya sangat lemah, karena sangat jauh kalau dikatakan
bahwa yang berdasarkan ijtihad adalah sunnah.
Yang
perlu diperhatikan di sini adalah bahwa pada hakekatnya hal-hal yang disebut di
atas ( baik itu yang disebut mandub, sunnah, tathowu’ ataupun mustahab ) jika
dikerjakan akan mendapatkan pahala atau terpuji dan jika ditinggalkan
tidak akan mendapatkan siksa, atau tidak dicela. Namun jika seseorang
meninggalkannya secara keseluruhan dari sunnah yang ada, barangkali dia akan
tercela bahkan oleh sebagian ulama menyebutnya orang fasik yang tidak
diterima persaksiannya. Sebagai contoh bahwa adzan adalah sunnah, namun jika
suatu kampung tidak ada yang mengumandangkannya, maka kampong tersebut boleh
diperangi. Begitu juga jika meninggalkan sholat Ied Fitri dan Ied Adha. Seperti
halnya juga sholat berjama’ah yang menurut sebagian ulama adalah sunnah
muakkadah, namun jika seseorang meninggalkannya secara terus menerus, maka dia
termasuk orang yang tercela, bahkan Rosulullah saw hendak membakar orang-orang
yang sama sekali tidak pernah sholat jama’ah di masjid.
( [1] ) Imam
Ahmad berpendapat bahwa melakukan pengobatan dengan bekam adalah sesuatu yang
mustahab, maka beliau berusaha mempraktekannya walau hanya satu kali
dalam hidup ini. Namun sebagian ulama berpendapat bahwa pengobatan dengan
bekam bukanlah sesuatu yang mustahab, akan tetapi hanyalah salah satu bentuk
pengobatan yang dilakukan oleh orang Arab pada saat itu, sehingga seorang
muslim tidak diharuskan mempraktekkannya.
( [2] ) Oleh
karenanya sebagian ulama mengingkari orang yang melakukan sholat tahajud dengan
berjama’ah ( di luar bulan Ramadlan ) , karena sholat Tahajud ini
ditetapkan untuk dikerjakan sendiri-sendiri, jika dikerjakan secara
bersama-sama, dengan alasan bagaimanapun juga, berarti telah menyimpang dari
tujuan utamanya, dan dikatagorikan sebagai perbuatan bid’ah. Ini seperi halnya
orang yang melakukan sholat Dhuha dengan berjama’ah, atau sholat sunnah fajar
dengan berjama’ah atau sholat rawatib dengan berjama’ah.