Pengertian Ushul Fiqh
Tuesday, 8 July 2014
SUDUT HUKUM
| Secara sederhana Ushul Fiqh bisa kita artikan : “Dasar-dasar untuk
memahami Fiqh “ .
Adapun
rinciannya sebagai berikut :
“ Ushul” berasal dari kata “ Ashlun “ yang berarti : dasar, pondasi atau akar.
Allah swt
berfirman :
أَلَمْ
تَرَ كَيْفَ ضَرَبَ اللّهُ مَثَلاً كَلِمَةً طَيِّبَةً كَشَجَرةٍ طَيِّبَةٍ
أَصْلُهَا ثَابِتٌ وَفَرْعُهَا فِي السَّمَاء
“ Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit. “ ( Qs Ibrahim : 24 )
Ayat di
atas menunjukkan bahwa pembagian suatu masalah , atau suatu ilmu menjadi
: Ashlun ( Dasar ) dan Far’un ( Cabang ) , mempunyai landasan dari Al Qur’an.
Ayat di
atas juga menunjukkan bahwa seseorang yang mempunyai dasar-dasar ilmu
yang kuat , atau menguasai dasar-dasar ilmu, niscaya dia akan bisa menguasai
cabang-cabangnya juga, dan hal tersebut berlaku sebaliknya juga . Ada sebuah
ungkapan :
من
حرم الأصول حرم الوصول
Barang siapa yang tidak bisa menguasai dasar-dasar suatu ilmu, tentunya dia tidak akan bisa menguasai cabang-cabangnya .
Sedangkan
Fiqh berarti pemahaman .
Allah
berfirman :
وَاحْلُلْ
عُقْدَةً مِّن لِّسَانِي يَفْقَهُوا قَوْلِي
dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku supaya mereka memahami perkataanku. ( Qs Toha : 27-28 )
Allah
juga berfirman :
وَلَـكِن لاَّ تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ
“ Tetapi kamu sekalian tidak memahami tasbih mereka. “ ( QS. Al Isra’ : 44 )
Allah
juga berfirman :
وَهُوَ
الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ النُّجُومَ لِتَهْتَدُواْ بِهَا فِي ظُلُمَاتِ الْبَرِّ
وَالْبَحْرِ قَدْ فَصَّلْنَا الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ وَهُوَ الَّذِيَ
أَنشَأَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ فَمُسْتَقَرٌّ وَمُسْتَوْدَعٌ قَدْ فَصَّلْنَا
الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَفْقَهُونَ
“Dan Dialah yang menjadikan bintang-bintang bagimu, agar kamu menjadikannya petunjuk dalam kegelapan di darat dan di laut. Sesungguhnya Kami telah menjelaskan tanda-tanda kebesaran (Kami) kepada orang-orang yang mengetahui. Dan Dialah yang menciptakan kamu dari seorang diri, maka (bagimu) ada tempat tetap dan tempat simpanan. Sesungguhnya telah Kami jelaskan tanda-tanda kebesaran Kami kepada orang-orang yang memahami.” ( Qs Al An’am : 97-98 )
Dalam dua
ayat di atas Allah membedakan antara “ Al-Ilmu “ dan “ Al Fiqh“ .
Untuk mengetahui tentang penciptaan manusia, kita harus membutuhkan pemahaman
yang ekstra dan ketekunan yang luar biasa, karena seluk beluk tentang manusia
sangatlah rumit, tidak bisa memahaminya kecuali orang-orang tertentu.
Berbeda dengan pegetahuan tentang bintang-bintang di langit, mayoritas pelayar
dan orang yang sering mengadakan perjalan sering menjadikan
bintang-bintang di atas kangit tersebut, sebagai acuan di dalam
menentukan arah, jadi tidak perlu pemahaman yang mendetail.
Allah swt
berfirman :
فَفَهَّمْنَاهَا
سُلَيْمَانَ وَكُلًّا آتَيْنَا حُكْمًا وَعِلْمًا
“ maka Kami telah memberikan pemahaman kepada Sulaiman tentang hukum (yang lebih tepat ([1]) ; dan kepada masing-masing mereka telah Kami berikan hikmah dan ilmu . “ ( QsAl Anbiya’ : 79 )
Di sini
Allah juga membedakan antara “ Al Fahmu “ dengan “ Al Ilmu “. Nabi Daud
dan Nabi Sulaiman masing-masing diberikan kepadanya ilmu dan hikmah, akan
tetapi Nabi Sulaiman mempunyai kelebihan yang tidak dimiliki oleh Nabi Daud
yaitu Al Fahmu. Adapun “ Al Fahmu “ di dalam ayat ini
adalah pemahaman tentang hukum yang sangat mendetail, ini sesuai dengan
sebab turunnya ayat seperti yang disebutkan Ibnu Abbas. Al Fahmu di sini juga
bisa berarti Firasat yang benar.
Adapun
pengertian Ilmu Fiqh itu sendiri ( arti Fiqh secara istilah keilmuan )
adalah : “ Ilmu yang mempelajari ( Pengetahuan tentang )
Hukum-hukum Syare’ah yang terkait dengan praktek ibadah dengan
dalil-dalil yang terperinci . “
Ilmu Fiqh
ini bukan ilmu yang pasti, karena pengetahuan tentang hukum-hukum
syare’ah ada yang bersifat pasti dan ada yang bersifat praduga. Seorang ahli
fiqh di dalam menentukan hukum pada suatu masalah , kemungkinan bisa
salah. Oleh karenanya, sebagian ulama di dalam menyebutkan
pengertian Ilmu Fiqh , mereka menggunakan kata “ Ma’rifat “ bukan
dengan “ Ilmu “ . Adapun perbedaaan Ma’rifat dengan Ilmu
adalah sebagai berikut :
- Ma’rifat mencakup sesuatu yang
bersifat pasti dan yang bersifat praduga. Sedang Ilmu bersifat pasti.
- Ma’rifat biasanya digunakan untuk
hal-hal yang bisa diraba dan dirasakan , sedang Ilmu biasanya
digunakan untuk sesuatu yang bisa dicerna dan dipikirkan.
ya, Allah
mempunyai sifat “ ‘Alim “ , bukan “ ‘Arif “ , walaupun kedua- duanya
berarti mengetahui , tetapi secara rinci terjadi perbedaan sebagaimana yang
diterangkan di atas.
- ( Hukum-hMa’rifat adalah mengetahui
sesuatu yang sebelumnya tersembunyi baginya, sedangkan Ilmu tidaklah
demikian.
Oleh
karenanukum Syare’ah )
Ilmu
Fiqih adalah pengetahuan tentang hukum-hukum yang diambil dari Syareah Islam,
bukan dari akal maupun kebiasaan.
Dari sini
hukum terbagi menjadi tiga macam :
- Hukum Syar’I : Hukum yang diambil dari
Syareah Islam
- Hukum ‘Aqly : Hukum yang berdasarkan
akal , seperti 1+1 = 2
- Hukum ‘Ady : Hukum yang beradasarkan
kebiasaan, seperti : kepala akan terasa sakit kalau dipukul dengan
palu.
( yang
terkait dengan praktek ibadah )
Yang
dipelajari di dalam Ilmu Fiqh adalah hukum yang terkait dengan praktek Ibadah,
seperti kewajiban melakukan sholat 5 waktu. Adapun hal-hal yang
berhubungan dengan keyakinan, seperti kewajiban beriman kepada Allah swt
tidak dibahas di dalam Ilmu Fiqh.
Bagaimana
dengan sebagian ulama yang memasukkan masalah keyakinan dan aqidah ke dalam
katagori Fiqh ? Jawabannya bahwa hal itu ditinjau dari segi bahasa , oleh
karenanya mereka menyebutnya dengan Fiqh Akbar.
Masalah-masalah
Aqidah, Ilmu Tafsir , Ilmu Hadist , Ilmu Bahasa Arab, kesemuanya termasuk di
dalam Fiqh secara bahasa. Ini sesuai dengan sabda Rosulullah saw :
من
يرد الله به خيرا يفقهه في الدين
“ Barang siapa yang dikehendaki Allah kebaikan baginya, niscaya Allah akan memberikan pemahaman baginya tentang agama . “ ( HR Bukhari no 71 , Muslim no : 2354 )
Dan agama
mencakup seluruh ilmu-ilmu yang disebut di atas.
Sebagian
ulama tidak setuju dengan pembagian Hukum-hukum Syare’ah menjadi: masalah
–masalah yang mendasar ( Ushul ) dan masalah-masalah yang tidak
mendasar ( Furu’ ) . Masalah-masalah yang mendasar adalah
beberapa permasalahan yang jika seorang muslim mengingkarinya, dia menjadi
kafir, seperti tidak beriman kepada nabi Muhammad saw. Sedang masalah yang
tidak mendasar adalah beberapa permasalahan yang jika seorang muslim
mengingkarinya , dia tidak menjadi kafir, seperti kewajiban membaca sholawat
dalam tasyahud akhir. ([2])
Sebenarnya
pembagian Hukum-hukum Syare’ah menjadi Ushul ( masalah –masalah yang mendasar
) dan Furu’ ( yang tidak mendasar ) pada hakekatnya
mempunyai persamaan dengan pembagian sebagian ulama yang menjadi
Al I’tiqadiyah ( masalah-masalahyang terkait dengan keyakinan )
dan Al ‘Amaliyah (yang terkait dengan praktek ibadah) . Masing-masing
pembagian tersebut mempunyai beberapa kelemahan , karena praktek ibadahpun
tidak bisa dipisahkan dengan masalah keyakinan, sebagaimana masalah-masalah
ushul tidak bisa dipisahkan dengan masalah –masalah furu’. Pembagian
tersebut sebenarnya hanya untuk mempermudah pemahaman saja dan hanya
dilihat dari beberapa sisi.
( dengan
dalil- dalil yang terperinci )
Artinya
bahwa di dalam Ilmu Fiqh masalah-masalah yang disebut di dalamnya
disertai dengan dalil-dalil yang terperinci dari Al Qur’an , As Sunnah, Ijma’,
Qiyas dan lain-lainnya. Seperti kewajiban berniat ketika hendak berwudlu,
dalilnya adalah firman Allah swt :
إِذَا
قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ فاغْسِلُواْ
“ apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu. “ ( Qs Al Maidah : 6 )
(Apabila kamu hendak )
menunjukkan bahwa niat diwajibkan ketika hendak berwudlu . Hal ini
dikuatkan dengan sabda Rosulullah saw :
إنما
الأعمال بالنيات
“ Hanyasanya segala perbuatan itu akan dihitung jika disertai niat. “ ( HR Bukhari no : 1, Muslim no : 4844 )
( [1] ) Menurut
riwayat Ibnu Abbas bahwa sekelompok kambing telah merusak tanaman di waktu
malam. maka yang mempunyai tanaman mengadukan hal ini kepada Nabi Daud a.s.
Nabi Daud memutuskan bahwa kambing-kambing itu harus diserahkan kepada yang
mempunyai tanaman sebagai ganti tanam-tanaman yang rusak. Tetapi Nabi Sulaiman
a.s. memutuskan supaya kambing-kambing itu diserahkan sementara kepada yang
mempunyai tanaman untuk diambil manfaatnya. Dan orang yang mempunyai kambing
diharuskan mengganti tanaman itu dengan tanam-tanaman yang baru. Apabila
tanaman yang baru telah dapat diambil hasilnya, mereka yang mempunyai kambing
itu boleh mengambil kambingnya kembali. Putusan Nabi Sulaiman a.s. ini adalah
keputusan yang tepat .
( [2] ) Selama ini
kriteria -kriteria atau batasan-batasan masalah ushul dan furu’ yang
ditawarkan para ulama tidak ada yang tepat dan pas. Karena pada
hakekatnya pembagian Ushul dan Furu’ ini hanyalah pembagian akademis, dan
realitanya sulit diterapkan , karena masalah ushul dan furu’ biasanya tidak
bisa dipisahkan antara satu dengan yang lainnya.