Pengertian ‘Iddah
Sunday, 20 July 2014
SUDUT
HUKUM | Iddah adalah sebuah kewajiban yang harus dijalani oleh isteri
setelah terjadi perceraian atau ditinggal mati oleh suaminya dengan berpantang melakukan
perkawinan baru, ketentuan iddah
tersebut terdapat dalam Alqur an maupun Hadis.
Jika
dikaji secara etimologis, kata iddah berasal dari kata kerja adda-ya uddu yang
berarti menghitung sesuatu. Adapun kata iddah
memiliki arti seperti kata al- ‘adad yaitu ukuran dari sesuatu yang
dihitung atau jumlahnya. Jika kata ‘iddah tersebut dihubungkan dengan
kata al-mar’ah (perempuan) maka artinya hari-hari haid atau suci, atau
hari-hari ihdadnya terhadap pasangan atau hari-hari menahan diri dari
memakai perhiasan baik berdasarkan bulan, haid atau suci, atau melahirkan.
Menurut
Sayid Sabiq, secara bahasa ‘iddah adalah menghitung harihari dan masa bersih seorang perempuan.3 Sedangkan
menurut Al-jaziri mutlak
digunakan untuk menyebut hari-hari haid perempuan atau hari-hari sucinya.
Para
ulama berbeda pendapat mengenai pengertian iddah, golongan ulama Syafi‟iah berpendapat.
“Masa yang harus dilalui oleh isteri untuk mengetahui bebasnya (kesucian) rahimnya, mengabdi, atau berbela sungkawa atas suaminya”.
Sedangkan
menurut golongan ulama Hanafiah berpendapat.
“Suatu batas waktu yang ditetapkan (bagi wanita) untuk mengetahui sisa-sisa dari pengaruh pernikahan atau persetubuhan”.
Sementara
itu, golongan ulama Malikiah berpendapat iddah adalah masa dimana dilarang melakukan
pernikahan yang disebabkan perceraian, ditinggal mati oleh suaminya atau karena rusaknya pernikahan.
Sedangkan golongan ulama Hanabilah mengartikan sangat sederhana, yaitu masa penantian
yang ditentukan syara’ , golongan Hanabilah dalam menafsirkan makna iddah tidak menyebutkan tujuan dari
ditetapkannya iddah.
Wahbah
Zuhaili menjelaskan definisi iddah dengan
lebih jelas, yaitu masa yang ditentukan syara’ setelah perceraian, di mana hal
itu wajib bagi perempuan menunggu dalam masa itu dan tidak boleh menikah
kembali sampai masa tersebut selesai.
Menurut
Muhammad Bagir Al-Habsyi iddah
adalah masa menunggu yang harus dijalani oleh seorang mantan isteri yang ditalak atau
ditinggal mati oleh
suaminya sebelum ia dibolehkan menikah kembali.
H.S.A
al- Hamdani
berpendapat iddah menurut syara’ adalah waktu menunggu dan larangan menikah bagi seorang perempuan setelah ditinggal mati atau diceraikan oleh suaminya.
Menurut
Abu Bakar al-Dimyati, secara terminologi iddah adalah masa yang harus dijalani oleh
seorang perempuan untuk mengetahui bebas atau bersihnya rahim dari kehamilan atau karena ibadah dan berduka
karena kematian
suaminya.
Menurut
Al-jaziri iddah secara terminologi adalah masa penantian seorang
perempuan untuk menyelesaikan hari-hari tersebut tanpa adanya pernikahan. Sedangkan Sayyid
Sabiq berpendapat bahwa iddah secara
terminologi adalah sebuah nama bagi lamanya perempuan menunggu dan tidak boleh
menikah setelah ditinggal mati oleh suaminya.
Abu
Yahya Zakariyya al-Anshari seperti dikutip Muhammad Isna Wahyudi memberikan
definisi iddah hampir sama dengan
definisi yang dikemukakan oleh al-Dimyati, yaitu sebagai masa tunggu seorang
perempuan untuk mengetahui kesucian rahim, untuk beribadah, atau untuk
berkabung atas kematian suaminya.
Al-Kasani
menjelaskan bahwa iddah menurut istilah adalah nama untuk suatu masa yang ditetapkan untuk
mengakhiri apa yang tersisa
dari pengaruh-pengaruh perkawinan.
Sedangkan
menurut Muhammad Zaid al-Ibyani iddah
dalam istilah para ahli fiqih adalah masa tunggu yang diwajibkan bagi
perempuan ketika putus perkawinan atau karena perkawinan subhat.
Dari
beberapa definisi yang dikemukakan para ulama, dapat ditarik kesimpulan bahwa iddah
adalah masa bagi perempuan yang ditalak atau ditinggal mati oleh suaminya, di
mana pada masa itu seorang perempuan tidak boleh menikah lagi dengan laki-laki lain sampai masa tersebut
berakhir. (ISNAN LUQMAN
FAUZI)