Revitalisasi Samudera Pase Sebagai Pusat Peradaban Islam Pertama Di Nusantara
Sunday, 13 July 2014
SUDUT HUKUM | Berikut materi yang disampaikan Rektor IAIN Ar Raniry Banda Aceh, Profesor
DR. H. Farid Wajdi Ibrahim, MA pada seminar Islam internasional samudera pasai
di hall islamic center, kota Lhokseumawe, Ahad (17/03).
I. Pendahuluan
Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah
kerajaan Samudera Pasai. Kerajaan ini terletak di pesisir timur laut Aceh.
Kemunculannya sebagai kerajaan Islam di perkirakan mulai awal atau pertengahan
abad ke 13 M, sebagai hasil dari proses Islamisasi daerah–daerah pantai yang
pernah di singgahi pedagang– pedagang muslim sejak abad ke 7, ke 8 M, dan
seterusnya. Daerah ini sudah disinggahi pedagang muslim sejak abad ke-7 dan
ke-8 M. Proses Islamisasi tentu telah berjalan di sana sejak abad tersebut,
baik dalam bidang politik maupun perdagangan.
Tidak diragukan lagi, bahwasanya peradaban
Islam di Nusantara dengan kemajuan di bidang tradisi keilmuan dan praktek
keagamaan muslim Melayu Nusantara berawal dari kerajaan samudra Pase. Samudera
Pasai merupakan kerajaan Islam pertama di Nusantara yang bukan hanya terkenal
sebagai kerajaan yang berpengaruh di bidang pengembangan Islam di Nusantara
semata, melainkan peradabannya berhasil menyatukan sejumlah kerajaan kecil di
daerah Peurelak, seperti Rimba Jreum dan Seumerlang. Kerajaan ini diperkirakan
berdiri pada awal atau pertengahan abad ke-13 M, sebagai hasil dari proses
Islamisasi di daerah-daerah pantai yang pernah disinggahi oleh para
pedagang-pedangan muslim sejak abad ke-7 hingga seterusnya.
Petunjuk pertama tentang muslim Indonesia
berkaitan dengan bagian utara Sumatera. Di pemakaman Lamreh ditemukan nisan
Sultan Sulaiman bin Abdullah bin Al-Bashir yang wafat tahun 608 H/ 1211 M. Ini
merupakan petunjuk pertama tentang keberadaan kerajaan Islam di wilayah Indonesia.
Telah disebutkan di muka bahwa, Pasai
merupakan kerajaan besar, pusat perdagangan dan perkembangan agama Islam.
Sebagai kerajaan besar, di kerajaan ini juga berkembang suatu kehidupan yang
menghasilkan karya tulis yang baik. Sekelompok minoritas kreatif berhasil
memanfaatkan huruf Arab yang dibawa oleh agama Islam, untuk menulis karya
mereka dalam bahasa Melayu. Inilah yang kemudian disebut sebagai bahasa Jawi,
dan hurufnya disebut Arab Jawi. Di antara karya tulis tersebut adalah Hikayat
Raja Pasai (HRP). Bagian awal teks ini diperkirakan ditulis sekitar tahun 1360
M. HRP menandai dimulainya perkembangan sastra Melayu klasik di bumi nusantara.
Bahasa Melayu tersebut kemudian juga digunakan oleh Syaikh Abdurrauf
al-Singkili untuk menuliskan buku-bukunya.
Sejalan dengan itu, juga berkembang ilmu
tasawuf. Di antara buku tasawuf yang diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu
adalah Durru al-Manzum, karya Maulana Abu Ishak. Kitab ini kemudian
diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Makhdum Patakan, atas permintaan dari
Sultan Malaka. Informasi di atas menceritakan sekelumit peran yang telah
dimainkan oleh Samudera Pasai dalam posisinya sebagai pusat tamadun Islam di
Asia Tenggara pada masa itu.
Oleh karena itu, dalam kesempatan ini kita
mencoba untuk menguraikan bagaimana revitalisasi Samudera Pasai dalam bingkai
historis, sosiologis dan filosofis sehingga menjadikannya sebagai pusat
peradaban Islam pertama di Indonesia?
II. Pembahasan
A. Masuknya Islam di Indonesia
Masuknya Islam di Indonesia Islam masuk ke
Indonesia pada abad ke-7 atau ke-8 yang bertepatan dengan abad ke-1 atau ke-2
H, rute atau jalur yang dilewati adalah jalur utara dan selatan. Daerah yang
mula-mula menerima masuknya agama Islam adalah pantai barat Pulau Sumatera.
Penyebaran Islam di Indonesia yang berjalan secara damai tanpa menimbulkan
kekerasan merupakan cermin hakikat ajaran Islam yang menjadi rahmatan lil
alamin.
Perkembangan Islam di Sumatera. Pada
pertengahan abad ke-13, di Sumatera telah berdiri kerajaan Islam Samudera Pasai
yang merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia, kerajaan ini terletak di
pesisir timur laut aceh yang sekarang merupakan wilayah Kabupaten Lhoksumawe.
Samudera Pasai adalah sebuah kerajaan maritim, samudera pasai telah mengadakan
hubungan dengan Sultan Delhi di India pada pelayaran kerajaan Samudra Pasai
merupakan pusat studi agama Islam dan tempat berkumpulnya para ulama dari
berbagai negara Islam.
Pada tahun 30 Hijri atau 651 Masehi, hanya
berselang sekitar 20 tahun dari wafatnya Rasulullah SAW, Khalifah Utsman ibn
Affan RA mengirim delegasi ke Cina untuk memperkenalkan Daulah Islam yang belum
lama berdiri. Dalam perjalanan yang memakan waktu empat tahun ini, para utusan
Utsman ternyata sempat singgah di Kepulauan Nusantara. Beberapa tahun kemudian,
tepatnya tahun 674 M, Dinasti Umayyah telah mendirikan pangkalan dagang di
pantai barat Sumatera. Inilah perkenalan pertama penduduk Indonesia dengan
Islam. Sejak itu para pelaut dan pedagang Muslim terus berdatangan, abad demi
abad. Mereka membeli hasil bumi dari negeri nan hijau ini sambil berdakwah.
Lambat laun penduduk pribumi mulai memeluk
Islam meskipun belum secara besar-besaran. Aceh, daerah paling barat dari
Kepulauan Nusantara, adalah yang pertama sekali menerima agama Islam. Bahkan di
Acehlah kerajaan Islam pertama di Indonesia berdiri, yakni Pasai. Berita dari
Marcopolo menyebutkan bahwa pada saat persinggahannya di Pasai tahun 692 H /
1292 M, telah banyak orang Arab yang menyebarkan Islam. Begitu pula berita dari
Ibnu Battuthah, pengembara Muslim dari Maghribi., yang ketika singgah di Aceh
tahun 746 H / 1345 M menuliskan bahwa di Aceh telah tersebar mazhab Syafi’i.
Adapun peninggalan tertua dari kaum
Muslimin yang ditemukan di Indonesia terdapat di Gresik, Jawa Timur. Berupa
komplek makam Islam, yang salah satu diantaranya adalah makam seorang Muslimah
bernama Fathimah binti Maimun. Pada makamnya tertulis angka tahun 475 H / 1082
M, yaitu pada jaman Kerajaan Singasari. Diperkirakan makam-makam ini bukan dari
penduduk asli, melainkan makam para pedagang Arab.
Sampai dengan abad ke-8 H / 14 M, belum ada
pengislaman penduduk pribumi Nusantara secara besar-besaran. Baru pada abad
ke-9 H / 14 M, penduduk pribumi memeluk Islam secara massal. Para pakar sejarah
berpendapat bahwa masuk Islamnya penduduk Nusantara secara besar-besaran pada
abad tersebut disebabkan saat itu kaum Muslimin sudah memiliki kekuatan politik
yang berarti. Yaitu ditandai dengan berdirinya beberapa kerajaan bercorak Islam
seperti Kerajaan Aceh Darussalam, Malaka, Demak, Cirebon, serta Ternate. Para
penguasa kerajaan-kerajaan ini berdarah campuran, keturunan raja-raja pribumi
pra Islam dan para pendatang Arab. Pesatnya Islamisasi pada abad ke-14 dan 15 M
antara lain juga disebabkan oleh surutnya kekuatan dan pengaruh
kerajaan-kerajaan Hindu / Budha di Nusantara seperti Majapahit, Sriwijaya dan
Sunda. Thomas Arnold dalam The Preaching of Islam mengatakan bahwa kedatangan
Islam bukanlah sebagai penakluk seperti halnya bangsa Portugis dan Spanyol.
Islam datang ke Asia Tenggara dengan jalan damai, tidak dengan pedang, tidak
dengan merebut kekuasaan politik. Islam masuk ke Nusantara dengan cara yang
benar-benar menunjukkannya sebagai rahmatan lil’alamin.
Dengan masuk Islamnya penduduk pribumi
Nusantara dan terbentuknya pemerintahan-pemerintahan Islam di berbagai daerah
kepulauan ini, perdagangan dengan kaum Muslimin dari pusat dunia Islam menjadi
semakin erat. Orang Arab yang bermigrasi ke Nusantara juga semakin banyak. Yang
terbesar diantaranya adalah berasal dari Hadramaut, Yaman. Dalam Tarikh
Hadramaut, migrasi ini bahkan dikatakan sebagai yang terbesar sepanjang sejarah
Hadramaut. Namun setelah bangsa-bangsa Eropa Nasrani berdatangan dan dengan
rakusnya menguasai daerah-demi daerah di Nusantara, hubungan dengan pusat dunia
Islam seakan terputus. Terutama di abad ke 17 dan 18 Masehi. Penyebabnya,
selain karena kaum Muslimin Nusantara disibukkan oleh perlawanan menentang
penjajahan, juga karena berbagai peraturan yang diciptakan oleh kaum
kolonialis. Setiap kali para penjajah – terutama Belanda – menundukkan kerajaan
Islam di Nusantara, mereka pasti menyodorkan perjanjian yang isinya melarang
kerajaan tersebut berhubungan dagang dengan dunia luar kecuali melalui mereka.
Maka terputuslah hubungan ummat Islam Nusantara dengan ummat Islam dari
bangsa-bangsa lain yang telah terjalin beratus-ratus tahun. Keinginan kaum
kolonialis untuk menjauhkan ummat Islam Nusantara dengan akarnya, juga terlihat
dari kebijakan mereka yang mempersulit pembauran antara orang Arab dengan
pribumi.
Semenjak awal datangnya bangsa Eropa pada
akhir abad ke-15 Masehi ke kepulauan subur makmur ini, memang sudah terlihat
sifat rakus mereka untuk menguasai. Apalagi mereka mendapati kenyataan bahwa
penduduk kepulauan ini telah memeluk Islam, agama seteru mereka, sehingga
semangat Perang Salib pun selalu dibawa-bawa setiap kali mereka menundukkan
suatu daerah. Dalam memerangi Islam mereka bekerja sama dengan
kerajaan-kerajaan pribumi yang masih menganut Hindu / Budha. Satu contoh, untuk
memutuskan jalur pelayaran kaum Muslimin, maka setelah menguasai Malaka pada
tahun 1511, Portugis menjalin kerjasama dengan Kerajaan Sunda Pajajaran untuk
membangun sebuah pangkalan di Sunda Kelapa. Namun maksud Portugis ini gagal
total setelah pasukan gabungan Islam dari sepanjang pesisir utara Pulau Jawa
bahu membahu menggempur mereka pada tahun 1527 M. Pertempuran besar yang
bersejarah ini dipimpin oleh seorang putra Aceh berdarah Arab Gujarat, yaitu
Fadhilah Khan Al-Pasai, yang lebih terkenal dengan gelarnya, Fathahillah.
Sebelum menjadi orang penting di tiga kerajaan Islam Jawa, yakni Demak, Cirebon
dan Banten, Fathahillah sempat berguru di Makkah. Bahkan ikut mempertahankan
Makkah dari serbuan Turki Utsmani.
Kedatangan kaum kolonialis di satu sisi
telah membangkitkan semangat jihad kaum muslimin Nusantara, namun di sisi lain
membuat pendalaman akidah Islam tidak merata. Hanya kalangan pesantren
(madrasah) saja yang mendalami keislaman, itupun biasanya terbatas pada mazhab
Syafi’i. Sedangkan pada kaum Muslimin kebanyakan, terjadi percampuran akidah
dengan tradisi pra Islam. Kalangan priyayi yang dekat dengan Belanda malah
sudah terjangkiti gaya hidup Eropa. Kondisi seperti ini setidaknya masih
terjadi hingga sekarang. Terlepas dari hal ini, ulama-ulama Nusantara adalah
orang-orang yang gigih menentang penjajahan. Meskipun banyak diantara mereka
yang berasal dari kalangan tarekat, namun justru kalangan tarekat inilah yang
sering bangkit melawan penjajah. Dan meski pada akhirnya setiap perlawanan ini
berhasil ditumpas dengan taktik licik, namun sejarah telah mencatat jutaan
syuhada Nusantara yang gugur pada berbagai pertempuran melawan Belanda. Sejak
perlawanan kerajaan-kerajaan Islam di abad 16 dan 17 seperti Malaka (Malaysia),
Sulu (Filipina), Pasai, Banten, Sunda Kelapa, Makassar, Ternate, hingga
perlawanan para ulama di abad 18 seperti Perang Cirebon (Bagus rangin), Perang
Jawa (Diponegoro), Perang Padri (Imam Bonjol), dan Perang Aceh (Teuku Umar).
Kesultanan aceh berdiri pada tahun 1514,
terletak di ujung utara pulau Sumatra. Pendirinya adalah sultan Ali Mughayat
Syah yang bertakhta dari tahun 1514 – 1530. Pada tahun 1520, beliau memulai
kampanye militernya untuk menguasai bagian utara Sumatra. Dalam sejarah ini
Kampanye pertamanya dilakukan di Daya, di sebelah barat laut, yang menurut Time
Pires belum mengenal Islam. Selanjutnya, Ali mughayat Syah melebarkan sayap
sampai ke pantai timur yang terkenal kaya akan rempah-rempah dan emas. Untuk
memperkuat perekonomian rakyat dan kekuatan militer laut, didirikannya banyak
pelabuhan. Penyebrangan ke Deli dan Aru adalah perluasan daerah terakhir yang
dilakukan oleh sultan Ali Mughayat. Sultan juga mampu mengusir garnisun
POrtugis dari daerah Deli, yang meliputi Pedir dan Pasai. Namun saat
penyebrangan terhadap Aru (1824), tentara Ali Mughayat dapat dikalahkan oleh
Armada Portugis. Selain mengancam portugis sebagai pemilik kekuatan militer
laut di kawasan itu, aksi militer Sultan Ali Mughayat Syah ternyata juga
mengancam Kesultanan Johor. Pada tahun 1521 kesultanan Aceh diperluas sampai
Pidie, dan pada tahun 1524 ke pasai dan Aru, kemudian menyusul Perlak, Tamiang,
dan Lamuri. Kesultanan Aceh Darusalam merupakan kelanjutan dari kesultanan
Samudra pasai yang hancur pada abad ke 14. Ada beberapa versi sejarah lain
mengenai terbentuknya Kerajaan Aceh Darussalam. Menurut Hikayat Aceh, Aceh
Darusalam adalah persatuan dua kerajaan yang masing-masing diperintah oleh
Sultan Muzaffar Syah (Pidie) dan raja Inayat Syah (Aceh Besar), dua orang
bersaudara. Suatu saat pecah peperangan antara keduanya, dan dimenangi oleh
Muzaffar Syah. Dia menyatukan Pidie dan Aceh Besar, lantas memberinya nama
Kesultanan Aceh Darussalam membawahkan enam kerajaan kecil; kerajaan Perlak,
Kerajaan Samudra Pasai, Kerajaan Tamiang, Kerajaan Pidie, Kerajaan Indrapura,
dan Kerajaan indrajaya. Kitab Bustanus Salatin, kitab kronik raja-raja aceh,
menyebut Sultan Ali Mughayat Syah sebagai sultan aceh yang pertama. Ia
mendirikan Kesultanan Aceh dengan menyatukan beberapa kerajaan kecil tersebut.
Pusat kesultanan adalah . Banda Aceh, yang juga disebut Kuta Raja.
Banda Aceh sebagai Bandar niaga tidak
terlalu kecil untuk pelabuhan kapal-kapal besar pada abad ke 16. pelabuhan
banda aceh mudah dirapati oleh berbagai jenis kapal dagang. Maka, aceh pun
semakin ramai. Apalagi sejak Malaka jatuh ke tangan Portugis, para saudagar
muslim lebih memilih berlabuh di Banda Aceh. Tak hanya pedagang Muslim,
pedagang asing non portugis pun juga turut meramaikan pelabuhan Banda Aceh,
sehingga kesultanan Aceh mendapatkan banyak keuntungan.
B. Kerajaan Samudra Pase dan Kejayaannya
• Awal Berdirinya
Kerajaan Samudera biasa juga di sebut
samudera Pase yang didirikan oleh raja Murah Silo yang kemudian bergelar
Maliku’s Shaleh. Adanya kerajaan ini dibuktikan adanya batu nisan di atas
makamnya di Blang Me yang disebutkan mangkatnya pada tahun 697 H bertepatan
1297 M. Kerajaan ini kemudian diwariskan kepada putranya yang pertama bernama
Sultan malikul Zahir.
Kerajaan Samudera Pasai terletak di Aceh,
dan merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia. Kerajaan ini didirikan oleh
Meurah Silu pada tahun 1267 M. Bukti-bukti arkeologis keberadaan kerajaan ini
adalah ditemukannya makam raja-raja Pasai di kampung Geudong, Aceh Utara. Makam
ini terletak di dekat reruntuhan bangunan pusat kerajaan Samudera di desa
Beuringin, kecamatan Samudera, sekitar 17 km sebelah timur Lhokseumawe. Di
antara makam raja-raja tersebut, terdapat nama Sultan Malik al-Saleh, Raja
Pasai pertama. Malik alSaleh adalah nama baru Meurah Silu setelah ia masuk
Islam, dan merupakan sultan Islam pertama di Indonesia. Berkuasa lebih kurang
29 tahun (1297-1326 M). Kerajaan Samudera Pasai merupakan gabungan dari
Kerajaan Pase dan Peurlak, dengan raja pertama Malik alSaleh.
Seorang pengembara Muslim dari Maghribi,
Ibnu Bathutah sempat mengunjungi Pasai tahun 1346 M. ia juga menceritakan
bahwa, ketika ia di Cina, ia melihat adanya kapal Sultan Pasai di negeri Cina.
Memang, sumber-sumber Cina ada menyebutkan bahwa utusan Pasai secara rutin
datang ke Cina untuk menyerahkan upeti. Informasi lain juga menyebutkan bahwa,
Sultan Pasai mengirimkan utusan ke Quilon, India Barat pada tahun 1282 M. Ini
membuktikan
bahwa Pasai memiliki relasi yang cukup luas
dengan kerajaan luar Pada masa jayanya, Samudera Pasai merupakan pusat
perniagaan penting di kawasan itu, dikunjungi oleh para saudagar dari berbagai
negeri, seperti Cina, India, Siam, Arab dan Persia. Komoditas utama adalah
lada. Sebagai bandar perdagangan yang besar, Samudera Pasai mengeluarkan mata
uang emas yang disebut dirham. Uang ini digunakan secara resmi di kerajaan
tersebut. Di samping sebagai pusat perdagangan, Samudera Pasai juga merupakan
pusat perkembangan agama Islam.
Seiring perkembangan zaman, Samudera
mengalami kemunduran, hingga ditaklukkan oleh Majapahit sekitar tahun 1360 M.
Pada tahun 1524 M ditaklukkan oleh kerajaan Aceh. Adapun silsilahnya adalah
sebagai berikut:
1. Sultan Malik al-Saleh (1267 M – 1297 M)
2. Sultan Muhammad Malikul Zahir (1297 M –
1326 M)
3. Sultan Ahmad Laidkudzahi (1326 M – 1383 M)
4. Sultan Zainal Abidin Malik al-Zahir (1383 M
– 1405 M)
5. Sultan Shalahuddin (1405 M – 1412 M)
Rentang masa kekuasan Samudera Pasai
berlangsung sekitar 3 abad, dari abad ke-13 hingga 16 M.
Keterangan Ibnu Batutah tersebut dapat
ditarik kesimpulan pendidikan yang berlaku di zaman kerajaan Pasai sebagai
berikut:
a. Materi pendidikan dan pengajaran agama
bidang syari’at adalah Fiqh mazhab Syafi’i
b. Sistem pendidikannya secara informal
berupa majlis ta’lim dan halaqoh
c. Tokoh pemerintahan merangkap tokoh agama
d. Biaya pendidikan bersumber dari negara.
(Zuhairini, et.al., 2000: 136)
Pada zaman kerajaan Samudra Pasai mencapai
kejayaannya pada abad ke-14 M, maka pendidikan juga tentu mendapat tempat
tersendiri. Mengutip keterangan Tome Pires, yang menyatakan bahwa “di Samudra
Pasai banyak terdapat kota, dimana antar warga kota tersebut terdapat orang-orang
berpendidikan”. (M. Ibrahim, et.al, 1991: 61)
Menurut Ibnu Batutah juga, Pasai pada abad
ke-14 M, sudah merupakan pusat studi Islam di Asia Tenggara, dan banyak
berkumpul ulama-ulama dari negara-negara Islam. Ibnu Batutah menyatakan bahwa
Sultan Malikul Zahir adalah orang yang cinta kepada para ulama dan ilmu
pengetahuan. Bila hari jum’at tiba, Sultan sembahyang di Masjid menggunakan
pakaian ulama, setelah sembahyang mengadakan diskusi dengan para alim
pengetahuan agama, antara lain: Amir Abdullah dari Delhi, dan Tajudin dari
Ispahan. Bentuk pendidikan dengan cara diskusi disebut Majlis Ta’lim atau
halaqoh. Sistem halaqoh yaitu para murid mengambil posisi melingkari guru. Guru
duduk di tengah-tengah lingkaran murid dengan posisi seluruh wajah murid menghadap
guru.
Dari keterangan Ibnu Batutah di sebutkan
bahwa kerajaan ini telah mengadakan kontak kerja secara luas baik dengan
Tiongkok maupun India. Pada zaman Malikus Shaleh hingga pertualangan Ibn
Batutah, Pase telah bangkit dengan cepat dan baik dalah kehidupan perokonomiannya
dan perkembangan Islam pertama di kepulauan Nusantara.
• Kejayaan Pase
Hikayat Raja-Raja Pasai, merupakan salah
satu sumber tentang cerita masuknya Islam ke Samudra. Dalam cerita ini
disebutkan bahwa Khalifah di Mekah mendengar tentang adanya Samudra dan
memutuskan untuk mengirim sebuah kapal ke sana untuk memenuhi harapan
forcasting Nabi Muhammad SAW bahwa suatu hari nanti akan ada sebuah kota besar
di timur yang bernama Samudra, yang akan menghasilkan orang suci. Kapten kapal
itu, Syekh Ismail, singgah dulu di India untuk menjemput seorang sultan yang
telah mengundurkan diri karena ingin menjadi da’i. Penguasa Samudra, Merah
Silau (atau Silu), bermimpi bahwa Nabi menampakan diri kepadanya, mengalihkan
secara gaib pengetahuan tentang Islam kepadanya dengan cara meludah ke dalam
mulutnya, dan memberinya gelar Sultan Malik As-Salih. Setelah terbangun, sultan
yang baru ini mendapati bahwa dia dapat membaca Qur’an walaupun dirinya belum
pernah diajar, dan bahwa dia telah dikhitan secara gaib. Dapat dimengerti bahwa
para pengikutnya merasa takjub atas kemampuan sultan mengaji dalam bahasa Arab.
Kemudian kapal dari Mekah tadi tiba. Ketika Syekh Ismail mendengar pengucapan
dua kalimat syahadat Malik As-Salih, maka dia pun melantiknya menjadi penguasa dengan
tanda-tanda kerajaan dan jubah-jubah kenegaraan dari Mekah. Syekh Ismail terus
mengajarkan dua kalimat Syahadat. Syekh Ismail kemudian meninggalkan Samudra,
sedangkan da’i yang berkebangsaan India tetap tinggal untuk menegakan Islam
secara lebih kokoh di Samudra. Sultan Malik As-Salih meninggal pada tahun 1297
M.
Dibawah pemerintahan Sultan Muhammad Malik
al-Zahir (1297 – 1326), kerajaan Samudra Pasai mengeluarkan mata uang emas yang
beridentitas ketuhanan. Mata uang tersebut, sampai saat ini, dianggap sebagai
mata uang emas tertua yang pernah di keluarkan oleh sebuah kerajaan Islam di
Asia Tenggara.
Kerajaan Samudera Pasai berkembang dengan
armada lautnya yang besar untuk ukuran saat itu, yang memang diperlukan untuk
mengawasi perdagangan di dalam wilayahnya. Pengawasan perdagangan itu merupakan
sendi-sendi kerajaan, karena dari bidang inilah kerajaan mendapatkan dana yang
besar.
Perdangan yang menjadi basis hubungan
antara Malaka, China dan India saat itu telah menjadikan kerajaan Samudera
Pasai menjadi sebuah kerajaan yang terkenal dan berpengaruh di Asia Tenggara
terutama pada abad ke-14 dan 15 M. Dengan kondisi ini pula kerajaan Samudera
Pasai bisa mengembangkan ajaran agama Islam ke wilayah-wilayah lainnya di
Nusantara. Pada abad ke-14 M, kerajaan inipun menjadi pusat studi agama Islam.
C. Revitalisa Peran Samudra Pase sebagai pusat peradamain Islam pertama di
Nusantara
Makna revitalisasi menurut kamus lengkap
bahasa Indonesia adalah proses, praktek, perbuatan memvitalkan (menjadikan
pokok). Makna revitalisasi menurut Merriam Webster Thesaurus: “the act or an
instance of bringing something back to life”, suatu tindakan atau upaya
mengembalikan sesuatu hal menjadi hidup kembali (eksis). Revitalisasi dalam
kajian ini adalah proses atau praktek menghidupkan kembali peradaban Islam
samudra pase sebagai pusat peradaban Islam pertama di Nusantara.
Kehidupan sosial masyarakatnya samudra pase
cukup kental dengan nuansa agama serta kebudayaan Islam. Hal inilah yang
membuat Aceh kemudian dijuluki sebagai Serambi Makkah. Kehidupan masyarakat
Aceh yang religius perlu untuk dihidupkan kembali dengan tradisi intelektualnya
yang menghargai ulama hingga saat ini. Tradisi dan sikap menghargai ulama Aceh
terhadap ulama dapat dilihat dalam perspektif perkembangan Islam dan Raja-raja
Aceh, antara lain Malik al-Zahir (1297-1326 M) salah seorang sultan pasai,
putra sultan Malik al-Shaleh, yang sangat gemar mengkaji dan mendiskusikan
masalah-masalah agama dengan para ulama yang datang dari berbagai negara Islam
lainnya.
Demikian juga tradisi di istana Sultan
dijadikan sebagai pusat pengkajian Islam (Islamic Centre) secara rutin dan
terjadwal dengan baik. Berbagai disiplin ilmu dibahas di dalamnya, di antara
mereka ada yang diangkat sebagai penasehat Sultan dalam urusan negara dan
agama, dengan gelar “Makhdum” yang dipakai di kerajaan Pasai. Demikian pula
dengan gelar “Syaikh al-Islam” yang diberikan kepada para ulama di zaman
kesultanan Aceh. Pada masa-masa kesultanan, ulama Aceh dengan kapasitasnya
sebagai penasehat Sultan dan pembimbing umat, peran-peran itu termanifestasikan
dalam kehidupan praktis. Kitab-kitab dalam aneka disiplin ilmu keislaman
disusun dalam rangka mensosialisasikan dan memberikan pemahaman kepada umat
tentang berbagai ajaran Islam.
Dalam masyarakat Aceh yang dikenal sangat
religius, elit sosial ulama menempati peran yang signifikan. Ulama dalam hal
ini diakui punya kelebihan tingkat intensitas keilmuan (capable) dan pengalaman
terhadap ajaran Islam (credible) serta reputasi kealimannya diakui masyarakat (acaptable).
Oleh karenanya, ulama dipandang sebagai sumber kekuatan moral spiritual umat
dalam suatu ikatan emosional keagamaan yang kukuh. Kedudukan para ulama dalam
masyarakat Aceh merupakan satu-satunya kekuatan yang mampu menyeru dan
menggerakkan massa dalam jumlah yang besar sepanjang sejarah. Mereka berhasil
merebut hati rakyat melalui cara-cara yang tidak bersifat materil.
Pemerintahnya bersifat teokrasi berdasarkan
ajaran Islam. Sebagai sebuah kerajaan yang berpengaruh, Pasai juga menjalin
persahabatan dengan penguasa negara lain seperti Campa, India, Tiongkok,
Majapahit, dan Malaka. Pada tahun 1350 M, Kerajaan Majapahit menggempur
Samudera Pasai dan mendudukinya. Samudera Pasai pun mulai mengalami kemunduran.
Sekitar tahun 1524 M, wilayah Pasai berhasil diambil kerajaan Aceh. Sejak saat
itulah, riwayat kejayaan Samudera Pasai berakhir.
Pada abad ke 13 M Pasai dan Pidie menjadi
Pusat perdagangan internasional yang salah satu ekspor utamanya adalah Lada.
Hubungan perdagangan antara Pasai dan Jawa berkembang dengan pesatnya. Tome
Pires memperkirakan bahwa Pasai mengekspor lada kira – kira 8000 sampai
10.000/Bahar setiap tahun. Disamping mengekspor lada Samudera Pasai juga
mengekspor sutra, kapur barus, dan emas dari daerah pedalaman. Di percayai
bahwa metode memroses sutra diperkenalkan di Samudera Pasai oleh orang – orang
Cina. Ibn Batutah seorang pengembara Maghribi yang mengunjungi Samudera Pasai
pada tahun 1346 M mengemukakan bahwa ia telah bertemu kapal Sultan Pasai di
negeri Cina. Utusan-utusan Samudera Pasai telah mengadakan hubungan dengan Cina
sejak abad ke 13 M.
Sebagai Bandar perdagangan yang telah maju
pada masanya, Samudera Pasai mengeluarkan mata uang emas yang dinamakan Dirham
atau Deureuham, yang ditemukan di Kecamatan Samudera, Kabupaten Aceh Utara,
Nanggroe Aceh Darussalam.Dibagian muka semua dirham Pasai, kecuali kepunyaan
Sultan Salah al-Din (1405-1412), tertera nama sultan dengan gelar Malik
al-Zahir. Setelah Kerajaan Aceh menaklukan Kerajaan Samudera Pasai pada
tahun1524 M, para Sultan Aceh meniru kebiasaan para sultan Samudera Pasai
dengan memakai gelar Malik al-Zahir pada sisi belakang dirham mereka. Hal ini
terjadi sejak pemerintahan Sultan Aceh Darussalam yang pertama, yaitu Sultan
Ali Mughayat Syah (1571-1530) sampai dengan Sultan Ali Ri’ayat Syah
(1571-1579). Akan tetapi sejak Sultan Iskandar Muda ( 1607-1637 ), kata – kata
seperti gelar Malik al-Zahir dan Al-Sultan Al-‘Adil tidak lagi digunakan pada
dirham Aceh.
Kejayaan Kesultanan Samudera Pasai mulai
mengalami ancaman dari peradaban terbesar di Jawa waktu itu, yakni dari
Kerajaan Majapahit dengan Gadjah Mada sebagai Mahapatihnya yang paling
legendaris. Gadjah Mada diangkat sebagai Patih di Kahuripan pada periode
1319-1321 Masehi oleh Raja Majapahit yang kala itu dijabat oleh Jayanegara.
Pada 1331, Gadjah Mada naik pangkat menjadi Mahapatih ketika Majapahit dipimpin
oleh Ratu Tribuana Tunggadewi. Ketika pelantikan Gadjah Mada menjadi Mahapatih
Majapahit inilah keluar ucapannya yang disebut dengan Sumpah Palapa, yaitu
bahwa Gadjah Mada tidak akan menikmati buah Palapa sebelum seluruh Nusantara
berada di bawah kekuasaan Kerajaan Majapahit.
Mahapatih Gadjah Mada rupanya sedikit
terusik mendengar kabar tentang kebesaran Kesultanan Samudera Pasai diseberang
lautan sana. Majapahit khawatir akan pesatnya kemajuan Kesultanan Samudera
Pasai. Oleh karena itu kemudian Gadjah Mada mempersiapkan rencana penyerangan
Majapahit untuk menaklukkan Samudera Pasai. Desas-desus tentang serangan
tentara Majapahit, yang menganut Agama Hindu Syiwa, terhadap kerajaan Islam
Samudera Pasai santer terdengar di kalangan rakyat di Aceh. Ekspedisi Pamalayu
armada perang Kerajaan Majapahit di bawah komando Mahapatih Gadjah Mada memulai
aksinya pada 1350 dengan beberapa tahapan.
Serangan awal yang dilakukan Majapahit di
perbatasan Perlak mengalami kegagalan karena lokasi itu dikawal ketat oleh
tentara Kesultanan Samudera Pasai. Namun, Gadjah Mada tidak membatalkan
serangannya. Ia mundur ke laut dan mencari tempat lapang di pantai timur yang
tidak terjaga. Di Sungai Gajah, Gadjah Mada mendaratkan pasukannya dan
mendirikan benteng di atas bukit, yang hingga sekarang dikenal dengan nama
Bukit Meutan atau Bukit Gadjah Mada.
Selanjutnya, Gadjah Mada menjalankan siasat
serangan dua jurusan, yaitu dari jurusan laut dan jurusan darat. Serangan lewat
laut dilancarkan terhadap pesisir di Lhokseumawe dan Jambu Air. Sedangkan
penyerbuan melalui jalan darat dilakukan lewat Paya Gajah yang terletak di
antara Perlak dan Pedawa. Serangan dari darat tersebut ternyata mengalami
kegagalan karena dihadang oleh tentara Kesultanan Samudera Pasai. Sementara
serangan yang dilakukan lewat jalur laut justru dapat mencapai Istana.
Selain alasan faktor politis, serangan
Majapahit ke Samudera Pasai dipicu juga karena faktor kepentingan ekonomi. Kemajuan
perdagangan dan kemakmuran rakyat Kesultanan Samudera Pasai telah membuat
Gadjah Mada berkeinginan untuk dapat menguasai kejayaan itu. Ekspansi Majapahit
dalam rangka menguasai wilayah Samudera Pasai telah dilakukan berulangkali dan
Kesultanan Samudera Pasai pun masih mampu bertahan sebelum akhirnya
perlahan-lahan mulai surut seiring semakin menguatnya pengaruh Majapahit di
Selat Malaka.
Hingga menjelang abad ke-16, Samudera Pasai
masih dapat mempertahankan peranannya sebagai bandar yang mempunyai kegiatan
perdagangan dengan luar negeri. Para ahli sejarah yang menumpahkan minatnya
pada perkembangan ekonomi mencatat bahwa Pasai pernah menempati kedudukan
sebagai sentrum kegiatan dagang internasional di Nusantara semenjak peranan
Kedah berhasil dipatahkan.
Namun kemudian, peranan Pasai yang
sebelumnya sangat penting dalam arus perdagangan di kawasan Asia Tenggara dan
dunia mengalami kemerosotan dengan munculnya bandar perdagangan Malaka di
Semenanjung Melayu. Bandar Malaka segera menjadi primadona dalam bidang
perdagangan dan mulai menggeser kedudukan Pasai. Tidak lama setelah Malaka
dibangun, kota itu dalam waktu yang singkat segera dibanjiri perantau-perantau
dari Jawa.
Akibat kemajuan pesat yang diperoleh Malaka
tersebut, posisi dan peranan Pasai kian lama semakin tersudut, nyaris seluruh
kegiatan perniagaannya menjadi kendor dan akhirnya benar-benar patah di tangan
Malaka sejak tahun 1450. Apalagi ditambah kedatangan Portugis yang berambisi
menguasai perdagangan di Semenanjung Melayu. Orang-orang Portugis yang pada
1521 berhasil menduduki Kesultanan Samudera Pasai.
Tidak hanya itu, Kesultanan Samudera Pasai
semakin lemah ketika di Aceh berdiri satu lagi kerajaan yang mulai merintis
menjadi sebuah peradaban yang besar dan maju. Pemerintahan baru tersebut yakni
Kerajaan Aceh Darussalam yang didirikan oleh Sultan Ali Mughayat Syah.
Kesultanan Aceh Darussalam sendiri dibangun di atas puing-puing
kerajaan-kerajaan yang pernah ada di Aceh pada masa pra Islam, seperti Kerajaan
Indra Purba, Kerajaan Indra Purwa, Kerajaan Indra Patra, dan Kerajaan
Indrapura. Pada 1524, Kerajaan Aceh Darussalam di bawah pimpinan Sultan Ali
Mughayat Syah menyerang Kesultanan Samudera Pasai. Akibatnya, pamor kebesaran
Kerajaan Samudera Pasai semakin meredup sebelum benar-benar runtuh. Sejak saat
itu, Kesultanan Samudera Pasai berada di bawah kendali kuasa Kesultanan Aceh
Darussalam.
Di masa keemasannya, Kerajaan Samudera
Pasai dan Kerajaan Aceh Darussalam menjelma menjadi pusat perdagangan
internasional. Kerajaan Pelabuhan Islam itu begitu ramai dikunjungi para
Pedagang dan Saudagar dari berbagai Benua seperti, Asia, Afrika, Cina, dan
Eropa. Tidak hanya menjadi pusat perdagangan internasional, kerajaan Samudera
Pasai serta Kerajaan Aceh Darusslam ini pun menjadi Pusat Keilmuan dan
peradaban Islam di Asia Tenggara.
III. Penutup
Kerajaan Islam pertama di Indonesia adalah
kerajaan Samudra Pasai. Dari keterangan Ibnu Batutah pendidikan yang berlaku di
zaman kerajaan Pasai adalah; (a) Materi pendidikan dan pengajaran agama bidang
Syari’at adalah Fiqh Mazhab Syafi’I, (b) Sistem pendidikannya secara informal
berupa majlis ta’lim dan halaqah, (c) Tokoh pemerintahan merangkap tokoh Agama,
(d) Biaya pendidikan bersumber dari negara.
Sejalan dengan berkembangnya agama Islam di
Pasai, ilmu tasawuf pun mendapat tempat yang penting pula. Selain itu bahasa
melayu yang di sebut bahasa Jawi itu juga sangat berkembang di kerajaan
Samudera Pasai sehingga mampu untuk menerjemahkan kitab Tasawuf seperti
Durru’l-manzum itu. Di samping orang datang berguru ke Pasai, ada pula diantara
para ulama Pasai yang seperti di ceritakan oleh hikayat Patani, meninggalkan
negerinya pergi ke Patani untuk mengembangkan agama Islam di negeri itu.
Samudera Pasai yang menjadi pusat tamaddun
Islam di Asia Tenggara merupakan kerajaan pertama yang berikhtiar
mengaktualisasikan perintah Allah dalam al-Qur’an dengan mempergunakan ungkapan
Al-Sultan Al-‘adil dalam mata uangnya yang terbuat dari emas yang dinamakan
Dirham.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
·
M, Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, Cet. I, Medan: Pustaka
Iskandar Muda, 1961
·
Muhammad Said, Aceh Sepanjang Abad , Medan: Waspada Medan, 1981
·
Desi Anwar, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Surabaya: Amelia Computindo,
Cet. I, 2002
·
Sahari Ganie, Revitalisasi Diplomasi Aceh, Opini; Serambi Indonesia edisi
kamis tanggal 15 September 2011
·
M. Hasbi Amiruddin, Aceh dan Serambi Makkah, Banda Aceh, Yayasan PeNA, 2006
·
Muliadi Kurdi, Ulama Aceh dalam Melahirkan Human Resource di Aceh, Cet. I,
Banda Aceh, Yayasan Aceh Mandiri, 2010
·
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah, Kepulauan Nusantara Abad XII
dan XVIII, Melacak Akar-akar Pembaharuan Pemikiran Islam di Indonesia, Bandung:
Mizan, 1995
·
Sri Suyanta Harsa, Ulama Aceh, Dulu, Kini dan Nanti, Aceh Expres, Tanggal
10 s/d 16 April 2000
·
Nazaruddin Syamsuddin, Revolusi di Serambi Mekkah, Perjuangan Kemardekaan
dan Pertarungan Politik di Aceh 1945-1949, Jakarta: UI-Press, 1998
(Santri Dayah.Com)