HADIAH MENURUT HUKUM ISLAM
Sunday, 10 August 2014
SUDUT HUKUM | HADIAH (Arab: Hadiyyah) berarti suatu bentuk pemberian atau pengalihan hak dari seseorang, kelompok, atau lembaga kepada seseorang, kelompok, atau lembaga lain yang didasarkan kepada prestasi.
Hadiah bisa dalam bentuk materi atau bentuk lain yang non-materi, mulai dari bentuk pujian, penganugrahan gelar tertentu, pemberian penghargaan, remunerasi, promosi jabatan, pembebasan utang, voucher haji, umrah, kendaraan, rumah, uang tunai, bedah rumah, sertifikat asuransi, beasiswa, dan lain-lain.
Hadiah dilaksanakan sesudah prestasi diwujudkan. Jika pemberian diberikan sebelum prestasi terwujud boleh jadi itu bukan hadiah, tetapi mungkin bisa disebut dengan biaya pembinaan, motivasi, keprihatinan, dan sebagainya. Namun bisa juga berarti sogokan (risywah). Pemberian yang masuk kategori sogokan ini akan diuraikan dalam artikel tersendiri.
Hukum hadiah dalam Islam boleh (mubah), kecuali jika hadiah itu mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan syari'ah, misalnya mengandung unsur judi, misalnya sebentuk permainan tertentu yang dijanjikan akan memperoleh hadiah tetapi calonnya mengeluarkan biaya yang dikeluarkan secara emosional, tidak berdasarkan rasional, dan sangat berpotensi merugikan orang lain dan sebaliknya sangat berpotensi menyedot keuntungan bagi penyelenggaranya.
Contoh kongkritnya sejumlah permainan yang dibungkus dengan undian berhadiah tetapi persyaratannya harus menyetor uang terlebih dahulu. Contoh lain, permainan kartu tetapi yang kalah membayar dan yang menang untung.
Undian berhadiah yang berlebihan dan seolah-olah membius masyarakat untuk melakukan sesuatu, sehingga masyarakat jatuh kepada etos kerja yang spekulatif, karena larut dengan iming-iming penyelenggara program berhadiah, maka ini juga termasuk daerah syubhat.
Jika kenyataannya sebuah program undian atau apapun namanya, berujung pada pemberian keuntungan yang timpang antara penyelenggara dengan peserta, apalagi kalau nyata-nyata akan mengakumulasikan modal dan keuntungan kepada penyelenggara dan sebaliknya melahirkan sikap apatis dan spekulatif kepada pesertanya, maka dalam ushul fikih bisa ditetapkan hukum larangan terhadap program tersebut. Apakah larangan itu haram atau makruh, tergantung kasus per kasus.
Dasarnya ialah apabila sesuatu lebih mendatangkan kemudharatan daripada manfaat, atau mengakumulasikan keuntungan kepada segelintir penyelenggara hadiah dengan cara mengeksploitasi pesertanya dengan imingan sesuatu yang amat fantastis, meskipun kemungkinan untuk memperoleh hadiahnya hanya 0,001 %, maka ini bisa disebut contoh hadiah bermasalah. Bank-bank yang menyelenggarakan hadiah yang menggiurkan kepada nasabahnya perlu juga dikritisi.