Konsep umum pengawasan penahanan pra-persidangan
Sunday, 10 August 2014
SUDUT HUKUM | Munculnya konsep
praperadilan tak bisa lepas dari sejarah panjang perlunya pengawasan peradilan
yang ketat (strict judicial scrutiny) terhadap semua tindakan perampasan
kebebasan sipil seseorang. Konsep ini mengemuka pertama kali ketika Inggris
mencetuskan Magna Charta pada tahun 1215, yang lahir sebagai kritik atas
kesewenang-wenangan raja saat itu.
Meski kelahiran konsep Magna Charta
bertujuan membatasi kekuasaan raja, namun di dalamnya terdapat gagasan bahwa
HAM lebih penting daripada kekuasaan raja. Tak seorang warga negara dapat
ditahan, atau dirampas harta kekayaannya, atau diasingkan, atau dengan cara
apapun dikebiri hak-haknya kecuali dengan pertimbangan hukum. Konsepsi ini
selanjutnya dikenal dengan terma habeas corpus’. Paradigma absolutisme raja
bergeser ke arah kedaulatan rakyat, setelah sekian lama dikekang oleh raja, dia
luluh oleh sentuhan aliran rasionalisme.
Merujuk pada sejarahnya, habeas
corpus muncul dari prinsip dasar bahwa pemerintah harus selalu tunduk pada
hukum. Karenanya, hukum ditafsirkan dan diterapkan oleh hakim. Konsep ini
kemudian diformalkan oleh parlemen Inggris pada abad ke 17. Pasca-lahirnya
habeas corpus, penangkapan dan penahanan yang dilakukan harus dilengkapi dengan
surat perintah dari pengadilan, yang dikeluarkan atas nama raja, dan ditujukan
ke pejabat kerajaan tertentu. Surat perintah ini memiliki subpoena.
Pentingnya habeas corpus kembali
ditegaskan dalam Konstitusi Amerika Serikat pada abad ke 18. Amandemen pertama
konstitusi Amerika Serikat menyatakan bahwa pengadilan harus tegas mengawasi
semua kasus yang memiliki dampak nyata dan cukup besar atau gangguan yang
signifikan dengan pelaksanaan hak-hak fundamental seseorang (kebebasan sipil).
Penegasan serupa juga muncul di
Perancis, bersamaan dengan Déclaration des droits de l’homme et du citoyen pada
1789, buah dari Revolusi Perancis. Terinspirasi dari Habeas Corpus, deklarasi
ini mengenal hak atas sûreté. Hak ini menjamin bahwa tidak seorang pun bisa
ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang. Konsep hak atas sûreté ini yang
kemudian diadopsi prosedur hukum pidana Perancis.
Sebelumnya, semasa kekuasaan Raja
Louis XVI, pembentuk dan motor hukum adalah raja, karena ia mengidentifikasi
dirinya sebagai negara—L’Etat c’est moi. Raja Louis XVI berperan secara massal
menjadi hakim sekaligus penuntut. Struktur politik ini menjadi pencetus utama
revolusi untuk menempatkan ulang hak-hak rakyat pada tempat yang asasi, yakni
sebagai subjek hukum dan persamaan di depan hukum.
Mahkamah Agung Amerika Serikat menjelaskan
habeas corpus sebagai, “a writ antecedent to statute, ... throwing its root
deep into the genius of our common law”. Klausul ini menjadi arus kuat dalam
ideologi konstitusionalisme Amerika, khususnya terkait dengan hak atas
pengadilan yang adil, bersanding dengan konsep due process of law.
The writ of habeas corpus atau
dikenal juga sebagai “great writ of liberty” memungkinkan para hakim untuk
menyelidiki keabsahan penahanan seorang tahanan, sehingga tidak ada warga yang
kehilangan hidup, kebebasan, atau properti tanpa proses hukum.25 Habeas corpus
terpisah dari kasus pidana dan berbentuk gugatan perdata (proses nonkriminal).
Proses ini meninjau konstitusionalitas penahanan seseorang—pemohon, proses ini
di Amerika Serikat dikenal sebagai collateral attack.
Paul Halliday mengatakan, habeas
corpus sesungguhnya tidak didasarkan pada konsep modern hak individu, melainkan
hak prerogatif kerajaan dan kebaikan dan belas kasihan raja. Dalam praktiknya
konsep ini didasarkan pada perintah hakim terhadap institusi yang melakukan
penahanan, untuk memeriksa apakah tindakan ini dilakukan secara benar.27Habeas
Corpus dikeluarkan oleh institusi pengadilan melalui prosedur yang sederhana,
langsung dan terbuka, sehingga dapat dipergunakan oleh siapapun.
Secara gramatikal, istilah habeas
corpus berarti ‘menguasai diri orang’. Sederhananya konsep ini adalah upaya
hukum untuk menentang penahanan seseorang. Pengertiannya dapat dilihat dari dua
sisi, secara materil habeas corpus berarti ‘upaya hukum yang menentang penahanan
seseorang’. Secara formil, habeas corpus diwujudkan dengan surat perintah
pengadilan atau dikenal sebagai ‘great writ’.
Great writ merupakan cara menanyakan
dan meninjau kembali keabsahan penahanan, kepada institusi/pihak yang sedang
menahan seseorang. Surat perintah habeas corpus berisi, “Si tahanan berada
dalam penguasaan saudara. Saudara wajib membawa orang itu di depan pengadilan
serta wajib menunjukan alasan yang menyebabkan penahanannya”.
Habeas corpus tidak menciptakan hak
hukum substantif, melainkan memberikan pemulihan atas pelanggaran hak-hak hukum
atau atas tindakan mengabaikan kewajiban hukum. Dengan kata lain, habeas corpus
adalah mekanisme prosedural penegakan hukum atas hak dan kewajiban yang
diberikan, dikenakan, atau diakui pada otoritas lainnya—peradilan terhadap
penyidikan. Habeas corpus menekankan pentingnya perintah pengadilan untuk
membawa tahanan ke pengadilan guna tujuan peradilan.
Dalam perkembangannya, terma habeas
corpus diadopsi oleh banyak negara-negara di dunia, baik yang menganut sistem
common law maupun civil law. Perbedaan sistem ini tentu melahirkan banyak
varian habeas corpus. Salah satunya Indonesia yang menerjemahkan habeas corpus
menjadi praperadilan.
Pendapat Steven Semeraro bisa
digunakan untuk memahami varian habeas corpus, yang penekanannya pada
pengawasan peradilan. Menurut Semeraro, ada dua teori yang menjelaskan
perubahan doktrin habeas corpus. Pertama, teori ‘kekuasaan judicial’ (the
judicial-power theory), yang menafsirkan surat perintah sebagai perangkat yang
digunakan untuk menegakkan otoritas pengadilan guna menyatakan hukum ketika
hakim yang lebih rendah posisinya, menentang atau meremehkan kekuatan pengadilan
tersebut.
Teori kedua berfokus pada ideologi
terkait dengan surat perintah. Sejarah habeas corpus umumnya menafsirkan
doktrin perubahan sebagai respon terhadap faktor sosial dan politik eksternal
yang independen untuk sistem hukum. Penafsiran ini menjadi kebutuhan-respon
hipotesis pembangunan doktrinal yang benar pada tingkat tertentu, meski tidak
lengkap. Oleh karena itu, untuk memahami perkembangan doktrin habeas corpus,
harus juga dipertimbangkan sejauh mana ajaran itu dan ideologi sekitarnya, membantu
menciptakan perubahan dalam masyarakat, politik, dan hukum itu sendiri. Teori
kedua dari Semeraro ini bisa menjadi pembenar atas adopsi konsep habeas corpus
di Indonesia yang diwujudkan dalam mekanisme praperadilan.