‘Cybercrime’ Kejahatan Baru di Aceh
Friday, 19 September 2014
DEWASA ini, peranan teknologi informasi (TI) semakin penting, baik untuk kepentingan individu, bisnis, maupun pemerintahan. Dengan adanya TI khususnya internet, dunia seakan tanpa batas (borderless), tidak ada lagi hambatan ruang dan waktu dalam menjalin interaksi dengan siapapun dan di manapun. Kita dapat membeli produk dari negara lain melalui internet, melakukan transaksi dalam hitungan detik, mencari informasi dengan memanfaatkan search engine, atau menyelenggarakan pelayanan publik dengan memanfaatkan berbagai aplikasi e-government. Di bidang ekonomi, dikembangkan sistem elektronik sebagai infrastruktur untuk kelancaran perdagangan secara elektronik (e-commerce).
Di sisi lain, teknologi informasi membuka peluang terjadinya bentuk-bentuk kejahatan baru (cybercrime) yang lebih canggih dibanding kejahatan konvensional. Untuk mengatasi hal ini tidak cukup dilakukan pendekatan melalui sistem hukum konvensional, mengingat kegiatannya tidak lagi dibatasi oleh teritorial suatu negara, dalam arti aksesnya dengan mudah dapat dilakukan dari belahan dunia manapun. Dampak negatif berupa kerugian dapat terjadi baik pada pelaku tranksaksi maupun orang lain yang tidak pernah berhubungan sekalipun, misalnya dalam pencurian data kartu kredit melalui pembelanjaan di internet.
Pelanggaran hukum di dunia maya saat ini sudah merupakan fenomena yang mengkhawatirkan, seperti tindakan carding, hacking, cracking, phising, viruses, cybersquating, pornografi, perjudian online, transnational crime yang memanfaatkan IT sebagai tools. Penyebaran informasi destruktif, seperti cara pembuatan dan penggunaan bom, telah menjadi bagian dari aktivitas pelaku kejahatan internet.
Fasilitas internet
Aceh, sebagai daerah yang banyak menyediakan fasilitas internet termasuk di kantor, kampus, layanan publik, warung kopi hingga kendaraan umum seperti bis antarkota sangat terbuka dan berpeluang menjadi sasaran dan tujuan prilaku cybercrime. Selain belum adanya unit khusus dari penyidik dan dinas terkait tentang penanganan kejahatan dunia maya, kondisi Aceh yang tengah membangun ekonominya menjadi jalan mulus tindak kejahatan ini.
Kejahatan di internet yang paling sering diperbincangkan di media adalah pencemaran nama baik. Dalam internet dikenal istilah anonymit, di mana setiap orang dapat menggunakan nama lain selain nama diri yang sebenarnya. Oleh karena itu, sangat besar kemungkinan subjek hukum yang melakukan transaksi dan atau interaksi yang dilakukan dalam dunia maya sulit untuk diketahui.
Setiap orang dapat menyalahgunakan kebebasan yang diperolehnya secara sistematis sebagai konsekuensi pola komunikasi di internet, yang tidak dapat mewajibkan setiap orang mencantumkan identitas dirinya secara benar. Perbuatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik melalui sistem elektronik dapat dengan mudah dilakukan, sementara pelakunya sangat sulit diketahui. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi aparat penegak hukum, termasuk di Aceh.
Kejahatan lainnya yang tidak kalah meresahkan di Aceh adalah perjudian online. Namun, sejauh ini, belum ada kasus judi online yang sampai ke pengadilan sebagai bentuk perlawanan terhadap kejahatan dunia maya (cybercrime). Para pelaku kejahatan jenis ini masih sangat nyaman dan bahkan sudah menularkan kegiatannya kepada generasi muda Aceh, yang sering memanfaatkan jadwal pertandingan sepakbola Eropa sebagai ajang perjudian karena sebagian besar pemuda Aceh senang menonton pertanding tersebut.
Perjudian jenis ini tidak memerlukan tatap muka langsung (face to face) seperti judi lainnya. Masing-masing peserta bisa saja berada di negara yang berbeda, mereka hanya perlu melakukan login (proses masuk ke sistem internet), untuk kemudian diberikan account (bukti pendaftaran) dan langsung memainkan judi tergantung bentuk yang ditawarkan, bisa dengan menebak skor pertandingan, menebak angka (togel) atau sekadar menukar chip (koin digital) poker dari setiap kegiatan game (permainan) di Facebook dan berbagai media sosial lainnya.
Agama Islam sebagai agama yang dijadikan agama utama di Aceh sangat melarang kegiatan judi (maisir), namun belum ada qanun yang membahas khusus bagaimana judi di dunia maya (judi online). Oleh sebab itu, UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang berlaku secara nasional dapat dijadikan pedoman penyidik atau dinas terkait untuk membawa tindakan ini ke ranah hukum dan menindak pelakunya sesuai hukum.
UU ITE memuat pengaturan antara lain alat bukti elektronik, tanda tangan elektronik, penyelenggaraan sertifikasi elektronik, penyelenggaraan sistem elektronik, nama domain, dan sanksi pidana yang memadai untuk melindungi pengguna baik perseorangan maupun badan hukum dalam memanfaatkan teknologi informasi.
Menurut KUHP, perjudian merupakan tiap tiap permainan yang mendasarkan pengharapan buat menang pada umumnya bergantung kepada untung-untungan saja, termasuk kategori judi adalah pertaruhan tentang keputusan perlombaan yang tidak diadakan oleh mereka yang turut. Oleh karena itu, yang dilarang adalah dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan dan membaut dapat diaksesnya muatan perjudian.
Menurut UU ITE, akses adalah kegiatan melakukan interaksi dengan sistem elektronik baik dengan angka, huruf, simbol atau kombinasinya yang merupakan kunci untuk dapat mengakses komputer sebagai media kegiatan judi. Penyidik harusnya memiliki tool/software untuk dapat menjadikan kegiatan akses tersebut sebagai bukti atas tindakan kriminal ini, dengan mengidentifikasi seluruh halaman, aplikasi, akun dan data digital lainnya yang diakses oleh pelaku.
Penanganan ‘cybercrime’
Peran serta pemerintah dan penyidik dalam menjalankan perundang-undangan yang berlaku, terutama menerapkan UU No.11 Tahun 2008 ini sangat diperlukan sebagai perlindungan menyeluruh terhadap masa depan generasi muda Aceh. Sementara itu dari internal keluarga, orang tua harus sudah mulai sadar dan paham bahwa internet itu bagaikan dua sisi pedang yang bisa menguntungkan dan juga bisa merugikan jika disalahgunakan.
Penyidik dan pemerintah dapat melibatkan akademisi dan praktisi yang bergerak di bidang penanganan cybercrime untuk sama-sama memberantas kegiatan ini dengan menerapakan UU ITE sebagai payung hukumnya. Praktisi IT bisa dengan mudah mendapatkan bukti elektronik untuk menjerat pelaku baik dengan memeriksa kegiatannya di dunia maya (soft investigation) maupun dengan memeriksa fisik perangkat yang dipakai (hard investigation). Kegiatan ini biasa dinamakan dengan Digital Forensic, di mana bukti yang dimunculkan dapat berupa file komputer, jejak komputer serta daftar aktivitas (log) yang tersimpan di komputer atau smartphone untuk membuktikan semua aktivitas pelaku saat menjalankan kegiatannya di dunia maya.
Harapannya, Aceh tidak boleh menjadi lahan baru para pelaku kegiatan cybercrime. Harusnya fasilitas internet yang disediakan hampir di setiap sudut kota Banda Aceh dan kota lainnya dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan, keagamaan dan hal lain yang bersifat positif dan membangun. Diperlukan dukungan, tindakan dan kepedulian semua pihak untuk membendung kejahatan baik konvensional maupun digital yang masuk ke bumi Serambi Mekkah ini. Semoga!
sumber: http://aceh.tribunnews.com/2014/08/28/cybercrime-kejahatan-baru-di-aceh
* Jurnalis JH, ST., MBA., Akademisi dan Praktisi Teknologi Informasi (TI), tinggal di Banda Aceh. Email: jurnalis_jh@yahoo.com dan jurnalis.j@sbm-itb.ac.id. Websites: www.innovative-ibs.com