Hibah Dalam Hukum Adat Aceh
Wednesday, 17 September 2014
SUDUT HUKUM | Hibah merupakan pemberian hak atas sesuatu benda
miliknya sendiri kepada seseorang ahli waris atau bukan pada waktü sipemberi
masih hidup.
Di kabupaten Aceh Tengah hibah dikenal dengan istilah penosah, dan tentang dapat diberikan kepada siapa saja
dikenal dengan pepatah gemasih
papa setie mate (cinta kasih sampai mati).
Baik laki-laki maupun perempuan dapat bertindak selaku
pemberi hibah atau penerima hibah.
Bentuk barang yang dihibahkan dapat berupa apa saja, baik
yang bergerak mau pun tidak bergerak.
Biasanya jumlah harta yang dihibahkan tidak boleh melebihi
1/3 dari jumlah harta sipenghibah.
Di kabupaten Aceh Selatan (kecamatan Tapaktuan dan Samadua)
ada juga yang berpendapat bahwa jumlah harta yang dapat dihibahkan tidak
ada batasnya, karena itu adalah hak sipemilik harta dan dapat berbuat semaunya
akan hartanya itu. Maka siapapun tidak boleh mengganggu gugatnya akan haknya itu
sekalipun ahli warisnya, bahkan kalau ada ahli waris yang menggugat hal harta yang
sudah dihibahkan dianggap tercela.
Demikian pula di kabupaten Aceh Tengah hibah tidak dapat
diganggu gugat, yang dikenal dengan istilah madu ni edet (tidak dapat diganggu gugat). Penghibahan
dilakukan dengan suatu upacara adat yaitu khanduri (kenduri)
dengan dihadiri oleh orang tua-tua kampung, geuchik, tuha peuet,
dan imeum meunasah sebagai saksi.
Di kabupaten Aceh Tengah penghibahan harus memenuhi
syarat-syarat:
- Ijab kabul (antara pemberi dan penerima hibah).
- Suket (wali).
- Saksi-saksi (sekurang-kurangnya dua orang).
- Bener (segala sesuatunya diatas istana).
- Penei (ditanda-tangani bersama-sama seperti halnya pada jual beli).
Apabila salah satu syarat-syarat ini tidak ada, maka hibah
dapat dianggap tidak syah.
Pada umumnya' ketidak hadiran sipenerima hibah, tidak
menghalangi sahnya hibah tersebut. Di kabupaten Aceh Tengah hal ini tersimpul
dalam pepatah putih berbilang, kuning
bertimang, asal saja pada saat penghibahan
dihadiri oleh Sarak Opat (empat orang yang dituakan, terdiri dari:
- Reje = pemimpin kampung,
- Petue = pengurus masalah keamanan,
- Imam = pengurus masalah keagamaan,
- Sudare/Rakyat.
Pada akhir-akhir ini hibah telah dilakukan secara tertulis.
Di kabupaten Aceh Besar dan Kabupaten Pidie, hibah kepada
anak kandung dapat ditarik kembali apabila anak tersebut durhaka.
Di kabupaten Aceh Selatan (kecamatan Tapaktuan dan Samadua)
harta yang dihibahkan tidak dapat ditarik kembali walaupun sipenerima hibah
durhaka terhada sipenghibah.
Demikian pula di kabupaten Aceh Tengah yang dikenal dengan
istilah : mumang loahhe (memakan muntahnya = harta yang telah dihibahkannya dimintanya kembali).
Hibah bersyarat di kabupaten Aceh Tengah tidak dikenal, hal
ini tersimpul dalam pepatah "Pengonan
luni, bukan pengonan ni wau " (merupakan
hak tertentu tidak dicampur baurkan).
Di kabupaten Aceh Besar, pemberian hibah yang secara khusus ditujukan kepada seseorang dengan suatu kewajiban tidak pernah ada. Tapi hibah dengan kewajiban yang ditunjuk secara umum misalnya : "harta ini saya hibahkan kepada siapa di antara anak saya yang telah mengurusi saya kalau saya sudah tua atau meninggal", pernah dilakukan.
Di kabupaten Aceh Besar dan kabupaten Pidie harta seuharekat dapat juga dihibahkan asalkan
dengan persetujuan suami atau isteri.
Di kabupaten Pidie mengenai penghibahan atas harta tuha, ada dua pendapat :
- Harus atas persetujuan suami atau isteri
- Tidak perlu persetujuan suami atau isteri.
- Barang yang telah dihibahkan tidak diperhitungkan pada waktu diadakan perail
(faraidl).