Hukum Patah Titi dalam Kewarisan Adat Aceh
Wednesday, 17 September 2014
Pertanyaan:
Hamba Allah
di Meureubo Aceh Barat
Bagaimana
kedudukan ahli waris pengganti dalam menyelesaikan sengketa ahli waris ?
Jawab:
Ilmu mawaris adalah suatu ilmu yang membahas tentang peralihan hak atas harta
yang ditinggalkan oleh orang yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih
hidup. Ilmu mawaris juga disebut ilmu faraidh, karena dalam ilmu tersebut
dibicarakan bagian-bagian hak ahli waris tertentu yang telah ditetapkan nash
syari’at.
Hukum kewarisan Islam secara substantif-teoritis merupakan salah satu materi
hukum yang paling rinci (tafshili) disebutkan nash al-Qur’an, meliputi semua
persoalan kewarisan, baik yang berhubungan dengan penentuan pewaris (orang yang
meninggal), penetapan ahli waris yang berhak menerima harta warisan (ashab
al-furudh) dan bagian masing-masing ahli waris (furudh al-muqaddarah), serta
identifikasi harta warisan. Dengan demikian doktriner hukum kewarisan Islam
memberikan ruang yang sangat sempit terhadap kreatifitas ijtihadi.
Menurut hukum positif, pasal 185 ayat (1-2) Kompilasi Hukum Islam, teori patah
titi tidak diakui (non legitimize), dan hanya mengenal istilah ganti tempat,
artinya cucu menggantikan kedudukan ayah atau ibunya dalam mewarisi harta kakek
atau neneknya. Ketentuan itu dimaksudkan sebagai modifikasi hukum kewarisan
Islam dengan memperhatikan kenyataan hukum kewarisan dalam meyarakat.
Pergantian tempat (plaatsvervulling) dalam sistem kewarisan Kompilasi Hukum
Islam bertujuan untuk memberikan hak kewarisan cucu atas harta warisan yang
orang tuanya lebih dulu meninggal dari kakek atau neneknya.
Sebaliknya dalam praktek kewarisan adat Aceh tidak diakui teori
plaatsvervulling tersebut. Bahkan status cucu tidak dapat menggantikan posisi
orang tuanya yang lebih dulu meninggal dalam hal mewarisi harta kakek atau
neneknya.
Berbeda dengan pelaksanaan hukum kewarisan di beberapa negara Islam
dalam kasus di atas, tetap mengakui hak “kewarisan” cucu dari harta kakek atau
neneknya yang orang tuanya terlebih dulu meninggal meskipun dalam bentuk wasiat
wajibah sebagaimana yang berlaku dalam hukum kewarisan Mesir, atau menghabiskan
bagian 2/3 sisa harta warisan seperti yang berlaku di Arab Saudi. Dengan
demikian, dalam keadaan bagaimanapun cucu tetap mendapatkan hak dari harta
peninggalan kakek atau neneknya, dan tetap diakui sebagai “ahli waris yang
berhak” menerima pusaka kakek-nenek yang orang tuanya lebih dulu meninggal dari
kakek-neneknya.
Pada sisi yang sama term patah titi sudah sangat dikenal dalam praktek hukuk
kewarisan adat Aceh, bahkan telah menjadi istilah “negatif” bagi anak-anak yang
orang tuanya lebih dahulu meninggal dunia dari kakeknya. Ungkapan-ungkapan
berikut sering terjadi dalam masyarakat adat Aceh berkaitan dengan patah titi:
- “Kamu tidak ada hak lagi, karena sudah patah titi”. Maksudnya adalah, seorang paman mengatakan kepada seorang keponakannya bahwa ia tidak mendapatkan hak kewarisan apapun dari harta yang ditinggalkan oleh orang tua pamannya (kakek dari keponakannya sendiri), sebab orang tua (saudara paman) keponakan itu sudah terlebih dulu meninggal dari kakeknya;
- “Kita tidak ada hubungan lagi, karena kita sudah patah titi”. Ungkapan seperti itu biasa diucapkan oleh seorang keponakan kepada pamannya, namun yang dimaksudkan bukan sekedar tidak ada hubungan hak kewarisan, akan tetapi tidak ada hubungan kekerabatan dengan pamannya, hal itu terjadi lantaran ia tidak mendapatkan hak kewarisan apapun dari harta kakeknya dengan sebab orang tuannya lebih dulu meninggal dari kakeknya;
- “Kamu tidak bisa menuntut hak kewarisan, karena kamu sudah patah titi”. Maksunya idalah, bahwa seorang cucu tidak boleh menutut hak kewarisan kakeknya, sebab orang tuanya lebih dahulu meninggal dari kakeknya, sedangkan orang tuanya ada saudara laki-laki yang masih hidup.
Ilustrasi di atas menggambarkan bahwa, pelaksanaan patah titi dalam hukum
kewarisan adat Aceh memunculkan problematika hukum yang membutuhkan penelitian
yang lebih mendalam dan sungguh-sungguh, khususnya tentang kenyataan hukum
patah titi tersebut dan inplikasinya terhadap penerapan prinsip-prinsip
universal hukum kewarisan Islam terhadap hukum partukular.
Salah satu nilai
keuniversalan hukum kewarisan Islam adalah, bahwa peralihan hak kewarisan
pewaris kepada ahli waris bertujuan untuk menjaga kesinambungan garis nasal
((keturunan). Sebaliknya pelaksanaan patah titi dalam hukum kewarisan adat Aceh
cenderung memutuskan hubungan kekerabatan di antara ahli waris, terutama ahli
waris garis keturunan ke bawah (cucu).
Inplikasi dari praktek patah titi dalam hukum kewarisan adat Aceh adalah,
munculnya rasa ketidakadilan di antara ahli waris, putusnya hubungan
kekerabatan dan hilangnya hubungan silaturrahmi antara paman dan keponakan.
Apabila ada suatu acara syukuran (kenduri) di rumah seorang paman, maka
keponakan yang berstatus patah titi akan mengatakan bahwa ia tidak ada hubungan
saudara dengan pamannya itu. Dengan demikian praktek patah titi tersebut lebih
besar dampak negatifnya dibandingan kepastian hukum patah titi itu sendiri
serta tidak mencerminkan nilai-nilai universal hukum kewarisan Islam.
Di
samping itu praktek patah titi terasa tidak layak, tidak patut, tidak adil,
tidak manusiawi menghukung seseorang untuk tidak berhak menerima warisan yang
semestinya diterima ayahnya, hanya karena faktor ajal ayahnya lebih dahulu
meninggal dari kakeknya, apalagi saat kakeknya meninggal, semua anak-anaknya
sudah berkecukupan, sedangkan para cucu disebabkan ditinggal yatim ayahnya
melarat miskin. Apakan dianggap adil melenyapkan hak mereka untuk memperoleh
apa yang semestinya diperoleh bapaknya?
Demikian, mudah-mudah bermanfaat.