Penemuan Hukum
Sunday, 21 September 2014
SUDUT HUKUM | Sarjana hukum yang
bekerja di bidang profesinya selalu dihadapkan pada peristiwa atau konflik
konkret untuk dipecahkan. Untuk itu maka harus dicari atau diketemukan
hukumnya. Hukumnya harus dicari, diketemukan bukan diciptakan. Dikatakan harus
dicari atau diketemukan bukan diciptakan, karena hukumnya memang sudah ada.
Hal
ini tersurat dalam Pasal 28 UU no.4 th 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang
berbunyi bahwa: “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai
hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat” Jadi hukumnya sudah ada,
tinggal menggali ke permukaan. Menurut Paul Scholten di dalam perilaku manusia
tedapat hukumnya.Jadi hukum itu tidak semata-mata terdapat di dalam peraturan
perundang-undangan saja. “Penggalian” inilah yang pada dasarnya dimaksud dengan
penemuan hukum (rechtsvinding, law making) dan bukan penciptaan hukum.
Memang tidak tertutup kemungkinan bahwa hakim dalam menemukan hukum tanpa
disadari, tanpa disengaja menciptakan hukum, tetapi hakim dilarang untuk
menciptakan peraturan yang mengikat secara umum (AB Pas.21). Lihat
yurisprudensi tentang fiducia (HR 25-1-1929, NJ 1929, 616,
Bierbrouwerijarrest).
Bagaimanakah caranya menemukan hukum dalam memecahkan konflik? Tahap-tahap apa
saja yang harus dilalui?
Sebelum dijawab pertanyaan tentang caranya menemukan hokum perlu kiranya
diketahui lebih dahulu mengapa harus diketemukan hukumnya.
Mengapa hukumnya harus diketemukan? Hukumnya harus diketemukan oleh karena
peristiwa atau konflik konkret yang harus dipecahkan harus dikonversi lebih
dahulu menjadi peristiwa hukum, peristiwa konkretnya harus diterjemahkan dalam
bahasa hukum lebih dahulu. Kecuali itu hukumnya harus dicari karena peraturan
hukumnya tidak jelas atau tidak lengkap. Hukumnya harus diketemukan juga oleh
karena peraturan hukumnya harus disesuaikan dengan perkembangan keadaan.
Apa yang dicari dalam menemukan hukum pada dasarnya adalah
“pengertian-pengertian hukum” “berlaku tidaknya” dan sah tidaknya”.
Dalam menemukan hukumnya harus dicari lebih dahulu sumber hukum Seperti
diketahui sumber hukum atau sumber penemuan hukum meliputi undang-undang,
kebiasaan, putusan pengadilan, traktat, doktrin dan perilaku serta kepentingan.
Sumber hukum mengenal hierarkhi, yang berarti bahwa sumber-sumber hukum itu
kedudukannya tidak sama, ada yag kedudukannya lebih tinggi dari yang lain.
Hierarkhi ini membuka peluang terjadinya konflik antara sumber-sumber hukum
tadi. Kalau tejadi konflik maka sumber hukum yang tertinggilah yang harus
dimenangkan.
Kalau kita hendak menemukan hukum untuk suatu peristiwa atau konflik konkret,
maka kita cari terlebih dahulu hukumnya dalam undang-undang. Sumber hukum yang
tertinggi karena dibandingkan sumber-sumber hukumnya lainnnya lebih menjamin
kepastian hukum.
Kalau undang-undangnya tidak mengatur maka masih harus diupayakan menemukan
hukumnya dengan penalaran atau argumentasi.
Sebagai contoh: Ada seorang duda
yang mau nikah lagi. Adakah hukumnya, adakah peraturannya? Peraturan yang
mengatur secara khusus peristiwa duda yang mau nikah lagi tidak ada. Dalam hal
ini yang harus dicari adalah peraturan yang mengatur peristiwa yang mirip
dengan duda yang mau kawin lagi, tetapi jua berbeda. Peraturan ini ada, yaitu
yang mengatur janda yang mau nikah lagi. Dikatakan mirip karena sama-sama mau
menikah, dikatakan berbeda karena yang satu perempuan yan msih harus menunggu
masa idah, dan yang lain laki-laki. Peraturan yang berlaku bagi janda itu
diterapkan pada duda yang mau menikah, akan tetapi oleh karena berbeda maka
diterapkannya peraturan itu kepada duda (karena duda tidak perlu menunggu masa
idah) secara á contrario (secara kebalikannya). Contoh lain: Seorang pemilik
rumah yang rumahnya disewakan kepada orang lain menghibahkan rumah miliknya itu
kepada anaknya. Bolehkah seorang pemilik rumah yang rumahnya sedang disewa oleh
orang lain menghibahkannya kepada anaknya? Peraturan yang mengatur peristiwa
tentang hibh tersebut tidak ada. Apa yang harus dicari disini dengan penalaran
atau argumentasi adalah peraturan hukum yang mengatur peristiwa khusus yang
mirip dengan peristiwa orang yang menghibahkan rumah miliknya tadi meskipun
rumahnya sedang disewa orang lain. Peraturan ini ada (Pas.1576 KUHPer) yaitu
yang dikenal dengan asas “Jual beli tidak menghentikan sewa-menyewa”. Peraturan
tersebut diterapkan terhadap peristtiwa hibah secara analoog (argumentum per
analogiam).
Kalau peristiwa konkretnya tidak diatur sama sekali dalam undang-undang maka
perlu dipertanyakan “apakah peristiwa konkretnya itu bertentangan dengan
ketertiban umum, kesusilaan atau tidak?” Kalau tidak mengapa dilarang?
Kalau tidak seyogyanya harus dilarang. Apakah poliandri itu diatur: dilarang
atau dibolehkan. Peraturannya tidak ada, tetapi karena bertentangan dengan
kesusilaan maka dilarang. Apakah euthanasia itu dibolehkan? Peraturannya belum
ada, tetapi karena bertentangan dengan moral maka dilarang. Demikian pula
dengan byi tabung, karena meskipun peraturannya belum ada tetapi tidak
bertentangan dengan ketertiban umum maupun kesusilaan maka dibolehkan.
Kalau undang-undangnya tidak memberi jawaban atau solusi maka penelusurannya
dilanjutkan ke bawah, ke kebiasaan, putusan pengadilan dan sebagainya.
Oleh :Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H.