Politik Hukum Perundang-undangan
Sunday, 21 September 2014
Abstract
The stipulation of a welfare and law state contributes a consequence that
the prevailing law will provide assurances for all nations and each individual
from unfair and arbitrarily conducts. The law should protect each citizen so
that their rights as a citizen and human rights will be assured. All of these
can only be conducted if the terms on the “assurance” are written in the
constitution. Within such conception, the politics of law reform should be
based on the implementations of nation ideals and or national goals. Thus, the
reformed law resulted from the legislation machines can be prevailed
nationally, non over lapping, hierarchically structured and based on the
constitution. However, if the result is a deviant legislation, then it will
still become the implementation of the national goals. Therefore, a grand
design should be made so that the politics of legislations has a clear
directions and acceleration towards the accomplishments of welfare state. In
addition, the nature of the politics of legislations is politics policies that
determine which prevailed legislations that will arrange various community and
state lives.
Abstrak
Penetapan suatu negara sebagai negara hukum yang berkesejahteraan memberikan konsekuensi bahwa hukum yang berlaku akan memberikan jaminan terhadap segenap bangsa, segenap individu dari perlakuan tidak adil dan perbuatan sewenang-wenang. Hukum harus mengayomi setiap warga bangsa agar hak-haknya sebagai warga negara dan hak asasi manusianya terjamin. Di mana hal ini hanya dapat dilaksanakan jika ketentuan tentang “jaminan” tersebut dituangkan dalam konstitusi. Dalam konsepsi seperti ini, maka politik pembaharuan hukum harus merupakan pelaksanaan cita-cita bangsa dan atau tujuan nasional. Sehingga hukum yang dihasilkan dari mesin legislasi dapat berlaku secara nasional, tidak tumpang tindih, tersusun secara hierarki dan bermuara pada konstitusi. Namun, jika terpaksa dilahirkan perundang-undangan yang menyimpang, maka ia tetap merupakan pelaksanaan tujuan nasional. Untuk itu grand design perlu disusun agar politik hukum perundang-undangan memiliki arah yang jelas dan akselerasi terhadap terwujudnya negara kesejahteraan. Sebab, hakikatnya politik hukum adalah kebijakan politik yang menentukan aturan hukum apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Penetapan suatu negara sebagai negara hukum yang berkesejahteraan memberikan konsekuensi bahwa hukum yang berlaku akan memberikan jaminan terhadap segenap bangsa, segenap individu dari perlakuan tidak adil dan perbuatan sewenang-wenang. Hukum harus mengayomi setiap warga bangsa agar hak-haknya sebagai warga negara dan hak asasi manusianya terjamin. Di mana hal ini hanya dapat dilaksanakan jika ketentuan tentang “jaminan” tersebut dituangkan dalam konstitusi. Dalam konsepsi seperti ini, maka politik pembaharuan hukum harus merupakan pelaksanaan cita-cita bangsa dan atau tujuan nasional. Sehingga hukum yang dihasilkan dari mesin legislasi dapat berlaku secara nasional, tidak tumpang tindih, tersusun secara hierarki dan bermuara pada konstitusi. Namun, jika terpaksa dilahirkan perundang-undangan yang menyimpang, maka ia tetap merupakan pelaksanaan tujuan nasional. Untuk itu grand design perlu disusun agar politik hukum perundang-undangan memiliki arah yang jelas dan akselerasi terhadap terwujudnya negara kesejahteraan. Sebab, hakikatnya politik hukum adalah kebijakan politik yang menentukan aturan hukum apa yang seharusnya berlaku mengatur berbagai hal kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
A. Pendahuluan
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara hukum (rechsstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machtsstaat). Konsepsi negara hukum yang diinginkan oleh founding fathers sejak awal perjuangan kemerdekaan ini terlihat jelas dengan dimuatnya pokok-pokok pikiran dasar dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu “kemerdekaan, keadilan, kemanusiaan dan pernyataan bahwa pemerintah negara berkewajiban untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum”. Hal ini memberikan arah dan harapan bahwa hukum akan melindungi segenap rakyat, segenap individu dari perlakukan tidak adil dan perbuatan sewenang-wenang. Hukum akan mengayomi setiap warga bangsa agar hak-haknya sebagai warga negara dan hak asasi manusia-nya terjamin.
Namun, sejarah menunjukan bahwa selalu saja terdapat
kesenjangan atas apa yang diharapkan dengan kenyataan-kenyataan yang dihadapi.
Dalam hal ini, meskipun pemerintah telah memiliki idealisme dan langkah-langkah
konkrit untuk mengatasi kesenjangan antara harapan dan cita-cita dengan
kenyataan yang terjadi itu. Pemerintah juga telah berjuang, berusaha dengan
sungguh-sungguh untuk mengatasi keadaan itu, tetapi hasilnya hingga saat sekarang
memang belum dapat memuaskan semua warga negara, masih banyak dari mereka yang
belum memiliki akses terhadap keadilan (access to justice).
Namun “kesenjangan” yang masih ada seperti itu tidak boleh membuat kita semua kehilangan energi, kehilangan semangat atau menyerah, apa lagi putus asa untuk tetap memperjuangkan. Perjuangan untuk mewujudkan suatu yang ideal memang memerlukan waktu yang sangat panjang, generasi demi generasi. Hal ini juga terjadi di negara-negara maju, seperti Eropa, Amerika dan Jepang di mana sebuah peradaban, tatatanan dan sistem nilainya dibangun dalam waktu yang sangat panjang, generasi demi generasi.
Oleh karena itu kita semua harus memiliki keyakinan
bahwa suatu saat nanti, apa yang menjadi harapan itu akan menjadi kenyataan.
Meskipun juga harus disadari bahwa problema kemanusiaan akan selalu muncul
sepanjang kehidupan manusia. Karena itu setiap generasi, termasuk generasi
sekarang harus berbuat secara maksimal untuk mengatasi masalah-masalah yang
ada. Sehingga apa yang telah dirintis dan telah diperbuat oleh generasi
sekarang akan diteruskan oleh generasi-generasi yang akan datang. Tugas mereka
nanti adalah mengatasi masalah yang muncul pada zamannya. Tugas kita adalah
menyelesaikan masalah-masalah yang sekarang kita hadapi, sambil memberikan
landasan bagi penyelesaian masalah-masalah yang akan muncul di masa depan. Dan
landasan itu salah satunya adalah peraturan perundang-undangan, yang merupakan
bingkai pelaksanaan pembangunan nasional.
Dari konstruksi berpikir seperti itulah maka ada beberapa hal berikut yang dapat dipergunakan sebagai landasan dalam melaksanakan politik hukum perundang-undangan.
Dari konstruksi berpikir seperti itulah maka ada beberapa hal berikut yang dapat dipergunakan sebagai landasan dalam melaksanakan politik hukum perundang-undangan.
B. Visi Pembangunan Hukum
Kita semua hampir melupakan bahwa gagasan negara berlandaskan konstitusi dan hukum dalam perdebatan pada Sidang Pleno Konstituante saat membahas falsafah negara atau dasar negara, hak asasi manusia, dan pemberlakuan kembali UUD 1945 antara kurun waktu 1956-1959 ternyata tidak berkembang dan terinternalisasi ke dalam berbagai norma hukum dan praktek hukum, serta ketatanegaraan. Akibatnya, dalam waktu yang cukup lama kita mengalami suatu periode di mana hukum menjadi instrumen kekuasaan dalam menyelenggarakan berbagai kepentingan, yakni kepentingan kelompok dan kekuasaannya.
Karena itu dengan kembalinya kepada konstitusi hukum
yang berlandaskan hak asasi manusia yang diupayakan oleh pemerintahan pasca
orde baru melalui amandemen konstitusi sebanyak empat kali tersebut diharapkan
mampu mengembangkan prinsip-prinsip negara hukum selaras dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi, serta semakin kompleksnya masyarakat global.
Sehingga rule of law tidak lagi dipahami sebagai konsepsi yang tipis (thiner
conception) atau formal rule by law, tetapi dipahami sebagai konsepsi yang
paling tebal (thicker conception), yakni substantive social welfare.
Selain itu dengan empat kali amandemen yang meliputi
hampir keseluruhan materi UUD 1945 tersebut diarahkan untuk mengubah prinsip
kedaulatan rakyat yang semula dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat menjadi dilaksanakan oleh Undang-Undang Dasar. Hal ini
jelas dimaksudkan untuk menjadikan semua lembaga-lembaga negara dalam UUD 1945
memiliki kedudukan sederajat dan berjalannya prinsip saling mengawasi dan
mengimbangi (checks and balances), serta merupakan upaya untuk menjadikan UUD
1945 sebagai acuan dasar yang benar-benar hidup dan berkembang dalam
penyelenggaraan negara dan kehidupan warga negara (the living constitution).
Hal ini ditujukan agar supremasi konstitusi yang memang dikehendaki dalam
sebuah negara hukum dapat diwujudkan.
Berdasarkan prinsip negara hukum seperti itu
sesungguhnya yang memerintah adalah hukum, bukan manusia. Hukum dalam hal ini
harus diartikan sebagai kesatuan hirarkis tatanan norma hukum yang berpuncak
pada konstitusi. Karena itu pelaksanaan politik hukum perundang-undangan tidak
boleh menghadirkan hukum dan/atau peraturan perundang-undangan yang hanya untuk
kepentingan penguasa. Hukum tidak boleh hanya untuk menjamin kepentingan
beberapa orang yang berkuasa, melainkan harus menjamin kepentingan keadilan
bagi semua individu, bagi semua warga bangsa. Untuk dapat menjamin hal ini,
maka negara hukum yang dikembangkan bukanlah absolute rechsstaat, tetapi
demokratische rechsstaat (democratic rule of law).
Sejalan dengan itu agar politik hukum
perundang-undangan tetap dalam kerangka implementasi UUD 1945, maka harus
selaras dengan cita-cita pembentukan negara Indonesia sebagaimana tertuang
dalam Pembukaan UUD 1945; (1) melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah
darah Indonesia, (2) memajukan kesejahteraan umum, (3) mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan (4) ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Artinya, cita-cita
pembentukan negara atau biasa disebut tujuan negara itu harus dijadikan alas
sekaligus arah dalam setiap penyusunan program legislasi nasional (prolegnas)
dan pembahasan dalam penyusunan perundang-undangan dan peraturan lainnya. Hal
ini diperlukan agar konsepsi negara hukum yang demokratis tadi dapat berfungsi
sebagai sarana untuk mewujudkan tujuan bernegara, yakni welfare rechsstaat.
Atau dalam bahasa sederhananya bahwa pelaksanaan politik hukum melalui
pembaharuan hukum harus mampu membawa kemajuan, melindungi seluruh tumpah darah
dan mensejahterakan seluruh warga negara.
C. Politik Hukum Unifikasi Hukum
Dengan dikumandangkannya Proklamasi Kemerdekaan dan setelah diundangkannya UUD 1945 pada 18 Agustus 1945 seharusnya segera berlaku suatu sistem hukum nasional yang utuh guna menghapus semua warisan hukum pemerintahan kolonial Belanda. Hal ini disadari karena hukum-hukum kolonial itu tidak selaras dengan cita-cita proklamasi, juga bersifat menindas dan eksploitatif. Namun pada kenyataannya hukum-hukum itu tetap dipakai sebagai rujukan dan dipertahankan untuk menghindari kekosongan hukum.
Bersamaan dengan itu perundang-undangan ternyata juga
masih mengakui berlakunya hukum adat, dan hukum Islam. Karena itu, politik
hukum unifikasi dalam pembaharuan hukum dilaksanakan untuk mendorong kebijakan
pembaharuan hukum yang mengarah pada penggantian hukum-hukum warisan kolonial,
dan pengkooptasian hukum adat yang sangat beragam serta hukum Islam menjadi
hukum positif negara.
Sementara itu ketentuan hukum-hukum internasional yang
tercipta akibat masuknya Indonesia sebagai anggota organisasi badan-badan
internasional, regional dan atau kerjasama bilateral serta ratifikasi berbagai
perjanjian maupun yang berkaitan dengan hak asasi manusia juga telah
berimplikasi terhadap kewajiban negara untuk membuat undang-undangnya, bahkan
sekaligus kewajiban untuk menyelaraskan prinsip-prinsip hukum nasional yang
kita miliki terhadap instrumen-instrumen internasional di mana kita terkait di
dalamnya.
Pluralisme hukum tersebut juga diperbanyak oleh
berkembangnya peraturan daerah (perda) sebagai dampak penyelenggaraan otonomi
daerah serta aturan-aturan tertulis di luar tata urutan perundang-undangan. Di
mana ketentuan dalam peraturan-peraturan tersebut lebih menekankan pada peran
dan kekuasaan lembaga-lembaga negara (termasuk pemerintahan daerah) dalam membentuk
dan menafsirkan hukum tertulis guna mencapai tujuan lembaga-lembaganya.
Karena itu, dalam pelaksanaan politik hukum unifikasi
tidak sepenuhnya dapat terlaksana. Kekuasaan negara untuk melakukan unifikasi
hukum tetap saja terbatas. Bahkan dalam negara yang menganut sistem politik
totaliter sekalipun, tidak begitu saja dapat menghapuskan keanekaragaman hukum
yang hidup dan berkembang di wilayah kekuasaannya. Karena selain keterbatasan
kemampuan negara tadi, hukum dalam kenyataannya tidak semata-mata “ditemukan”
dalam masyarakat seperti yang dipikirkan oleh von Savigny. Hukum hakekatnya
adalah aturan atau ketentuan yang merupakan hasil interelasi sistem
sosial-politik yang terkait dalam rantai sejarah, nilai-nilai dalam masyarakat,
perilaku elit kekuasaan serta pengaruh nilai-nilai dari luar wilayah kekuasaan.
Dan pembaharuan hukum adalah politik hukum yang dipengaruhi oleh
ketentuan-ketentuan hukum yang telah ada sebelumnya, dan dominasi sistem
politik yang menyelimuti. Di mana dari berbagai penilitian yang telah ada dapat
disimpulkan; (1) dalam negara yang memiliki sistem politik demokratik, produk
hukumnya berkarakter populis, progresif, dan terbatas interpretasi, dan (2)
dalam negara yang memiliki sistem politik non-demokratik, produk hukumnya berkarakter
elitis, konsevatif dan terbuka interpretasi.
Meskipun demikian, yang terpenting dalam politik hukum
unifikasi perundang-undangan ini adalah bagaimana mhukuengambil sebanyak mungkin
nilai-nilai dari plurailisme hukum yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat
tersebut menjadi hukum positif negara, sehingga hukum yang dilahirkan dapat
diterima oleh seluruh warga negara sebagai energi positif dalam mewujudkan
cita-cita bangsa. Karenanya, kemungkinan masih adanya pluralisme hukum di masa
yang akan datang semata-mata hanya untuk mewadahi kearifan lokal yang memang
merupakan kekhasan daerah dan atau etnis tertentu yang justru memberikan
keuntungan lebih jika tidak dilaksanakan politik hukum unifikasi secara kaku.
D. Politik Legislasi Pasca Amandemen
Ternyata tidak saja lembaga-lembaga negara kemudian menjadi sederajat pasca amandemen UUD 1945, fungsi legislasi pun mengalami perubahan yang fundamental. Dari yang semula presidensial heavy, bergeser ke DPR. Hal ini dapat dilihat dari perubahan pada Pasal 5 ayat (1) UUD1945; dari “Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang dengan persetujuan DPR menjadi Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang dengan persetujuan DPR”.
Tidak hanya sampai disitu, perubahan tersebut diikuti
dengan berubahnya pula Pasal 20 UUD 1945, yaitu (1) DPR mempunyai kekuasaan
membentuk undang-undang; (2) setiap rencangan undang-undang dibahas oleh DPR
dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama; (3) jika rancangan
undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang
itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu; (4) Presiden
mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama menjadi
undang-undang; (5) dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui
bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari sejak
rancangan undang-undang itu disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah
menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. Perubahan Pasal 20 UUD 1945 ini
jelas menghilangkan dominasi presiden dalam proses pembentukan undang undang,
dan sekaligus menggesernya ke DPR.
Fungsi legislasi DPR itu juga menunjukkan adanya
superioritas terhadap fungsi legislasi DPD. Karena DPD hanya diberi kewenangan
untuk mengajukan dan ikut membahas rancangan undang-undang yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi
lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah. Dengan demikian, meskipun
DPD memiliki ruang dalam proses legislasi, tetapi tidak cukup untuk dapat
mengatakan bahwa DPD mempunyai fungsi legislasi. Sebab, fungsi legislasi harus
dilihat secara utuh, yaitu dimulai dari proses pengajuan sampai pemberian
persetujuan terhadap rancangan undang-undang menjadi undang-undang.
Superioritas atau monopoli fungsi legislasi DPR
seperti itu ternyata telah menjadi catatan banyak pakar untuk perlunya koreksi
terhadap Pasal 20 hasil amandemen tersebut. Karena, dalam lembaga perwakilan
rakyat yang menganut sistem bikameral, dua lembaga yang ada memiliki harmoni
kewenangan dalam fungsi legislasi. Dalam hal ini, meskipun Majelis Tinggi
(Senates/House of Lords) tidak memiliki hak untuk mengajukan rancangan
undang-undang tetapi berhak untuk mengubah, mempertimbangkan, atau menolak
(veto) rancangan undang-undang dari Majelis Rendah (Kongress/House of
Representatives). Di beberapa negara, jika kewenangan seperti itu tidak ada,
maka House of Lords diberi hak untuk dapat menunda pengesahan rancangan undang-undang
yang telah mendapat persetujuan dari House of Representatatives.
Hal yang demikian itu tentu dimaksudkan agar fungsi
legislasi DPR tidak dijadikan kekuatan politik untuk melanggengkan kepentingan
partai-partai politik yang mendominasi DPR. Sebab, menurut banyak pakar, dengan
fungsi legislasi DPR yang ada sekarang ini sering digunakan sebagai instrumen
untuk memproduksi undang-undang yang memperkuat supremasi DPR dengan tanpa
dialasi kebutuhan rasional.
Pendapat seperti itu tentu debatable, sebab meskipun
DPD tidak memiliki fungsi legislasi secara utuh tatapi tidak serta merta
politik hukum perundang-undangan kita telah menyimpang dari konstitusi. Karena
jika hal yang demikian itu terjadi maka pihak yang berkepentingan yang memiliki
legal standing dapat mengajukan keberatan terhadap isi undang-undang ke
Mahkamah Konstitusi.
Yang terpenting dalam kaitan dengan fungsi legislasi
DPR ini adalah bagaimana program legislasi nasional yang merupakan instrument
utama perencanaan program pembentukan hukum nasional, yang ditetapkan setiap
tahun itu merupakan kebutuhan rasional bangsa dan negara. Sejalan dengan itu
berbagai langkah perbaikan dalam penataan kelembagaan berikut fungsinya,
termasuk DPD dapat dicapai secara optimal. Hal ini dimaksudkan agar
perundang-undangan yang telah dibentuk dapat menjadi “bagian-bagian” dari
bangunan yang berpondasi UUD 1945. Persoalannya adalah bagaimana kita segera
dapat menyusun grand design bangunan rumah undang-undang kita, agar dapat
dibayangkan bentuk arsitekturnya sehinga dapat dijadikan acuan dalam
mengkonstruksi politik hukum perundang-undangan nasional.
E. Harmonisasi Hukum
Sebagaimana telah dibahas sebelumnya bahwa dalam negara hukum, maka konstitusi (baca: UUD 1945) harus menjadi acuan dalam penyelenggaraan negara dan kehidupan warga negara. Dalam hal ini, maka sistem pemerintahannya perlu menghadirkan adanya suatu tata hukum, yang menjadi bingkai norma-norma hukum agar saling terkait dan tersusun menjadi sebuah sistem. Di mana setiap norma hukum dalam sistem tersebut tidak boleh mengesampingkan atau bahkan bertentangan norma hukum yang lainnya.
Dengan demikian dalam negara hukum, sistem hukumnya
harus tersusun dalam tata norma hukum secara hirarkis dan tidak boleh saling
bertentangan di antara norma-norma hukumnya baik secara vertikal maupun
horizontal. Sehingga jika terjadi konflik antar norma-norma tersebut maka akan
tunduk pada norma-norma logisnya, yakni norma-norma dasar yang ada dalam
konstitusi.
Karakteristik dari norma hukum yang bersumber pada
norma dasar itu meliputi prinsip konsistensi dan legitimitas. Di mana suatu
norma hukum tetap akan berlaku dalam suatu sistem hukum sampai daya lakunya
diakhiri melalui suatu cara yang ditetapkan dalam sistem hukum, atau digantikan
norma lain yang diberlakukan oleh sistem hukum itu sendiri. Dalam karakteristik
tersebut maka berlaku prinsip-prinsip, antara lain lex posterior derogate legi
priori (norma hukum yang baru membatalkan norma hukum yang terdahulu), lex
superior derogate legi inferiori (norma hukum yang lebih tinggi tingkatannya
membatalkan norma hukum yang lebih rendah), dan lex specialis derogate legi
generalis (norma hukum yang bersifat khusus membatalkan norma hukum yang
bersifat umum).
Namun demikian terhadap prinsip hukum yang terakhir di
atas (baca: lex specialis) tersebut tentu berlaku yang sebaliknya, artinya
merupakan keadaan “menyimpang” dari ke-harmonisasian norma-norma dalam tatanan
hirarki sistem hukum nasional. Hal ini tentu hanya boleh terjadi apabila
norma-norma hukum yang umum memang tidak jelas atau mengatur norma hukum yang
memang dibutuhkan. Sehingga meskipun lex specialis dapat dipandang sebagai
suatu “masalah” dalam politik harmonisasi hukum, ia masih berada dalam koridor
atau kerangka hukum beralas dari norma-norma dasar dalam konstitusi.
Dalam kaitan politik harmonisasi hukum tersebut UU No.
10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan telah memberikan
pedoman dalam pembentukan peraturan perundang-undangan antara lain diatur: (1)
mengenai asas sebagaimana diatur dalam Pasal 5; (2) materi muatan sebagaimana
diatur dalam Pasal 6; (3) jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan
sebagaimana diatur dalam Pasal 7; dan Bab V tentang pembentukannya. Di mana
khusus tentang “harmonisasi” dalam UU No. 10 Tahun 2004 ini memang hanya
disebut satu kali, yakni dalam Pasal 18 ayat (2). Dalam Pasal ini disebutkan; “Pengharmonisasian,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang yang berasal dari
Presiden, dikoordinasikan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di
bidang peraturan perundang-undangan” (baca: Menteri Hukum dan Hak Asasi
Manusia).
Dengan adanya ketentuan Pasal 18 ayat (2) tersebut
maka harmonisasi hukum secara tegas dibebankan kepada suatu kementerian, yakni
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia. Hal ini dikandung maksud agar norma-norma
dalam rancangan undang-undang dimaksud tidak bertentangan secara vertikal
dengan UUD 1945 dan horizontal dengan undang-undang lain. Sayangnya dalam
politik harmonisasi hukum ini tidak mutatis mutandis diberlakukan terhadap
rancangan undang-undang hasil inisiatif DPR, dan juga jenis peraturan
perundang-undangan yang lain: (a) Peraturan Pemerintah; (b) Peraturan Presiden;
(c) Peraturan Daerah. Akibatnya, secara normatif terhadap peraturan
perundang-undangan itu tidak terikat “proses” harmonisasi dalam pembentukannya.
Bersyukur bahwa dalam penyusunan jenis peraturan perundang-undangan tersebut
secara konvensi prosesnya juga diharmonisasikan ke Departemen Hukum dan Hak
Asasi Manusia. Namun jelas hal itu tidak mengikat secara hukum, padahal politik
harmonisasi ini sesungguhnya wajib hukumnya. Hal ini diperlukan guna
meminimalisir judicial review ke Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung.
Selain itu politik harmonisasi hukum sendiri adalah keniscayaan dalam suatu
negara hukum.
F. Penutup
Negara Indonesia adalah negara hukum, maka politik hukum peraturan perundang-undangannya didasarkan pada Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945. Untuk itu visi pembangunan hukum yang merupakan arah kebijakan politik hukum nasional juga harus diletakan di atas tujuan pembangunan nasional sebagaimana ditetapkan oleh founding fathers kita dalam Pembukaan UUD 1945. Hal ini diperlukan untuk mewujudkan supremasi konstitusi dan menjadikan konstitusi benar-benar hidup dan berkembang dalam penyelenggaraan negara dan kehidupan warga negara (the living constitution).
Dalam hal itu, maka politik hukum pembaharuan
peraturan perundang-undangan diarahkan menuju unifikasi hukum yang harmonis
dalam bingkai grand design, sehingga norma-normanya tidak saling bertentangan
baik secara vertikal maupun horizontal, atau bahkan menjadikan hukum kita
“lepas dari orbit”. Meskipun harus disadari bahwa unifikasi dan harmonisasi
dapat saja terlanggar, sepanjang hal tersebut karena ke khas-an Indonesia, lex
specialis dan lebih bermanfaat bagi bangsa dan negara.
Pasca amandemen UUD 1945, fungsi legislasi heavy nya telah bergeser ke DPR, dan para pakar telah mengamati bahwa ini bisa saja “dipakai” untuk memperkuat supremasi DPR. Karenanya agar politik hukum peraturan perundang-undangan kita tetap berciri populis, progresif dan limited interpretation, maka DPR dalam menjalankan fungsi legislasinya harus berangkat dari aspirasi rakyat dan tetap dapat menjaga berkembangnya demokratische rechsstaat agar negara Indonesia yang berkesejahteraan (welvaartstaat, welfare state) dapat diwujudkan. People are the true legislators, and parlemen is people representative.
Pasca amandemen UUD 1945, fungsi legislasi heavy nya telah bergeser ke DPR, dan para pakar telah mengamati bahwa ini bisa saja “dipakai” untuk memperkuat supremasi DPR. Karenanya agar politik hukum peraturan perundang-undangan kita tetap berciri populis, progresif dan limited interpretation, maka DPR dalam menjalankan fungsi legislasinya harus berangkat dari aspirasi rakyat dan tetap dapat menjaga berkembangnya demokratische rechsstaat agar negara Indonesia yang berkesejahteraan (welvaartstaat, welfare state) dapat diwujudkan. People are the true legislators, and parlemen is people representative.
DAFTAR PUSTAKA
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004
Basah, Sjachran, 1986. Tiga Tulisan Tentang Hukum,
Armico, Bandung
Budiardjo, Miriam, 1992. Dasar-Dasar Ilmu Politik,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Carney, Gerard, 1993. Sparation of Powers in the
Westminster System, Parliement House Brisbane, Australia
Gaffar, Afan, 2005. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Gaffar, Afan, 2005. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Hamilton, Lee H., 2004. How Congress Works and Why You
Should Care, Indiana University Press, New Heaven
Jimly Asiddiqie, 2003. Struktur Ketatanegaraan
Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945, Makalah pada Syposium
Nasional BPHN, Jakarta
______________, 2009. Menuju Negara Hukum Yang
Demokratis, BIP, Jakarta
Kelsen, Hans, 1961. General Theory of Law and State,
Russel & Russel, New York
Kusumaatmadja, Mochtar, 1986. Hukum, Masyarakat dan
Pembinaan Hukum Nasional, Bina Cipta, Bandung
Lijphart, Arend, 1999. Pattern of Democracy: Government
Forms and Performance in Thirtysix Countries, Yale University Press, New Heaven
and London
Logeman, J.H.A., 1975. Tentang Teori Suatu Hukum Tata
Negara Positif, Iktiar Baru-Van Hoeve, Jakarta
Lubis, M. Solly, 1992. Serba-Serbi Politik dan Hukum,
Mandar Maju, Bandung
Manan, Bagar, 1992. Dasar-Dasar Perundang-undangan
Indonesia, IND-Hill, Co, Jakarta
Rajaguguk, Erman, 1999. Peranan Hukum Dalam
Pembangunan Pada Era Globalisasi, Jurnal Hukum, FH UII, Yogyakarta
Rasjidi, Lili, 1996. Filsafat Hukum, Citra Aditya
Bakti, Bandung
Rawls, John, 1973. A Theory of Justice, Oxford
University Press, New York
Saragih, Bintan R., Tanpa Tahun. Politik Hukum, Pusat
Studi HTN Univ. Trisakti, Jakarta
Sidharta, Bernard Arief, 1999. Refleksi Tentang
Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung
Tourine, Alain, 1997. West is Democracy?, West Press,
Colorado
Utrecth, E, 1983. Pengantar Dalam Hukum Indonesia,
Pustaka Sinar Harapan, Jakarta
(*H. Andi Mattalatta)