Wali Anak tidak Syar'i
Sunday, 21 September 2014
Oleh Prof. Dr. Tgk. H. Muslim Ibrahim, MA
Pertanyaan
Assalamualaikm wr wb.
Assalamualaikm wr wb.
Ustad yang mulia.
Tampaknya di zaman globalisasi sekarang ini
banyak terjadi pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA), pasangan yang sudah
mengandung (hamil). KUA tersebut tidak mengetahui hal demikian itu. Lebih
kurang 8-9 bulan, lahirlah anak itu.
Yang menjadi pertanyaan adalah, siapakah yang
berhak menjadi wali anak yang lahir dari hasil pernikahan tadi jika anak itu
perempuan? Sebesar apakah dosanya keuchik dan imum ke dua belah pihak, bila
mereka sudah mengetahui keadaan masa pernikahan dulu, si perempuan sudah hamil?
Mohon jawaban yang lengkap dengan
keterangannya. Atas jawabannya kami ucapkan terima kasih.
Jawaban
Yth. Saudara Penanya
Yth. Saudara Penanya
Waalaikumussalam wr wb.
Demikan pertanyaan yang pengasuh terima melalui
email penanya, yang menurut pengasuh itu amat penting dijawab. Karena masalah
seperti yang ditanyakan itu banyak terjadi pada zaman sekarang ini. Jawaban
ringkasnya adalah sebagai berikut:
1. Sebagaimana sudah dimaklumi bahwa anak yang
proses kejadiannya (hamil di luar nikah) menurut Islam adalah tidak punya
hubungan nasab syar’i dengan bapak biologinya, sesuai sabda Rasulullah saw:
“Anak itu hanya dibangsakan kepada ibunya.” Ibunya tidak dapat menjadi wali,
sementara nikah tidak akan sah tanpa ada wali, sesuai sabda Rasulullah saw: “Tidak
sah nikah tanpa ada wali dan dua orang saksi. Dan saya adalah wali bagi orang
yang tidak punya wali.”
Berdasarkan hadis tersebut, yang dapat menjadi
wali anak perempuan tersebut adalah kepala negaranya. Di Indonesia tentulah
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang wewenang itu diberikan kepada
Menteri Agama, kemudian kepada Kakanwil Agama, yang ujungnya berakhir pada
Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) setempat.
2. Menurut hemat pengasuh, keuchik dan imum ke
dua belah pihak tidak berdosa, kalau tahu kehamilan tersebut, tapi ia bersaksi
bahwa anak itu anak tidak syar’i. Artinya bersaksi apa adanya. Tetapi ia akan
berdosa besar kalau bersaksi palsu, seperti bersaksi bahwa anak itu syar’i.
Artinya bersaksi sesuatu yang tidak sesuai dengan yang diketahui. Wah itu
dosanya besar sekali karena menjadi saksi yang palsu, yang dalam bahasa Arab
disebut syahadatuz-zuur. Syahadatuz-zuur termasuk ke dalam tujuh dosa besar
setelah menyekutukan Allah.
Demikian dari satu sisi. Tapi dari sisi yang
lain mungkin juga kita semua berdosa, tidak hanya Pak Keusyik dengan Pak Imum,
karena tidak berfungsi penuh dalam melaksanakan amar makruf dan nahi munkar
dalam lingkungan wilayah kita masing-masing. Karena kita semua adalah pemimpin,
harus bertanggung jawab terhadap kepemimpinan kita, sesuai sabda Rasulullah
saw: “Semua kamu adalah pemimpin dan semua kamu akan diminta pertanggungan
jawab terhadap kepemimpinannya.”
3. Ikut berdosa juga ibu dan bapak jasmaninya.
Bukan kerena mereka telah melakukan dosa besar saja, yaitu berzina, tapi juga
akan bertambah dosanya kalau ia menyampaian kepada yang berwenang, seperti
Kepala KUA bahwa anak itu adalah tidak syar’i, agar cepat diantisipasi,
sehingga nikah yang dilangsungkan nanti sesuai dengan syariat Islam. Maksud
lengkap rukun dan syarat-syarat nikah yang sah. Karena kalau nikah tidak sah,
tentu akan terjadi zina terselubung perkawinan (nikah). Ini tentunya akan lebih
gawat lagi.
4. Cara terbaik untuk menghapus dosa adalah
bertaubat kepada Allah, menyesalkan perbuatan dosa itu dan tidak akan
mengulanginya untuk selama-lamanya. Tidak hanya itu, tapi juga tidak melakukan
perbuatan dosa atau maksiat lainnya. Kalau didorong hawa nafsu untuk
melakukannya juga, ingatlah: Mungkinkah kita tidak memakan rezeki Allah, tidak
tinggal di bumi-Nya, tidak mungkin kita mencari tempat bersembunyi dari-Nya,
tidak mungkin lari dari malakul maut, sang pencabut nyawa dan juga tidak mungki
kita melarang malaikat Zabaniyah tatkala hendak menggiring kita ke neraka pada
hari kiamat nanti.
Kalau keempat hal ini tidak mungkin kita hindari,
maka marilah kita menjagan diri dari dosa besar dan kecil dan bertaubat
secepatnya dari dosa-disa yang terlanjur telah kita lakukan. Semoga Allah
menerima taubat kita semua, Amiin. Demikian, Wallahu a’lamu bish-shawaab.