-->

Wali Anak tidak Syar'i

Oleh Prof. Dr. Tgk. H. Muslim Ibrahim, MA
Pertanyaan
Assalamualaikm wr wb.
Ustad yang mulia.
Tampaknya di zaman globalisasi sekarang ini banyak terjadi pernikahan di Kantor Urusan Agama (KUA), pasangan yang sudah mengandung (hamil). KUA tersebut tidak mengetahui hal demikian itu. Lebih kurang 8-9 bulan, lahirlah anak itu.

Yang menjadi pertanyaan adalah, siapakah yang berhak menjadi wali anak yang lahir dari hasil pernikahan tadi jika anak itu perempuan? Sebesar apakah dosanya keuchik dan imum ke dua belah pihak, bila mereka sudah mengetahui keadaan masa pernikahan dulu, si perempuan sudah hamil?

Mohon jawaban yang lengkap dengan keterangannya. Atas jawabannya kami ucapkan terima kasih.
Jawaban
Yth. Saudara Penanya

Waalaikumussalam wr wb.
Demikan pertanyaan yang pengasuh terima melalui email penanya, yang menurut pengasuh itu amat penting dijawab. Karena masalah seperti yang ditanyakan itu banyak terjadi pada zaman sekarang ini. Jawaban ringkasnya adalah sebagai berikut:

1. Sebagaimana sudah dimaklumi bahwa anak yang proses kejadiannya (hamil di luar nikah) menurut Islam adalah tidak punya hubungan nasab syar’i dengan bapak biologinya, sesuai sabda Rasulullah saw: “Anak itu hanya dibangsakan kepada ibunya.” Ibunya tidak dapat menjadi wali, sementara nikah tidak akan sah tanpa ada wali, sesuai sabda Rasulullah saw: “Tidak sah nikah tanpa ada wali dan dua orang saksi. Dan saya adalah wali bagi orang yang tidak punya wali.”

Berdasarkan hadis tersebut, yang dapat menjadi wali anak perempuan tersebut adalah kepala negaranya. Di Indonesia tentulah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang wewenang itu diberikan kepada Menteri Agama, kemudian kepada Kakanwil Agama, yang ujungnya berakhir pada Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) setempat.

2. Menurut hemat pengasuh, keuchik dan imum ke dua belah pihak tidak berdosa, kalau tahu kehamilan tersebut, tapi ia bersaksi bahwa anak itu anak tidak syar’i. Artinya bersaksi apa adanya. Tetapi ia akan berdosa besar kalau bersaksi palsu, seperti bersaksi bahwa anak itu syar’i. Artinya bersaksi sesuatu yang tidak sesuai dengan yang diketahui. Wah itu dosanya besar sekali karena menjadi saksi yang palsu, yang dalam bahasa Arab disebut syahadatuz-zuur. Syahadatuz-zuur termasuk ke dalam tujuh dosa besar setelah menyekutukan Allah.

Demikian dari satu sisi. Tapi dari sisi yang lain mungkin juga kita semua berdosa, tidak hanya Pak Keusyik dengan Pak Imum, karena tidak berfungsi penuh dalam melaksanakan amar makruf dan nahi munkar dalam lingkungan wilayah kita masing-masing. Karena kita semua adalah pemimpin, harus bertanggung jawab terhadap kepemimpinan kita, sesuai sabda Rasulullah saw: “Semua kamu adalah pemimpin dan semua kamu akan diminta pertanggungan jawab terhadap kepemimpinannya.”

3. Ikut berdosa juga ibu dan bapak jasmaninya. Bukan kerena mereka telah melakukan dosa besar saja, yaitu berzina, tapi juga akan bertambah dosanya kalau ia menyampaian kepada yang berwenang, seperti Kepala KUA bahwa anak itu adalah tidak syar’i, agar cepat diantisipasi, sehingga nikah yang dilangsungkan nanti sesuai dengan syariat Islam. Maksud lengkap rukun dan syarat-syarat nikah yang sah. Karena kalau nikah tidak sah, tentu akan terjadi zina terselubung perkawinan (nikah). Ini tentunya akan lebih gawat lagi.

4. Cara terbaik untuk menghapus dosa adalah bertaubat kepada Allah, menyesalkan perbuatan dosa itu dan tidak akan mengulanginya untuk selama-lamanya. Tidak hanya itu, tapi juga tidak melakukan perbuatan dosa atau maksiat lainnya. Kalau didorong hawa nafsu untuk melakukannya juga, ingatlah: Mungkinkah kita tidak memakan rezeki Allah, tidak tinggal di bumi-Nya, tidak mungkin kita mencari tempat bersembunyi dari-Nya, tidak mungkin lari dari malakul maut, sang pencabut nyawa dan juga tidak mungki kita melarang malaikat Zabaniyah tatkala hendak menggiring kita ke neraka pada hari kiamat nanti.

Kalau keempat hal ini tidak mungkin kita hindari, maka marilah kita menjagan diri dari dosa besar dan kecil dan bertaubat secepatnya dari dosa-disa yang terlanjur telah kita lakukan. Semoga Allah menerima taubat kita semua, Amiin. Demikian, Wallahu a’lamu bish-shawaab.


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel