Hukum Mempelajari Ilmu Tasawwuf
Saturday, 8 November 2014
SUDUT HUKUM | Apakah yang di maksud/defenisi ilmu TASAWWUF?
Bagaimanakah hukum belajar ilmu tasawwuf.apakah sama seperti kita belajar ilmu Tauhid dan Fiqih.Apakah sah tauhid.ibadah atau amalan kita tampa ilmu tasawwuf.
tolong penjelasannya
wassalam
Jawab
1. Syekh Amin al-Kurdi mengatakan, ilmu tasauf adalah suatu ilmu yang dapat dikenal dengan sebabnya hal ahwal jiwa, yang terpuji maupun yang tercela, cara menyucikannya dari yang tercela, mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji dan cara berjalan dan menuju kepada Allah dan menyegerakan kepada-Nya.[1]
2. Ibnu Khaldun mengatakan asal ilmu tasauf adalah tekun beribadah, memutuskan pertalian terhadap segala sesuatu kecuali Allah, hanya menghadap kepada-Nya dan menolak perhiasan dunia. Selain itu membenci segala perkara yang selalu memperdaya orang banyak sekaligus menjauhi kelezatan harta dan kemegahannya. Tambahan pula tasauf itu berarti menyendiri menuju jalan tuhan dalam khalwat dan ibadah.[2] Kemudian beliau melanjutkan bahwa asal metode tasauf itu adalah semuanya merupakan muhasabah jiwa atas suatu perbuatan atau meninggalkannya serta membicarakan dzuq dan rasa yang didapati dari mujahadah kemudian tenggelam dalam satu maqam dan seterusnya naik kepada maqam lainnya. kemudian mereka mempunyai beberapa adab-adab tertentu dan istilah-istilah tertentu sesuai dengan lafazh-lafazh yang berkisar di antara mereka.[3]
3. Adapun hukum belajar ilmu tasauf terdapat dua pendapat berdasarkan penelusuran kami dari beberapa referensi pustaka. Ada yang berpendapat fardhu ain secara mutlaq. Pendapat ini dikemukakan antara lain Syekh Amin al-Kurdi dalam kitab Tanwirul Anwar[4] dan al-Ghazali.[5] Alasannya karena semua manusia kecuali para anbiya tidak terlepas dari aib dan penyakit hati. Pendapat lain mengatakan, apabila seseorang direzekikan Allah mempunyai hati yang baik tanpa perlu di bimbing oleh ilmu tasauf, maka itu sudah memadai baginya dan tidak perlu belajar lagi ilmu tasauf. Sebaliknya apabila hatinya tidak bersih dan tidak suci kecuali dengan ilmu tasauf (sebagaimana kebanyakan manusia), maka ilmu tasauf itu menjadi fardhu ‘ain baginya.[6]
4. Namun tentu kewajiban belajar ilmu tasauf ini tidak mesti harus mendalami hal-hal yang mendalam dan dalam bentuk kajian yang tinggi dan pelik sebagaimana halnya kebanyakan kajian dalam ilmu tasauf yang banyak dibicarakan orang. Jadi, cukup dan memadai dengan kajian-kajian yang dapat membantu kita menjauhi sifat-sifat hati yang tercela seperti ‘ujub, dengki, dendam dan lain-lain dan mengisi dengan sifat yang terpuji seperti tidak putus asa, ridha dengan qadha dan qadar tuhan dan lain-lain. Alhasil, yang mengantarkan kita kepada yang wajib dijauhi dan wajib diisi hati kita dengannya, maka itu menjadi wajib dan yang sunat dijauhi dan sunat diisi hati kita dengannya, maka itu menjadi sunat. Misalnya selalu berzikir kepada Allah, mempunyai sifat dermawan melebihi di atas kewajiban dan lain-lain.
5. Tanpa ilmu tasauf tauhid dan ibadah kita tentu sah selama syarat-syaratnya terpenuhi sesuai dengan yang ada dalam dua ilmu tersebut. Namun apabila hati kita tidak bersih dan suci karena tidak didukung oleh ilmu tasauf, maka tentunya tauhid dan ibadah kita tidak bermakna dan kosong hikmah (misalnya ibadah dengan sifat riya, maka tidak berpahala, meski terlepas dari kewajiban, contoh lain puasa yang tidak menjauhi sifat mengupat/ghibah )
Demikian , mudah2an bermanfaat
[1] Amin al-Kurdi, Tanwirul Anwar, Thaha Putra, Semarang, Hal. 406
[2] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Darul Fikri, Beirut, Hal. 467
[3] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Darul Fikri, Beirut, Hal. 469
[4] Amin al-Kurdi, Tanwirul Anwar, Thaha Putra, Semarang, Hal. 409
[5] Al-Suyuthi, al-Asybah wan- Nadhair, al-Haramain, Hal. 239
[6] Al-Suyuthi, al-Asybah wan- Nadhair, al-Haramain, Hal. 239
http://kitab-kuneng.blogspot.com/2014/11/ilmu-tasauf-dan-hukum-mempelajarinya.html