PENEGAKAN KEADILAN DI PENGADILAN
Tuesday, 4 November 2014
oleh : MAHFUD MD
Masyarakat yang awam hukum perlu memahami soal hukum yang sederhana ini. Hakim di pengadilan boleh melepaskan diri dari belenggu undang-undang untuk membuat putusan berdasar keyakinannya guna menegakkan keadilan subtantif.
Hal ini bukan hanya ada dalam teori atau tradisi hukum negara tertentu, tetapi juga dalam sistem hukum Indonesia.
Penegak atau tunduk
Sebenarnya perdebatan tentang tugas hakim sebagai penegak hukum dengan tunduk pada bunyi undang-undang dan tugasnya sebagai penegak keadilan meski harus keluar dari ketentuan undang-undang, merupakan isu klasik. Kini, sudah tidak ada lagi garis antara tradisi civil law yang menjadikan hakim hanya sebagai corong undang-undang dan tradisi common law yang menjadikan hakim sebagai pembuat keadilan hukum meski harus melanggar undang-undang. Keduanya dianggap sebagai kebutuhan yang saling melengkapi.
Berdasar UUD 1945 hasil amandemen, di Indonesia kedua hal itu diletakkan pada posisi sama kuat. Pasal 24 Ayat 1 menyebutkan, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan "hukum" dan "keadilan". Pasal 28D Ayat 1 juga menegaskan, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan "kepastian hukum yang adil". Jadi. tekanannya bukan pada kepastian hukum saja, tetapi kepastian hukum yang adil.
Saat konstitusi diamandemen, prinsip itu ditekankan dalam UUD 1945 karena di masa lalu, upaya menegakkan kepastian hukum sering dijadikan alat untuk mengalahkan pencari keadilan. Atas nama kepastian hukum, pencari keadilan sering dikalahkan dengan dalil yang ada dalam undang-undang; Padahal saat itu, banyak undang-undang yang berwatak konservatif, elitis, dan positivistik-instrumentalistik atau sebagai alat membenarkan kehendak penguasa.
Itu sebabnya, saat melakukan amandemen UUD 1945 dengan amat sadar kita menegaskan prinsip penegakan keadilan ke dalam konstitusi dalam proses peradilan. Para hakim didorong untuk menggali rasa keadilan substantif (substantive justice) di masyarakat daripada terbelenggu ketentuan undang-undang (procedural justice).
Bagi Mahkamah Konstitusi yang berfungsi sebagai pengawal konstitusi, demokrasi, dan hukum, keharusan mencari keadilan substansial ini selain dibenarkan UUD 1945 juga dimuat dalam UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pasal 45 Ayat 1 berbunyi, "Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasar Undang UUD Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim."
Pasal itu menyebutkan, bukti dan keyakinan hakim harus menjadi dasar putusan untuk menegakkan keadilan substantif, apalagi jika pihak yang beperkara jelas-jelas meminta ex aequo et bono (putusan adil).
Keluar undang-undang
Pada irah-irah tiap putusan juga selalu ditegaskan, putusan dibuat "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa," dan bukan "Demi Kepastian Hukum Berdasarkan Undang-Undang." Ini semua menjadi dasar yang membolehkan hakim membuat putusan untuk menegakkan keadilan meski-jika terpaksa- melanggar ketentuan formal undang-undang yang menghambat tegaknya keadilan.
Ada yang mempersoalkan, hal itu sulit dilakukan karena tiadanya kriteria pasti untuk menentukan keadilan itu. Berbeda dengan bunyi undang-undang yang isinya pasti. Atas masalah itu perlu ditegaskan, keadilan tidak selalu dapat dipastikan lebih dulu karena dalam banyak kasus justru harus disikapi sesuai karakter masing-masing. Keadilan akan terasa dan terlihat dari konstruksi hukum yang dibangun hakim dengan menilai satu per satu bukti yang diajukan di persidangan untuk akhirnya sampai pada keyakinan dalam membuat vonis.
Meski demikian, tidaklah dapat diartikan, hakim boleh seenaknya melanggar atau menerobos ketentuan undang-undang. Dalam hal undang-undang sudah mengatur secara pasti dan dirasa adil, maka hakim tetap perlu berpegang pada undang-undang.
Yang ingin ditekankan di sini hanyalah prinsip bahwa berdasarkan sistem hukum dan konstitusi di Indonesia, hakim diperbolehkan membuat putusan yang keluar dari udang-undang jika undang-undang itu membelenggunya dari keyakinan untuk menegakkan keadilan. Bukankah pengadilan itu tempat mencari dan menegakkan keadilan?.