Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabaui
Monday, 3 November 2014
SUDUT HUKUM | Pada awal abad ke-20, di Sumatera
Barat ditandai dengan periode yang penuh pergolakan sosial dan intelektual.
Berpuluh-puluh buku polemik, baik dalam bahasa Arab maupun bahasa Melayu mulai
banyak diterbitkan, dan berbagai majalah, surat kabar yang mewartakan hal-hal
yang berupa pergolakan pemikiran, dan aliran-aliran dalam pemahaman mazhab
dalam syari’at Islam, mulai banyak bermunculan, dan pengamalan dalam adat sesuI
panduan syarak, agama Islam sangat ramai dibicarakan.
Dalam hal ini gerakan Islam modernis
atau yang lebih dikenal sebagai Kaum Muda sangat besar peranannya. Ulama-ulama
Kaum Muda mendapat pengaruh besar dari modernis Islam di Kairo, yaitu Muhammad
Abduh dan Syekh Muhammad Rasyid Ridha, dan juga senior mereka Jamaluddin
Al-Afghani. Para pemikir ini punya kecenderungan berpolitik, namun karena
pengaruh Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi yang menjadi guru ulama Kaum Muda
generasi pertama mereka umumnya hanya memusatkan perhatian pada dakwah dan
pendidikan. Salah seorang pelopor gerakan pembaruan di Minangkabau yang
menyebarkan pikiran-pikirannya dari Mekah pada awal abad ke-20 adalah Syekh
Ahmad Khatib EL Minangkabawy (1855).
Syekh Ahmad Khatib adalah turunan
dari seorang hakim golongan Padri yang “benar-benar” anti penjajahan Belanda.
Ia dilahirkan di Bukittinggi pada tahun 1855 oleh ibu bernama Limbak
Urai.Limbak Urai adalah saudara dari Muhammad Shaleh Datuk Bagindo, Laras,
Kepala Nagari Ampek Angkek yang berasal dari Koto Tuo Balaigurah, Kecamatan
Ampek Angkek Candung. Ayahnya adalah Abdullatief Khatib Nagari, saudara dari
Datuk Rangkayo Mangkuto, Laras, Kepala Nagari Kotogadang, Kecamatan IV Koto, di
seberang ngarai Bukittinggi. Baik dari pihak ibu ataupun pihak ayahnya, Ahmad
Khatib adalah anak terpandang, dari kalangan keluarga yang mempunyai latar
belakang agama dan adat yang kuat, anak dan kemenakan dari dua orang tuanku
Laras dari Ampek Koto dan Ampek Angkek. Ditenggarai, bahwa ayah dan ibu Ahmad
Khatib dipertemukan dalam pernikahan berbeda nagari ini, karena sama-sama
memiliki kedudukan yang tinggi dalam adat, dari keluarga tuanku laras, dan
latar belakang pejuang Paderi, dari keluarga Pakih Saghir dan Tuanku nan Tuo.
Sejak kecilnya Ahmad Khatib mendapat
pendidikan pada sekolah rendah yang didirikan Belanda di kota kelahirannya. Ia
meninggalkan kampung halamannya pergi ke Mekah pada tahun 1871 dibawa oleh
ayahnya. Sampai dia menamatkan pendidikan, dan menikah pada 1879 dengan seorang
putri Mekah Siti Khadijah, anak dari Syekh Shaleh al-Kurdi, maka Syekh Ahmad
Khatib mulai mengajar dikediamannya di Mekah tidak pernah kembali ke daerah
asalnya. Syekh Ahmad Khatib, mencapai derajat kedudukan yang tertinggi dalam
mengajarkan agama sebagai imam dari Mazhab Syafei di Masjidil Haram, di Mekah.
Sebagai imam dari Mazhab Syafe’i, ia tidak melarang murid-muridnya untuk
mempelajari tulisan Muhammad Abduh, seorang pembaru dalam pemikiran Islam di
Mesir. "Syekh Ahmad Khatib sangat terkenal dalam menolak dua macam
kebiasaan di Minangkabau, yakni peraturan-peraturan adat tentang warisan dan
tarekat Naqsyahbandiyah yang dipraktekkan pada masa itu". Kedua masalah
itu terus menerus dibahasnya, diluruskan dan yang tidak sejalan dengan syari’at
Islam ditentangnya.
Pemahaman dan pendalaman dari Syekh
Ahmad Khatib el Minangkabawy ini, kemudian dilanjutkan oleh gerakan pembaruan
di Minangkabau, melalui tabligh, diskusi, dan muzakarah ulama dan zu’ama,
penerbitan brosur dan surat-kabar pergerakan, pendirian sekolah-sekolah seperti
madrasah-madrasah Sumatera Thawalib, dan Diniyah Puteri, sampai ke
nagari-nagari di Minangkabau, sehingga menjadi pelopor pergerakan merebut
kemerdekaan Republik Indonesia. Dalam beberapa karya Ahmad Khatib menunjukkan
bahwa barang siapa masih mematuhi lembaga-lembaga ‘kafir’ adalah kafir dan akan
masuk neraka. Kemudian, semua harta benda yang diperoleh menurut hukum waris
kepada kemenakan, menurut pendapat Ahmad Khatib harus dianggap sebagai harta
rampasan. Pemikiran-pemikiran yang disampaikan Ahmad Khatib memicu pembaruan
pemikiran Islam di Minangkabau.
Di pihak lain perlawanan yang
berarti terhadap pemikiran Ahmad Khatib datang dari kalangan Islam tradisi yang
adakalanya disebut kaum tua. Kecamannya mengenai tarekat, telah dijawab oleh
Syekh Muhamamad Saat bin Tanta’ dari Mungkar dan Syekh Khatib Ali di Padang
jang menerbitkan beberapa tulisan tentang itu. Kecamannya dalam harta warisan,
menumbuhkan kesadaran banyak orang Minangkabau memahami, bahwa tidak dapat
disesuaikan hukum waris matrilineal dengan hukum agama. Di antara guru agama
banyak juga yang tidak dapat menyetujui pendirian Ahmad Khatib, yang dianggap
tidak kenal damai. Walaupun pikiran-pikiran itu mendapat tantangan dari kaum
adat, maupun muridnya yang tidak menyetujui pemikiran demikian, namun perbedaan
pendapat ini telah melahirkan hasrat untuk lebih berkembang, menghidupkan kembali
kesadaran untuk pengenalan kembali diri sendiri, yaitu kesadaran untuk
meninggalkan keterbelakangan. Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawy menyebarkan
pikiran-pikirannya dari Mekah melalui tulisan-tulisannya di majalah atau
buku-buku agama Islam, dan melalui murid-murid yang belajar kepadanya.
Dengan cara itu, beliau memelihara
hubungan dengan daerah asalnya Minangkabau, melalui murid-muridnya yang
menunaikan ibadah haji ke Mekah, dan yang belajar padanya. Mereka inilah
kemudian menjadi guru di daerah asalnya masing-masing.Ulama zuama bekas murid
Ahmad Khatib, mulai mengetengahkan pemikiran, manakala Islam bermaksud tetap
memuaskan pengikutnya, maka harus terjadi suatu pembaruan. Setiap periode dalam
sejarah peradaban manusia, melahirkan pembaruan pemikiran agama yang bertujuan
memperbaiki pola penghidupan umatnya. Cita-cita itu ditemukan kembali dalam
agama. Cara berpikir seorang beragama Islam bertolak dari anggapan keyakinan,
bahwa Islam itu tidak mungkin memusuhi kebudayaan. Dengan kemajuan cara
berpikir orang berusaha menemukan kembali cita-citanya dalam Islam.
Timbul pertanyaan, apakah di dalam
Islam ada unsur yang menyangkut kepada cita-cita persamaan, kebangsaan, hasrat
untuk maju dan rasionalisme. Keunggulan dari Syekh Ahmad Khatib dalam
memberikan pelajaran kepada muridnya, selalu menghindari sikap taqlid. Salah
seorang dari muridnya, yakni H.Abdullah Ahmad, yang kemudian menjadi salah
seorang di antara para ulama dan zuama, pemimpin kaum pembaru di Minangkabau,
pendiri Sumatera Thawalib, yang berawal dari pengajian di Masjid Zuama,
Jembatan Besi, Padangpanjang, dan kemudian mendirikan pula Persatuan Guru Agama
Islam (PGAI), di Jati, Padang, telah mengembangkan ajaran gurunya melalui
pendidikan dan pencerahan tradisi ilmu dan mendorong pula para muridnya untuk
mempergunakan akal yang sesungguhnya adalah kurnia Allah.
Jika kepercayaan hanya tumbuh
semata-mata karena penerimaan atas wibawa guru semata, maka kepercayaan itu
tidak ada harganya, dan itulah yang membuka pintu taqlid. Peperangan melawan
penjajahan asing tidak semata-mata dengan menggunakan senjata, bedil dan
kelewang, tetapi pencerdasan anak kemenakan dengan memberikan senjata tradisi
ilmu. Murid-muridnya kemudian menjadi penggerak pembaruan pemikiran Islam di
Minangkabau, seperti Syekh Muhammad Djamil Djambek (1860 – 1947), Haji Abdul
Karim Amarullah (1879-1945) , dan Haji Abdullah Ahmad (1878 – 1933) . Imam
Besar Masjidil Haram Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi Satu-satunya orang
non-Arab yang menjadi imam besar Masjidil Haram di Makkah adalah seorang Minang
bernama Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, di akhir abad 19 dan awal abad 20
an.
Berikut artikelnya yg saya
rangkumkan untuk menambah wawasan kita: Syeikh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi
adalah ulama besar Indonesia yang pernah menjadi imam, khatib dan guru besar di
Masjidil Haram, sekaligus Mufti Mazhab Syafi’i pada akhir abad ke-19 dan awal
abad ke-20. Dia memiliki peranan penting di Makkah al Mukarramah dan di sana
menjadi guru para ulama Indonesia. Nama lengkapnya adalah Ahmad Khatib bin
Abdul Latif al-Minangkabawi, lahir di Koto Gadang, IV Koto, Agam, Sumatera
Barat, pada hari Senin 6 Dzulhijjah 1276 H (1860 Masehi) dan wafat di Makkah
hari Senin 8 Jumadil Awal 1334 H (1916 M) Awal berada di Makkah, ia berguru
dengan beberapa ulama terkemuka di sana seperti Sayyid Bakri Syatha, Sayyid
Ahmad bin Zaini Dahlan, dan Syekh Muhammad bin Sulaiman Hasbullah al-Makkiy.
Banyak sekali murid Syeikh Khatib
yang diajarkan fiqih Syafi’i. Kelak di kemudian hari mereka menjadi ulama-ulama
besar di Indonesia, seperti Abdul Kari Amrullah (Haji Rasul) ayahanda dari Buya
Hamka; Syeikh Muhammad Jamil Jambek, Bukittinggi; Syeikh Sulaiman Ar-Rasuli,
Candung, Bukittinggi, Syeikh Muhammad Jamil Jaho Padang Panjang, Syeikh Abbas
Qadhi Ladang Lawas Bukittinggi, Syeikh Abbas Abdullah Padang Japang Suliki,
Syeikh Khatib Ali Padang, Syeikh Ibrahim Musa Parabek, Syeikh Mustafa Husein,
Purba Baru, Mandailing, dan Syeikh Hasan Maksum, Medan.
Tak ketinggalan pula K.H. Hasyim
Asy’ari dan K.H. Ahmad Dahlan, dua ulama yang masing-masing mendirikan
organisasi Islam terbesar di Indonesia, Nahdatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah,
merupakan murid dari Syeikh Ahmad Khatib. Syeikh Ahmad Khatib adalah tiang
tengah dari mazhab Syafi’i dalam dunia Islam pada permulaan abad ke XIV. Ia
juga dikenal sebagai ulama yang sangat peduli terhadap pencerdasan umat. Imam
Masjidil Haram ini adalah ilmuan yang menguasai ilmu fiqih, sejarah, aljabar,
ilmu falak, ilmu hitung, dan ilmu ukur (geometri). Gagasan-gagasan beliau:
Perhatiannya terhadap hukum waris juga sangat tinggi, kepakarannya dalam
mawarits (hukum waris) telah membawa pembaharuan adat Minang yang bertentangan
dengan Islam. Martin van Bruinessen mengatakan, karena sikap reformis inilah
akhirnya al-Minangkabawi semakin terkenal. Salah satu kritik Syeikh Ahmad
Khatib yang cukup keras termaktub di dalam kitabnya Irsyadul Hajara fi Raddhi
‘alan Nashara. Di dalam kitab ini, ia menolak doktrin trinitas Kristen yang
dipandangnya sebagai konsep Tuhan yang ambigu.
Selain masalah teologi, dia juga
pakar dalam ilmu falak. Hingga saat ini, ilmu falak digunakan untuk menentukan
awal Ramadhan dan Syawal, perjalanan matahari termasuk perkiraan wahtu shalat,
gerhana bulan dan matahari, serta kedudukan bintang-bintang tsabitah dan
sayyarah, galaksi dan lainnya. Syeikh Ahmad Khatib juga pakar dalam geometri
dan tringonometri yang berfungsi untuk memprediksi dan menentukan arah kiblat,
serta berfungsi untuk mengetahui rotasi bumi dan membuat kompas yang berguna
saat berlayar. Kajian dalam bidang geometri ini tertuan dalam karyanya yang
bertajuk Raudat al-Hussab danAlam al-Hussab. Karya-karya beliau: Semasa
hidupnya, ia menulis 49 buku tentang masalah-masalah keagamaan dan
kemasyarakatan. Publikasinya tersebar hingga ke wilayah Syiria, Turki dan
Mesir.
Beberapa karyanya tertulis dalam
bahasa Arab dan Melayu, salah satunya adalah al-Jauhar al-Naqiyah fi al-A’mali
al-Jaibiyah. Kitab tentang ilmu Miqat ini diselesaikan pada hari Senin 28
Dzulhijjah 1303 H. Karya lainnya adalah Hasyiyatun Nafahat ala Syarh
al-Waraqat. Syeikh Ahmad Khatib menyelesaikan penulisan kitab ini pada hari
Kamis, 20 Ramadhan 1306 H, isinya tentang usul fiqih. Karyanya yang membahas
ilmu matematika dan al-Jabar adalah Raudhatul Hussab fi A’mali Ilmil Hisab yang
selesai dirulis pada hari Ahad 19 Dzulqaedah 1307 H di Makkah. Kitab-kitab
lainnya adalah al-Da’il Masmu’fi al-Raddi ala man Yurist al-Ikhwah wa Aulad
al-Akhawat ma’a Wujud al-Ushl wa al-Manhaj al-Masyru’, Dhau al-Siraj danShulh
al-Jama’atain bi Jawazi Ta’addud al-Jum’atain. Masih banyak lagi karya-karya
Syeikh Ahmad Khatib al Minangkabawi, ia sangat mengharumkan nama Indonesia
dalam dunia Islam internasional. Tanpa sosoknya, Indonesia tidak memiliki imam
dan khatib Masjidil Haram yang ahli Mazhab Syafi’i.