KELUARGA HAJI RASUL
Monday, 3 November 2014
SUDUT HUKUM | Ketika
pertama kali pergi ke Mekah untuk berguru kepada Syaikh Ahmad Khatib
Minangkabauwi, Haji Rasul menetap di negeri itu selama tujuh tahun (1894-1901).
Sekembali ke kampung halaman, beliau dilantik sebagai “putera mahkota” Tuanku
Kisa-i dengan diberi gelar Tuanku Syeikh Nan Mudo. Bersamaan dengan itu,
ayahnya pun mendapat gelar Tuanku Syeikh Nan Tuo. Tak lama berada di Nagari Danau, Haji Rasul
dinikahkan dengan Raihanah binti Haji Zakaria dari suku Tanjung.
Pernikahan
ini berlangsung atas permintaan ayahnya. Maksud Tuanku Kisa-i adalah meredakan
gelora anak muda yang baru saja menimba ilmu di seberang lautan itu. Rupanya,
siasat ayahnya tersebut mengena. Haji Rasul demikian bahagia dinikahkan dengan
gadis cantik yang disebutnya sebagai Raihanatu Qalbi (bunga yang mekar
di hati), dan agak berkuranglah kebengalannya akibat bergaul intens dengan guru
yang radikal selama tujuh tahun di Mekah. Pernikahan itu berbuah seorang puteri
yang dinamai Fathimah.
Sedang
hangat-hangatnya membina keluarga baru, Tuanku Kisa-i kembali mengutus Haji
Rasul ke Mekah untuk mengantar adik-adiknya berguru di sana. Maka Haji Rasul
pun berangkat beserta istri tercinta walau harus meninggalkan Fathimah dalam
asuhan salah seorang bibinya karena ibunda Raihanah (nenek Fathimah) keberatan
jika cucu kesayangannya dibawa ke Mekah.
Di
Mekah, Haji Rasul kembali menghadap Syaikh Ahmad Khatib Minangkabauwi untuk
kembali menimba ilmu dari sang guru. Tetapi Syeikh Ahmad Khatib menolak maksud
Haji Rasul karena dinilainya anak murid itu sudah cukup memiliki ilmu untuk
menjadi seorang guru. Beliau pun ditugasi mengajar ilmu agama dan hanya
diijinkan menemui gurunya jika menemukan persolan yang tak mampu dijawab
sendiri oleh Haji Rasul.
Demikian
gembira Haji Rasul mendapat tugas baru yang diartikannya sebagai pengakuan
bahwa ilmu agamanya telah cukup. Dia pun bertekad menetap lebih lama lagi di
Mekah. Kebahagiaannya semakin lengkap ketika Raihanah kembali hamil. Namun di
tengah kebahagiaan itu, Allah memberikan ujian berat baginya; bayi lakilaki
yang dilahirkan istri tercinta meninggal dalam usia satu hari. Setelah itu,
Raihanah jatuh sakit dan kondisi kesehatannya terus memburuk sehingga lima
bulan kemudian menyusul putera mereka kembali ke haribaan Allah S.W.T.
Haji
Rasul begitu berduka. Tekadnya untuk menetap di Mekah pupus. Beliau pun
memenuhi panggilan Tuanku Kisa-i untuk kembali ke Maninjau dan melanjutkan
tugas sebagai pemimpin umat di kampung halaman. Setelah mengerjakan haji pada
1906 dan memakai mengganti namanya dengan Abdul Karim, beliau pulang.
Pembesar-pembesar
suku Tanjung yang kecewa karena terputus hubungan dengan keluarga Amrullah
meminta Haji Rasul menikahi adik mendiang istrinya yang bernama Siti Syafiah
Tanjung binti Haji Zakaria. Padahal waktu itu Syafiah telah ditunangkan dengan
anak Tuanku Laras. Tetapi dengan segala resiko, pertunangan itu dibatalkan
keluarga demi mempertahankan hubungan kekerabatan dengan keluarga Amrullah.
Maka Haji Rasul pun setuju menikahi Syafiah.
Sebelumnya
Haji Rasul telah menikah dengan gadis bernama Hindun, mendapatkan beberapa anak yang semua meninggal
di masa kecil. Hanya anak bungsu bernama Abdul Wudud yang berumur panjang.
Sedangkan pernikahannya dengan Syafiah yang merupakan istri ke tiga, beliau
memperoleh empat anak; putera yang paling tua dinamai Abdul Malik (Hamka), lalu
Abdul Kudus, kemudian puteri ke tiga bernama Asma, dan bungsu bernama Abdul
Mu’thi. Setelah Syafiah, Haji Rasul juga menikah dengan Rafi’ah binti Sutan
Palembang. Sama seperti pernikahannya dengan Hindun, dari Rafi’ah Haji Rasul
memperoleh beberapa anak yang meninggal pada usia dini. Hanya anak bernama
Abdul Bari yang mencapai usia 25 tahun (meninggal dalam penjara di Padang,
dihukum karena menulis buku Suluh yang Gilang Gemilang).
Haji
Rasul kemudian bercerai dari dua istrinya, yakni Syafiah dan Rafi’ah. Beliau hidup bersama dengan Hindun dalam waktu
yang lama. Pada tahun 1941 Syeikh Amrullah alias Haji Rasul ditangkap dan
diasingkan oleh pihak Belanda ke Sukabumi karena fatwa-fatwa yang
dikeluarkannya dianggap potensial mengganggu keamanan dan keselamatan umum pada
masa itu. Akhirnya beliau wafat di Jakarta pada tanggal 21 Juni 1945, dua bulan
sebelum proklamasi. Pada 1976 makamnya dipindahkan ke kampung halamannya, Muara
Pauh-Sungai Batang, Maninjau.
Abdul Malik Karim Amrullah, Melanjutkan Jejak Ayah
Abdul
Malik lahir pada Ahad malam, 16 Februari 1908 bertepatan dengan 13 Muharram 1326. Tangal lahir ini menjadi
istimewa jika dikaitkan dengan meninggalnya Tuanku Kisa-i (kakek Abdul Malik)
pada Senin, 2 Rabi’ul Akh1325 H. Jika dihitung, Abdul Malik dilahirkan tepat 9
bulan 10 hari setelah kakeknya meninggal. Suatu kali, nenek Tarwasa (istri
Tuanku Kisa-i yang berusia lebih panjang daripada suaminya) pernah berkata
kepada Abdul Malik bahwa secara fisik dan pembawaan diri, ia lebih mirip Tuanku
Kisa-i daripada Haji Rasul. Tentu saja Allah menciptakan setiap individu
sebagai mahluk-Nya yang berbeda. Adapun peristiwa serba kebetulan itu menjadi
terasa istimewa, sesungguhnya rahasianya berada di tangan Allah semata. Wallahua’lam.