Biografi Lengkap Buya HAMKA (bagian 1)
Tuesday, 30 September 2014
SUDUT HUKUM | Hajii AbdulMalik Karim Amrullah atau lebih dikenal sebagai Hamka,
lahir 16 Februari 1908 di Ranah Minangkabau, desa Kampung Molek, Nagari Sungai
Batang, di tepian danau Maninjau, Luhak Agam, Sumatera Barat. Nama kecilnya
adalah Abdul Malik, sedangkan Karim berasal dari nama ayahnya, Haji Abdul Karim
dan Amrullah adalah nama dari kakeknya, Syeikh Muhammad Amrullah.
Hamka seorang ulama multi dimensi, hal itu tercermin dari
gelar-gelar kehormatan yang disandangnya.
Dia bergelar “Datuk Indomo” yang dalam tradisi Minangkabau berarti pejabat
pemelihara adat istiadat. Dalam pepatah Minang, ketentuan adat yang harus tetap
bertahan dikatakan dengan “sebaris tidak boleh hilang, setitik tidak boleh
lupa”. Gelar ini merupakan gelar pusaka turun temurun pada adat Minangkabau
yang didapatnya dari kakek dari garis keturunan ibunya; Engku Datuk Rajo Endah
Nan Tuo, Penghulu suku Tanjung.
Sebagai ulama Minang, Hamka digelari “Tuanku Syaikh”, berarti
ulama besar yang memiliki kewenangan keanggotaan di dalam rapat adat dengan
jabatan Imam Khatib menurut adat Budi Caniago.1) Sebagai pejuang, Hamka
memperoleh gelar kehormatan “Pangeran Wiroguno” dari Pemerintah RI. Sedangkan
sebagai intelektual Islam, Hamka memperoleh penghargaan gelar “Ustadzyyah
Fakhryyah” (Doctor Honoris Causa) dari Universitas Al-Azhar, Mesir,
pada Maret 1959. Pada 1974 gelar serupa diperolehnya dari Universitas
Kebangsaan Malaysia. Pada upacara wisuda di gedung parlemen Malaysia, Tun Abdul
Razak, Rektor Universitas Kebangsaan yang waktu itu menjabat sebagai Perdana
Menteri menyebut ulama karismatik itu dengan “Promovendus Professor Doctor
Hamka”. Ayah Hamka bernama Muhammad Rasul, pada masa mudanya lebih dikenal
dengan sebutan Haji Rasul. Setelah menunaikan ibadah haji beliau mengganti
namanya dengan Abdul Karim lalu melekat pada namanya gelar Tuanku.
Lengkaplah nama ayah Hamka itu menjadi Tuanku Syeikh Abdul Karim
bin Amrullah. Beliau adalah pelopor gerakan pembaharuan Islam (tajdid) di
Minangkabau. Terlahir pada Ahad, 17 Safar 1296 H/10 Februari 1879 M di Kepala
Kebun, Betung Panjang, Nagari Sungai Batang, Maninjau, Minangkabau, Luhak Agam,
Sumatera Barat, Haji Rasul adalah putera seorang ulama berpengaruh di Nagari
Sungai Batang yang kemudian lebih dikenal sebagai wilayah Nagari Danau (Maninjau)
bernama Syeikh Muahammad Amrullah.
Menarik untuk disimak bahwa Syeikh Muhammad Amrullah yang
bergelar Tuanku Kisa-i adalah pengikut kuat mahdzab Safi’i yang memimpin Thariqat
Naqsyabandiyah di Minangkabau. Kaifiyat (tata cara peribadatan) yang
diberlakukan dalam aliran-aliran thariqat, misalnya ajaran “Rabithah”
yang mewajibkan pengikutnya “menghadirkan” sosok guru dalam ingatannya
sebelum memulai menjalankan suluk, mendapat tentangan keras Haji Rasul
yang meyakininya sebagai bid’ah. Hebatnya, walau berseberangan dalam
pemahaman agama, hubungan ayah anak tetap berlangsung dengan mesra lantaran
Haji Rasul adalah putera kesayangan Tuanku Kisa-i dan demikian hormat serta
cintanya Haji Rasul kepada ayahanda Syaikh Amrullah.
Pertentangan antara “Kaum Tua” dengan “Kaum Muda” seperti itu
sebenarnya telah berlangsung hampir satu abad lamanya, ditandai dengan
dimulainya gerakan pembaharuan Islam di Minangkabau yang dipelopori Haji Miskin
dan tujuh orang ulama Minang lainnya yang termahsyur dengan julukan “Harimau
Nan Salapan”. Gerakan pembaharuan Islam ini dipengaruhi kemenangan gerakan Salafiyah
pada abad ke 18 di Timur Tengah yang didirikan oleh Syeikh Muhammad bin
Abdil Wahab yang bertujuan memurnikan kembali agama Islam dari bid’ah,
yakni amalan-amalan ibadah yang tidak pernah diajarkan Rasulullah S.A.W.
Haji Miskin yang berasal dari Pandai Sikat (Luhak Agam), beserta
dua orang ulama seangkatannya yakni Haji Abdur Rahman dari Piabang (Luhak Lima
Puluh) dan Haji Muhammad Arif dari Sumanik (Luhak Tanah Datar) pada masa awal
gerakan pembaharuan Islam itu sedang berguru di Mekah. Pada 1802, mereka
kembali ke Minang dan mempropagandakan gerakan pembaharuan Islam yang mereka
dapati selama belajar di Mekah. Bersama lima orang ulama yang kemudian
mendukungnya sehingga mereka dijuluki Harimau nan Salapan, Haji Miskin beserta
pengikut-pengikutnya itulah yang kemudian dikenal sebagai “Kaum Paderi” yang
menempati posisi penting dalam sejarah perjuangan di masa penjajahan Belanda.
Di antara delapan ulama pemimpin Paderi, yang paling menonjol karena sikapnya
yang tegas dalam berdakwah adalah Tuanku Nan Renceh. Beliau inilah yang
mula-mula mengobarkan semangat perlawanan kepada Belanda.
Pada 1901, yakni seratus tahun setelah kembalinya Haji Miskin
dari Mekah yang melahirkan gerakan pembaharuan Islam di Minang, Haji Rasul pun
kembali dari Mekah ke kampung halaman membawa semangat serupa hingga mencapai
puncaknya dengan didirkannya perguruan Sumatera Thawalib. Maka sebelum lebih
lanjut menuturkan kehidupan Hamka, patutlah diuraikan secara singkat sosok
Syeikh Muhammad Amrullah dan puteranya Haji Abdul Karim Amrullah. Diuraikan
juga secara singkat tradisi keulamaan di dalam keluarga Amrullah yang menurut
silsilahnya sampai kepada Tuanku Pariaman alias Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo,
Ampat Koto. Tradisi keulamaan keluarga Amrullah dan pergeseran pemahaman Islam
tradisional masyarakat Minangkabau menuju pemahaman Islam moderen (yang
mencapai puncaknya di masa dakwah Haji Rasul) inilah yang kental mewarnai
perjalanan hidup Hamka kemudian.
DARAH PEJUANG PANGLIMA PERANG TUANKU IMAM BONJOL
Tuanku Pariaman adalah seorang panglima perang Tuanku Imam
Bonjol di
masa perang melawan
penjajah Belanda yang dikenal sebagai “Perang Paderi” (1821-1837). Dia seorang ulama
dari Pauh Pariaman bernama Abdullah Arif yang datang ke Minangkabau dan bergiat
dalam dakwah di “Ampat Koto Agam” yakni Koto Tuo, Koto Gadang, Bangka, dan
Guguk. Tuanku Pariaman semula tidak tertarik melibatkan diri dalam konflik
melawan Belanda yang telah dikobarkan Kaum Paderi, di bawah komando Tuanku Nan
Renceh. Beliau menghindari konflik fisik yang akan merugikan rakyat jelata dan
memilih bergiat dalam dakwah. Apalagi, gerakan pembaharuan Islam yang dibawa
Harimau nan Salapan semula tidak mendapat simpati kalangan ulama tua. Tak heran
kalau gelombang perang yang mereka pelopori melawan Belanda pun tidak mendapat
sambutan.
Tetapi keadaan berubah setelah Tuanku Suruaso menyerahkan Alam
Minangkabau ke tangan Belanda pada 10 Februari 1821 dan menimbulkan perlawanan
di mana-mana. Minangkabau berubah menjadi lautan api, gerakangerakan dakwah
terganggu karenanya sehingga para ulama terpanggil terjun ke garis depan
peperangan. Perbedaan paham dalam dakwah lebur dalam semangat anti penjajahan.
Konflik senjata pertama antara Belanda dengan Kaum Paderi
(ulama) terjadi setelah Nagari Sulit Air diserbu tentara Belanda pada April
1821. Setelah itu peperangan berkecamuk di mana-mana dipimpin oleh Tuanku Imam
Bonjol yang dipilih para ulama sebagai pemimpin tertinggi Kaum Paderi. Pusat
pertahanan Kaum Paderi berada di Bonjol, daerah strategis yang sulit dijangkau
dan dibentengi tiga daerah yang sangat kuat yakni Lawang, Matur, dan Andalas.
Mustahil menjangkau Bonjol tanpa lebih dahulu menaklukkan tiga
daerah yang pertahanannya dipercayakan ke pundak Tuanku Pariaman. Karena kalah
dalam persenjataan dan mulai timbul bibit-bibit pembelotan membuat beberapa
kantung perlawanan Paderi berhasil dikuasai Belanda. Matur pun kemudian
ditaklukkan tentara Belanda yang setelah melakukan pengepungan ketat pada
Agustus 1832, sepuluh tahun lebih setelah peperangan berkecamuk. Tuanku
Pariaman menarik pasukan ke Andalas dan bertahan dengan gigih di sana. Belanda nyaris gagal menaklukkan Andalas
karena medan yang sangat sulit. Dengan licik, Belanda mengerahkan pasukan dari
Jawa yang merupakan sisa laskar Sentot Alibasya, yakni salah seorang panglima
perang Pangeran Diponegoro saat berkecamuk perang Diponegoro di Jawa yang
berakhir pada 1820.
Laskar Sentot yang telah dikuasai Belanda menyerang Andalas di
bawah pimpinan Tumenggung Mondrosudiro. Meski pertahanan telah pecah dan
benteng Andalas telah jatuh, empat ribu pasukan Paderi di bawah komando Tuanku
Pariaman bertahan mati-matian dengan tombak dan parang. Sayangnya, kekuatan
sudah tidak berimbang. Tuanku Pariaman dan beberapa pengiringnya ditangkap dan
sisa laskar Paderi menarik diri ke Bonjol.
Setelah Andalas jatuh, Belanda merangsek ke Lawang, lalu
menaklukkan
Cubadak Lilin,
Merambung, dan Sungai Puar. Di Sungai Puar Belanda berhasil menangkap panglima
perang Kaum Paderi lainnya, yakni Tuanku Nan Tinggi. Tertangkapnya Tuanku Nan
Tinggi menyebabkan seluruh Nagari Delapan Koto menyerah dan mengakui kekuasaan
Belanda. Termasuk di antara yang menyerahkan diri adalah Tuanku Mansiangan,
ulama tua paling berpengaruh yang kemudian dipenggal lehernya oleh Belanda
karena dianggap sebagai biang pembakar semangat perlawanan para ulama.
Para panglima Paderi di Bonjol terpecah menjadi dua kubu. Yang
pertama menghendaki tetap melanjutkan perlawanan sampai tetes darah terakhir,
sementara yang lain menyatakan lebih baik menyerah dan melanjutkan perjuangan
dengan cara lain. Tuanku Imam Bonjol sedih menghadapi perpecahan Kaum Paderi.
Beliau pun memilih mengasingkan diri ke Lubuk Sikaping. Karena banyak pimpinan
Paderi yang datang menyerahkan diri, Belanda dengan mudah menaklukkan Bonjol.
Dari sana, Belanda mengirim pasukan menjemput Tuanku Imam di Lubuk Sikaping.
Kolonel Elout yang menjadi pemimpin pasukan Belanda menawari Tuanku Imam Bonjol
untuk menyerahkan tampuk kepemimpinan atas Nagari Bonjol kepada angkatan muda
mengingat usia beliau telah tua (60 tahun). Ini adalah akal licik Belanda untuk
menguasai sepenuhnya negeri jajahan dengan mengangkat pemimpin yang telah
tunduk kepada mereka.
Merasa tak mungkin lagi melanjutkan perlawanan, Tuanku Imam
Bonjol menyetujui usul itu. Maka diangkatlah Tuanku Muda menjadi Regenf (setingkat Bupati) Alahan Panjang (Bonjol).
Di luar sepengetahuan Belanda, peralihan kekuasaan itu hanyalah taktik Tuanku
Imam Bonjol. Begitu Belanda melanjutkan penyerbuan ke Nagari Rao dan wilayah
lainnya, Bonjol pun kembali bangkit. Tuanku Muda yang menjabat sebagai Regen
mati dibunuh Tuanku Nan Garang. Tuanku Imam kembali tampil memimpin perjuangan
Kaum Paderi hingga Bonjol kembali bisa ditaklukkan pada 1837, lima tahun
setelah penaklukkan pertama.
Setelah pertahanan pecah, Tuanku Imam Bonjol diminta menghadap Residen di Bukit Tinggi. Ini
adalah tipuan licik seperti yang digunakan Belanda saat mengundang Pangeran
Diponegoro berunding di Magelang tetapi kemudian melucuti senjata dan menangkap
Diponegoro. Di Bukit Tinggi, Tuanku Imam Bonjol tidak mendapai Residen,
melainkan satu kompi tentara Belanda yang telah bersiaga dan langsung
menangkapnya. Tuanku Imam dibawa ke Padang, lalu dibawa ke Jakarta. Dari
Jakarta beliau diasingkan ke Cianjur, lalu ke Ambon.
Terakhir Tuanku Imam Bonjol diasingkan ke Manado. Di sana ulama
pemimpin Kaum Paderi yang harum namanya itu meninggal. Sedangkan Tuanku
Pariaman yang lebih dahulu tertangkap kemudian dibebaskan setelah terjadi
perjanjian-perjanjian pembebasan tawanan perang. Pemimpin-pemimpin Paderi
banyak yang mendapat jabatan baru dari Belanda sebagai Regen atau Laras, jabatan
adat buatan Belanda setingkat Camat di masa sekarang. Tawaran serupa diberikan
kepada Tuanku Pariaman tetapi dijawab bahwa beliau akan kembali saja ke
kampung-kampung yang pernah dikuasainya untuk kembali berdakwah sebagai ulama.
Bersambung.......