Haji Rasul, Tokoh Tajdid Nusantara
Wednesday, 1 October 2014
HAJI RASUL, TOKOH TAJDID NUSANTARA
SUDUT HUKUM | Di antara murid-murid Tuanku Pariaman, terdapat seorang ulama
terkenal asal Nagari Danau (Maninjau) bernama Abdullah Saleh yang kemudian
menjadi penguasa di Guguk Katur sehingga digelari Tuanku Syaikh Guguk Katur.
Abdullah Saleh dikawinkan dengan puteri Tuanku Pariaman bernama Siti Saerah. Buah perkawinan mereka
adalah Amrullah dan Bayanullah. Amrullah lahir pada 6 Rajab 1256 H (1839 M).
Sejak kecil dia dididik secara ketat dalam ilmu agama oleh ayahnya, Tuanku
Guguk Katur. Kemudian sejak usia 14 tahun, dia dibawa kakeknya Tuanku Pariaman
ke Koto Tuo untuk dididik ilmu agama yang lebih tinggi. Setelah dirasa cukup,
pada 1864 Amrullah kembali ke Danau setelah sebelumnya mendapat gelar ulama
yakni Fakih Kisai.
Sesuai tradisi di Minangkabau, seorang yang telah mampu
menghafal Al Qur’an mendapat gelar Fakih.
Tingkat yang lebih tinggi adalah Syaikh, kemudian Tuanku. Nama Kisa-i diambil
dari nama salah seorang di antara tujuh Qari’ (ahli membaca Qur’an) yang
mahsyur di masa Rasulullah.
Fakih Kisa-i kemudian menjadi ulama terkenal yang mengembangkan Thariqat
Naqsyabandiyah dan segera mendapat gelaran Syaikh, kemudian bergelar ulama
tertinggi yaitu Tuanku Kisa-i. Mengikuti tradisi dakwah matrilineal Minangkabau,
Tuanku Kisa-i kerap melakukan perjalanan jauh untuk berdakwah dan mengajarkan thariqat.
Seiring namanya yang kian harum, Tuanku Kisa-i merasa perlu menambah ilmu
agamanya, sehingga kemudian berangkat ke Mekah. Lima tahun Tuanku Kisa-i
menetap di Mekah dan berguru kepada ulama mahsyur Sayid Zaini Dahlan, Syaikh
Muhammad Hasbullah, dan beberapa ulama lain. Di antara santri seangkatannya
yang lebih muda usia dari beliau adalah Syaikh Ahmad Khatib Minangkabauwi yang
kelak menjadi ulama besar sekaligus guru dari putera Tuanku Kisa-I yaitu Abdul
Karim bin Amrullah.
Sekembali dari mekah, nama Tuanku Kisa-i makin harum dan
berpengaruh sehingga dalam catatan Hamka terdapat kisah-kisah di seputar
kakeknya itu yang terkesan mengeramatkan sosok ulama tersebut. Walau
kisah-kisah itu berasal dari saksi sejarah, namun Hamka tidak memberi penekanan
berlebih karena dia lebih cenderung kepada gerakan tajdid ayahnya, Abdul
Karim Amrullah, yang menentang juga pengkultusan terhadap ulama. Dalam tradisi keagamaan di Minang, seorang
yang dipandang sebagai ulama besar akan menarik suku-suku adat untuk
“menjemput” sang ulama. Artinya, ulama tersebut diminta menikahi salah seorang
anak gadis dari suku yang menjemput. Demikian halnya dengan Tuanku Kisa-i yang
beberapa kali “dijemput” oleh ninik mamak suku lain sehingga beliau mempunyai
beberapa istri. Dari Andung Tarwasa, istri ke tiga beliau asal Batung Panjang,
Tuanku
Kisa-i memiliki tujuh
anak. Dua anak pertama perempuan, lalu lahir anak ke tiga pada 10 Februari 1879
yang diberi nama Muhammad Rasul.
Sejak kecil Muhammad Rasul telah menunjukkan bakat kecerdasan. Orangtuanya pun mendidik secara
ketat dalam kehidupan beragama karena di pundaknyalah tertumpu tongkat estafet keulamaan Tuanku Kisa-i.
Sejak usia
tujuh tahun, Muhammad
Rasul telah diwajibkan mendirikan shalat dan puasa pada bulan Ramadan. Selanjutnya
pada usia 10 tahun, paman beliau yang bernama Haji Abdus Samad membawanya ke
Sibalantai, Tarusan, Painan, untuk belajar al-Quran kepada Tuanku Haji Hud dan
Tuanku Pakih Samnun. Setahun kemudian beliau pulang ke Sungai Batang, lalu
belajar menulis dalam huruf Arab kepada Adam, anak seorang ulama Minang bernama
Tuanku Said. Tuanku Said adalah murid Tuanku Kisa-i yang menonjol.
Pada usia 13 tahun, Muhammad Rasul mulai belajar ilmu Nahwu dan
Sharaf dari ayahnya. Setelah tamat, ayahnya mengantar anak itu ke Sungai
Rotan, Pariaman, untuk menuntut ilmu kepada Tuanku Sutan Muhammad Yusuf. Empat
tahun Muhammad Rasul berguru pada Tuanku Sutan Muhammad Yusuf. Pada 1894, saat
berusia 17 tahun, Tuanku Kisa-i membawa anaknya ke Mekah untuk memperdalam
pengetahuannya pada ulama-ulama Mekah. Menurut catatan Hamka, guru utama
Muhammad Rasul ialah Syeikh Ahmad Khatib Minangkabauwi. Beliau juga berguru
kepada Syeikh Abdullah Jamidin, Syeikh Utsman Sarawak, Syeikh Umar Ba Junaid,
Syeikh Saleh Ba Fadhal, Syeikh Hamid Jeddah, Syeikh Sa’id Yaman, dan seorang penganut paham
pembaharuan Islam yaitu Syeikh Tahir Jalaluddin.
Saat belajar di Mekah, Muhammad Rasul menunaikan ibadah haji.
Sesuai tradisi pada waktu itu, beliau mengganti namanya menjadi Karim Amrullah.
Tetapi sepulang beliau ke Minangkabau (1901), Tuanku Kisa-i lebih senang
memperkenalkan anaknya itu kepada masyarakat dengan kata-kata, “Inilah
anakku Rasul yang telah berhaji,” sehingga orang lebih sering memanggilnya
Haji Rasul.
Mengenai salah seorang guru Haji Rasul yang mempunyai pengaruh
besar, Hamka menulis: “Dan pernah juga belajar kepada Syeikh Yusuf Nabhani,
pengarang kitab Al-Anwarul Muhammadiyah. Syeikh ini jadi terkenal kerana dia
benci kepada Syeikh Muhammad Abduh! (Karangan-karangannya itu besar pengaruhnya
di kalangan ulama-ulama tua di Indonesia, sehingga payah menghapuskannya).”
Dari keterangan Hamka di atas, hanya dua orang ulama yang
berasal dari dunia Melayu yang menjadi guru Haji Rasul di Mekah. Mereka adalah
Syeikh Ahmad Khatib Minangkabauwi (Syeikh Ahmad Khatib yang berasal dari
Minangkabau) dan Syeikh Utsman Sarawak. Namun Wan Mohd Shaghir Abdullah, ulama
Malaysia asal Riau yang dijuluki “Penulis Ulama Nusantara” menyebut juga dari
sumber-sumbernya bahwa Haji Rasul berguru kepada ulamaulama Melayu lain yang
terkenal di Mekah ketika itu. Di antara mereka adalah Syeikh Muhammad Ismail
al-Fathani, Syeikh Wan Ali al-Kalantani, dan Syeikh Ahmad al-Fathani yang
merupakan kakek Wan Mohd. Shaghir Abdullah.4)
Shaghir Abdullah, yang disebut-sebut sebagai “Perpustakaan Hidup
Manuskrip Klasik Melayu” itu, menggarisbawahi catatan Hamka yang menyebut bahwa
Haji Rasul “pernah juga belajar daripada Syeikh Yusuf Nabhani”. Berdasar
penelitian yang dilakukannya, Syeikh Yusuf Nabhani adalah ulama di Beirut yang
tidak pernah mengajar di Mekah. “Kemungkinan,” tulis Shaghir Abdullah, “Haji
Rasul Amrullah pernah mendatangi dan belajar kepada Syeikh Yusuf Nabhani di
Beirut. Tidak terdapat keterangan lanjut baik dari Buya Hamka maupun literatur
lain mengenai hal ini.”5)
Menilik masa-masa pembelajaran Muhammad Rasul di Mekah antara
1312 H/1894 M hingga musim haji 1323 H/Januari-Februari 1906 M dan kepulangan
beliau ke Minangkabau tak lama setelah itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa Haji
Rasul seangkatan dengan beberapa orang ulama Melayu yang agak berdekatan tahun
kelahirannya dan sempat belajar kepada guru-guru yang sama di Mekah. Mereka
ialah Syeikh Muhammad Sa’id dari Linggi, Kadi Haji Abu Bakar Hasan Muar, dari
Johor, Syeikh Abdul Hamid Mahmud Talu, dari Minangkabau, Tengku Mahmud Zuhdi
al-Fathani, dan banyak lagi.
Ulama-ulama tersebut di atas dikenal sebagai tokoh-tokoh
golongan - menggunakan istilah populer masa itu- “Islam Tua” atau dalam istilah
sekarang Islam Tradisional. Maka agak mengherankan ketika timbul pertentangan
yang luar biasa antara Haji Rasul dengan ayahnya, Tuanku Kisa-i, sepulang
beliau ke Minangkabau. Pertentangan itu disebabkan perbedaan tajam dalam jalan
pemikiran dan pemahaman Islam di antara keduanya. Tuan Kisa-i yang berharap
puteranya akan melanjutkan tradisi pemikiran “Islam Tua” ternyata mendapati di
dalam diri Haji Rasul telah tumbuh pemikiran-pemikiran baru yang bertentangan
dengan tradisi Islam di Minangkabau.
Padahal jika ditelusuri lebih jauh, sebenarnya hanya seorang
saja guru Haji Rasul yang termasuk dalam golongan “Islam Muda” atau saat ini
kita menyebutnya Islam moderen, yakni Syeikh Tahir Jalaluddin. Demikian juga
kitab-kitab klasik yang didalami Muhammad Rasul seperti kitab Fath al-Mu’in,
Tafsir Jalalain, dan lain-lain adalah rujukan utama golongan “Islam Tua”. Namun
telah diketahui bahwa Syeikh Tahir Jalaluddin bersama Syeikh Muhammad Nur
al-Fathani dan Syeikh Basiyuni Imran (Maharaja Imam Sambas) adalah murid-murid
utama Muhammad Abduh dan Sayid Rasyid Ridha, pelopor pembaharuan Islam di
Mesir. Ajaran Tahir Jalaluddin rupanya sangat mempengaruhi pemahaman agama
Muhammad Rasul. Haji Rasul sangat mengagumi kitab Tafsir Al-Manar karya
Rasyid Ridha. Kitab itu begitu mewarnai jalan pemikirannya, melebihi pendalaman
ilmu dari kitab-kitab karangan Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, dan Syeikh Muhammad
Abdul Wahhab. Dari sana, Haji Rasul pun mulai mendalami kitab-kitab karangan
Syeikh Muhammad Abduh, tokoh yang kemudian menjadi patron ke-Islamannya.
Di dalam “Ayahku”, Hamka menguraikan dengan jujur pertentangan
pemikiran Islam di antara dua tokoh yang tak lain adalah ayah dan kakeknya.
Kejujuran Hamka ini mencerminkan kebesaran dirinya karena tak segan
menyampaikan kepada khalayak “sesuatu yang tabu” menyangkut darah dagingnya
sendiri. Namun demikian, kehalusan budi dan kebijakasanaan Hamka kuat tercermin
dengan tidak menggambarkan pertentangan Tuan Kisa-i dengan Muhammad Rasul
secara personal. Hamka hanya mengurai masalah perbedaan pemahaman agama yang
memang harus disampaikan sebagai pelajaran untuk umat.
Tulis Hamka, “Kedatangan (Haji Rasul-pen) di kampung
disambut dengan gembira oleh ayahnya dan orang kampung, baik kalangan
lebai-lebai atau kalangan ninik-mamak. Tetapi kegembiraan itu akhirnya akan
kecewa juga ... Syeikh Ahmad Khatib (Minangkabauwi-pen) juga seorang
sufi, tetapi beliau tidak menyetujui cara tarekat yang memakai kaifiat-kaifiat
yang bidaah-bidaah itu. Padahal Syeikh Amrullah (Tuan Kisa-i) sendiri
adalah Syeikh Thariqat Naqsyabandi.”6)
Meski dengan tegas Syeikh Ahmad Khatib Minangkabauwi melarang
praktik-praktik agama yang dicemari “kaifiat-kaifiat yang bid’ah-bid’ah” (dan
hal itu pula yang kemudian diajarkan oleh Haji Rasul sepulang ke Minangkabau),
tetapi banyak di antara murid-murid Syaikh Ahmad Khatib yang tetap konsisten
mengamalkan thariqat. Di antara mereka yang terkenal ialah Syeikh Khathib Ali
bin Abdul Muthalib al-Khalidi an-Naqsyabandi yang menyusun kitab “Miftah
al-Din”. Juga ulama “Kaum Tua” lain bernama Syeikh Sulaiman ar-Rasuli. Kuatnya thariqat
waktu itu menyebabkan ajaran Haji Rasul banyak mendapat tentangan dari
ulama-ulama Minangkabau. Yang paling keras menentang adalah Syeikh Muhammad
Sa’ad Mungka.
Haji Rasul pernah meminta fatwa kepada guru besarnya, Syeikh
Ahmad Khatib Minangkabauwi mengenai kaifiat-kaifiat dalam thariqat Naqsyabandiyah.
Pertanyaan Haji Rasul dijawab Syeikh Ahmad Khatib dengan menulis sebuah kitab
yang mengupas kesalahan-kesalahan thariqat Naqsyabandiyah. Oleh Muhammad Sa’ad Mungka, kitab itu
dibantah dengan menulis kitab tandingan yang membela thariqat. Syeikh Ahmad Khatib Minangkabauwi
sangat marah membaca kitab karangan Muhammad Sa’ad Mungka sehingga menulis lagi
sebuah kitab yang “menguliti” dalil-dalil pembelaan thariqat Naqsyabandiyah
yang dikemukakan Muhammad Sa’ad Mungka.
Haji Rasul gembira mendapatkan penegasan dari gurunya bahwa
penentangannya terhadap praktik-praktik bid’ah “Kaum Tua” adalah benar.
Kitab-kitab tulisan Syeikh Ahmad Khatib memberinya inspirasi untuk menulis
kitab serupa guna mendukung usaha dakwahnya. Sejak saat itu, Haji Rasul rajin
menulis. Setidaknya ada 26 judul kitab yang disusunnya. Oleh Hamka, karya-karya
ayahnya dibagi dalam dua kategori periodisasi. Periode pertama, adalah
kitab-kitab yang ditulis dalam rentang waktu 1908 hingga 1923 berjumlah 15
judul. Periode ke dua, yakni 11 judul kitab yang ditulis antara 1928 hingga
1943, yaitu setelah Haji Rasul mengikuti Kongres Islam di Mesir. Menurut Hamka,
“Karangan-karangannya itulah yang menjadi ‘soal besar’ dan ‘membuat ribut’
dalam zamannya.”
Melalui kitab-kitabnya, Haji Rasul menyebaran ajaran-ajaran yang
dianggap “ganjil” dan “moderen”. Ajaran-ajaran itu telah menggoncangkan
masyarakat Minang pada 1920-an. Sebagai gerakan pembaharuan pada masa-masa yang
sangat awal, penentangan datang dari banyak pihak yang tidak suka. Bahkan di
Malaysia buku-buku karangan Haji Rasul dilarang beredar. Hamka menulis, “Sehingga
bukubuku itu dilarang dibaca dalam kerajaan Melayu: Johor, Pahang, Perak,
Kelantan, Terengganu, Perlis, Selangor, dan Negeri Sembilan. Sebab menyebarkan
bibit Kaum Muda!”.
Peran Haji Rasul dalam gerakan pembaharuan Islam mencapai
puncaknya ketika beliau menjadi salah seorang anggota redaksi Majalah Islam “Al
Munir”. Majalah ini didirikan oleh rekan seperjuangan Haji Rasul yaitu Haji
Abdullah Ahmad di Padang. Edisi perdananya terbit pada 1 April 1911. Haji
Rasul mengasuh rubrik tanya jawab seputar agama Islam. Pemikiran-pemikiran
beliau yang tertuang dalam rubrik itu begitu mengguncang paham Islam
tradisional sehingga “Al Munir” mendapat sambutan luas dari pembaca. Di rubrik
tanya jawab itu, Haji Rasul menggunakan nama pena H.A.K.A., akronim dari
namanya setelah berhaji yaitu Haji Abdul Karim (bin) Amrullah.
Kedalaman wawasan agama H.A.K.A. memang telah diakui masyarakat
luas, baik di kawasan Nusantara (Melanesia) bahkan sampai ke Timur Tengah.
Pengukuhan atas intelektualitas Haji Rasul adalah dengan diterimanya
penghargaan gelar Doktor Honoris Causa di bidang agama pada Konferensi Khilafah
di Kairo, tahun 1926.7)
Selain itu beliau juga dikenal sangat berani melawan
pemerintahan kolonial Belanda, juga kepada penjajah Jepang. Pada saat
pendudukan Jepang, dia terangterangan menolak kewajiban seikerei (hormat
bendera yang dilambangkan dengan dewa matahari), dengan ritual sejenis ruku’
dalam Islam sebagai bentuk penghormatan kepada Kaisar Jepang.
Luasnya wawasan dan keteguhan sikap seperti itulah yang kemudian
diaktualisasikan ke dalam dakwah melaui “Al Munir”. Sebagai corong gerakan
pembaharuan Islam, pengaruh “Al Munir” yang demikian hebat tidak hanya terasa
di Minangkabau, tetapi seluruh Sumatera, bahkan hingga Sulawesi, Kalimantan,
Jawa, dan Malaysia. Di Yogyakarta, dengan meminta izin kepada Haji Abdul Karim,
“Al Munir” diterjemahkan ke dalam bahasa Jawa oleh KH. Ahmad Dahlan. KH. Ahmad Dahlan,
tokoh gerakan pembaharuan Islam di Jawa, menggunakan “Al Munir” sebagai materi
pelajaran bagi murid-muridnya dalam organisasi Muhammadiyah yang didirikannya
pada 1912.
Sebaliknya, pertemuan Haji Abdul Karim Amrullah dengan KH. Ahmad
Dahlan dalam kunjungannya ke Yogyakarta pada 1917, telah mengilhami berdirinya
perguruan “Sumatera Thawalib”. Perguruan ini didirikan oleh muridmurid H.A.K.A.
pada 1918 dan diikuti berdirinya perkumpulan-perkumpulan murid (thawalib) di
berbagai daerah di Sumatera dengan nama masing-masing. Di “Sumatera Thawalib”
yang mengadopsi model sekolah modern ala Muhammadiyah, H.A.K.A. mengajar
sebagai guru kelas VII.
Majalah Islam pertama di Tanah Air itu diilhami Majalah Islamyang diterbitkan Muhammad Abduh dan Sayid Jamalludin Al-Afghani selama dalam
masa pembuangan di Paris. Majalah berjudul “Al Urwatul Wutsqa” itu terbit
perdana pada 13 Maret 1884, namun tidak berumur panjang. Kurang dari setahun
dan hanya sempat terbit 18 edisi, “Al Urwatul Wutsqa” tidak lagi terbit. Sayid
Jamalludin Al-Afghani wafat pada Maret 1896. Sebelumnya, Muhammad Abduh telah
mendapat pengampunan dan kembali ke Mesir.
Rasyid Ridha, murid utama Muhammad Abduh menyusul gurunya ke
Mesir kemudian menerbitkan kembali sebuah Majalah Islam berjudul “Al Manar”
pada 1898 sebagai kelanjutan “Al Urwatul Wutsqa”. Majalah ini tutup pada 1937
setelah Rasyid Ridha wafat pada tahun yang sama.
Pengaruh kedua majalah itu mendunia. Seorang ulama Singapura
bernama Muhammad bin Salim Alkalali bersama sahabatnya Muhammad Taher bin
Muhammad Jalaluddin Al Azhari asal Minangkabau pun menerbitkan Majalah Islam
“Al Imam” pada 1906. Salah seorang wakil (kontributor) adalah Haji Abdul Karim bin Tuanku Kisa-i.
Majalah ini tutup pada 1909, disusul kemudian terbitnya “Al Munir” di Padang. Produktifitas Haji Abdul Karim Amrullah dalam menulis kitab dan kepiawaiannya berdakwah melalui
dunia jurnalistik ini kelak menurun kepada Hamka, suatu kelebihan yang jarang dimiliki ulama-ulama seratus
tahun setelah Hamka dilahirkan.