[Fiqh] Pembuktian Jarimah Zina Dalam Hukum Pidana Islam
Friday, 19 December 2014
FIQH | Zina merupakan kejahatan yang dihukum
dengan cukup berat, sehingga syari’at Islam memberikan persyaratan yang berat
pula dalam pembuktiannya. Tujuan pensyaratan ini adalah untuk menutup jalan
bagi siapa saja yang sengaja menuduh orang baik-baik dengan semena-mena dan
zalim.
Rangkaian pembuktian zina menurut
sistematika pembuktian dalam hukum acara pidana Islam yaitu:
a. Pengakuan (Iqrar)
Semua ulama hukum mengatakan iqrar merupakan
dalil atau dasar utama bagi penetapan hukuman. Hal ini sesuai dengan sikap
Rasulullah Saw. yang juga mendasarkan suatu hukuman dari pengakuan seorang
tertuduh dari suku Ghamidiyah dalam kasus perzinaan mereka.
Kekuatan hukum pengakuan sebagai dasar
pengambilan keputusan hukum memang tidak diperselisihkan lagi, kecuali tentang jumlah
pengakuan yang diucapkan tertuduh. Dalam masalah ini, Imam Malik, Imam Syafi’i,
Daud Zhahiri, al-Thabari dan Abu Tsaur menganggap pengakuan itu cukup diucapkan
satu kali saja dan atas dasar ini suatu hukuman sudah bisa ditetapkan. Alasan
ini didasarkan pada sabda Rasulullah Saw. yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
dan Zaid bin Khalid :
Artinya : “Hai Unais ! pergilah dan tanyailah isteri orang ini, apabila isteri orang ini mengaku (telah berzina), maka kenakanlah hukuman rajam. Kemudian ia mengaku, maka Unaispun merajamnya.”
Adapun menurut ulama mazhab Hanafi, pengakuan itu tidak bisa kurang dari empat kali yang dinyatakan dalam majelis yang berbeda. Mereka berpegangan dengan Hadith Sa’id bin Jubair ra. dari
Ibnu ‘Abbas ra. dari Nabi Saw.:
Artinya : “Sesungguhnya Nabi Muhammad Saw. Menolak (pengakuan) Ma’iz sehingga ia mengaku empat kali, kemudian beliau menyuruh merajamnya.”
Menurut mereka keterangan yang disebutkan
dalam beberapa riwayat bahwa pengakuan satu kali, dua kali dan tiga kali adalah
suatu kekurangan. Dan barangsiapa dalam kekurangan, maka ia tidak bisa mengalahkan orang mengingat dengan
sempurna.
b. Kesaksian
Ulama telah sependapat bahwa perbuatan
zina dapat ditetapkan berdasarkan saksi-saksi dan bahwa bilangan yang
diisyaratkan adalah empat orang, berbeda halnya dengan perkaraperkara yang
lain. Dasarnya adalah firman Allah Swt. dalam surat al- Nur : 4 :
Artinya : “Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik (berbuat zina), kemudian mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali pukulan….”
Menurut para ahli fiqh, kesaksian yang
dapat diterima sebagai pembuktian tindak pidana perzinaan harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut;
PERTAMA, para saksi tersebut telah baliq dan
berakal.
KEDUA, terdiri dari empat orang laki-laki, sehingga
kesaksian wanita tidak diterima, meskipun lebih dari empat orang atau
bersama-sama lakilaki.
KETIGA, para saksi adalah muslim dan adil.
KEEMPAT, saksi melihat sendiri perbuatan zina tersebut
yaitu ketika alat kelamin lakilaki berada pada alat kelamin perempuan dan bahwa
kesaksian itu harus dinyatakan dengan kata-kata yang jelas, bukan dengan kata-kata
KINAYAH (sindiran).
KELIMA, saksi tidak mempunyai halangan syara’ untuk
menjadi saksi, seperti tidak ada hubungan kekeluargaan dan tidak ada permusuhan
antara salah seorang saksi atau seluruhnya dengan orang-orang yang dituduh
berzina.
KEENAM, menurut ulama mazhab Hanafi, kesaksian itu
tidak kadaluarsa, kecuali ada uzur.
Maksudnya, ada tenggang waktu yang cukup
lama, tanpa ada uzur antara perbuatan zina yang disaksikan itu dengan kesaksian
yang dikemukakan di depan sidang pengadilan. Akan tetapi, apabila ada
kadaluarsa tersebut disebabkan adanya uzur, seperti di negeri itu belum ada
lembaga peradilan, maka syarat ini tidak berlaku. Ulama mazhab Maliki, Syafi’i
dan Hanbali tidak menyetujui syarat ini.
KETUJUH, fuqaha mensyaratkan para saksi harus
memberikan kesaksiannya dalam satu tempat secara simultan. Jika mereka
memberikan kesaksian secara terpisah, baik dalam arti waktu maupun tempat, maka
hal itu tidak bisa diterima. Akan tetapi pengikutpengikut mazhab Imam Syafi’i ,
Daud Zahiri dan Zaid tidak mensyaratkan hal ini.
Silang pendapat disebabkan, apakah
kesaksian yang berbedabeda mengenai tempat itu dapat digabungkan ataukah tidak
dapat digabungkan, seperti kesaksian yang berbeda-beda mengenai zaman.
Demikian itu karena fuqaha telah sependapat
bahwa kesaksian yang berbeda-beda tempatnya itu tidak dapat digabungkan, sedang
tempat itu lebih mirip dengan zaman. Di sini terlihat bahwa syara’ bermaksud
lebih banyak berhati-hati dalam menetapkan hukuman tersebut ketimbang
hukuman-hukuman lainnya.
KEDELAPAN, orang-orang yang bertindak sebagai
saksi-saksi itu harus laki-laki. Menurut Ibnu Hazm kesaksian wanita uga dapat diterima, dengan catatan dua orang wanita
disamakan dengan seorang laki-laki.