[sejarah] Aceh Sebelum Aceh
Friday, 5 December 2014
Aceh | Sebelum awal abad XVI sejarah pelabuhan-pelabuhan dagang di
Sumatera Utara berdasarkan dokumen-dokumen yang terpenggal- penggal.
Dari pada mencoba menyusunnya kembali dengan terlalu berani, lebih baik semua
penggalan itu dibuat daftar dan diterbitkan dalam urutan yang sebanyak mungkin
mengindahkan kronologinya.
Sangat beranekaragamnya sumber-sumber yang masih mengandung ingatan
akan pelabuhan-pelabuhan dagang itu – sumber Cina, Arab, India, bahkan Eropa —
adalah bukti yang cukup kuat bahwa tempat itu memang dari dahulu kala sudah
merupakan persimpangan internasional. Pada abad VI Sejarah rajaraja Leang sudah
banyak juga membicarakan kerajaan Po-li yang menurut sementara orang sama
dengan Sumatera Utara.
Sedini abad IX beberapa teks Arab menyebut suatu daerah yang bernama
"Rami" atau "Ramni" atau kadang-kadang "Lamri", yang
letaknya kira-kira di sana-sana juga .
Pada tahun 1030/31 inskripsi Tanjore yang besar itu menyebut tanah
"Ilämuridesam" yang letaknya dekat Mähakkaväram (pulau Nikobar besar)
dan yang diperintah oleh Räjendracoladeva
.
Pada abad XIII teks-teks Cina menceritakan negeri Lanwu- li atau Lan-li,
nama-nama tempat yang mengingatkan akan Lamuri pula. Pada akhir abad XIII,
Marco Polo singgah di pelabuhan- pelabuhan Sumatra Utara dan memberitakan
terdapatnya agama Islam dalam salah satu dari enam pelabuhan dagang yang
nama-namanya disebut olehnya, yaitu: Ferlec, Basman, Sumatra, Dagroian, Lambri,
Fansur. Nama Lamuri disebut pula oleh Ibn SaTd
(akhir abad XIH). oleh Rasyid ad-Din (1310) dan oleh
Abulfida (1273-1331) .
Pada tahun 1323 Padre Odoric de Pordenone dengan marah menunjuk
pada adat kebiasaan "biadab" (poligami dan kanibalisme) di negeri Lamuri; pada
tahun 1349 Ibn Batata" dari Magrib tinggal beberapa lama di
Samudra. Pada tahun 1365 Nagarakertagama menyebut Tamiang, Perlak,
Samudra, Barus, Lamuri dan Barat di antara kotakota yang "setia" pada
Majapahit .
Kisah-kisah Cina dari zaman perjalanan-perjalanan sida-sida Cheng
Ho di laut-laut selatan (Ying-yai Sheng-lan, Hsing-ch'a Sheng-lan, Hsi-yang
Fankuo che) semuanya ada catatan yang cukup padat mengenai A-lu (Aru),
Su-men-ta-la atau Hsiu-wen-ta-la (Samudra), Lanwu- li atau Lan-po-li (Lamuri) .
Pada tahun 1435 Nicolo de Conti menyebut nama "Samutera".
Daftar nama yang sudah panjang ini belum lengkap, tetapi catatan-catatannya
yang sering sekali amat singkat, sangat berjauhan waktunya satu sama lain; maka
sukarlah menentukan perkembangan yang bersinambungan. Paling-paling dapat
ditegaskan bahwa pernah ada beberapa pelabuhan dagang di pinggiran sebuah
negeri yang pasti masih cukup primitif dan bahwa pelabuhan-pelabuhan dagang itu
dihidupkan dari luar oleh pedagang- pedagang yang datang merapat; kapal-kapal
datang dari India atau Cina, beristirahat di sana dan memuatkan hasil hutan yang
tinggi nilainya [kapur (barus), kayu sapang, kayu alo, kasturi] yang dapat
dikumpulkan dari hutan-hutan pedalaman.
Melihat timbulnya lalu hilangnya nama-nama tempat tertentu, kita
dapat membayangkan bahwa perniagaan itu tidak berlangsung tanpa persaingan,
boleh jadi tidak tanpa perjuangan, tetapi sejarahnya yang lebih mendalam belum
ada yang tertangkap oleh kita.
Meskipun begitu, selama abad XIV agaknya terjadi beberapa perubahan
penting dalam kehidupan pelabuhan-pelabuhan dagang itu tadi. Boleh jadi waktu
itulah ada pedagang-pedagang dari India yang memperkenalkan penanaman lada
(mungkin sekali dari Malabar yang sudah lebih dulu diketahui adanya tanaman itu)
bersamaan dengan agama Islam.
Sumber-sumber pertama yang kami ketahui (termasuk juga kisah Ibn
Batütä) tidak bicara tentang lada, sedangkan teks-teks Cina dari awal abad XV
memberi pemerian yang jelas mengenai penanamannya ; menurut kesaksian- kesaksian Portugis yang
pertama, Pidir dan Pasai pada awal abad XVI mengekspor lada dalam jumlah besar
ke Cina dan ke tempat-tempat lain. Ada kemungkinan lain, yaitu dimasukkannya pertanian
ulat sutera - lewat jalan yang masih harus ditentukan (barangkali asalnya dari
Tiongkok). Sumber-sumber lama tidak menceritakannya, sedangkan teks-teks Cina abad XV
menyebutnya dan Tome Pires memasukkan
sutera dalam penghasilan Sumatra yang besar .
Terlalu sedikit yang kita ketahui tentang
"pembaruan-pembaruan" itu, tetapi dengan mudah dapat
kita fahami perubahan-perubahan dasar yang dapat diakibatkan
kalau orang beralih dari kegiatan meramu ke membudidayakan, dari
hutan ke perkebunan.
Ketika orang Portugis mulai mendatangi laut-laut Indone-sia, ada
terutama dua pelabuhan dagang yang memperebutkan tempat pertama:
Pasai dan Pidir. Orang Eropa pertama yang singgah di sana pada tahun 1509 ialah
Siqueira; hubungan yang dijalinnya pada mulanya sangat ramah. Menurut Tome
Pires, "Paeee yang oleh sementara orang dinamakan Camotora" mempunyai
20.000 orang penduduk pada waktu itu, "kebanyakan orang Bengali";
mereka sudah 60 sampai 100 tahun dilslamkan oleh orang Moro yang memanfaatkan
hal itu untuk mengangkat salah seorang bangsa mereka ke atas takhta . "Sejak Malaka dihajar",
artinya sejak direbut oleh bangsa Portugis (1511), kerajaan' Pasai menjadi kaya
dan makmur; banyak pedagangnya: orang Moro dan orang Keling (orang India dari
Kalinga), orang Rum (orang dari Roma, artinya Istambul), orang Turki, Arab, Parsi,
Gujarat, Melayu, Jawa, Siam .
Di samping Pasai, kota Pidir yang lebih tua melanjutkan kegiatan
dagangnya meskipun dihalangi persaingan dan peperangan. Akan tetapi Tome Pires
berkata bahwa pamornya yang dulu sudah luntur sekali: "Pidir dahulu kala
menguasai tempat masuk ke selat-selat, memegang seluruh perniagaan dan lebih ramai
didatangi daripada Paçee"; tapi para pedagang ("mercadores de todas
naçoes") masih juga berdatangan; menurut perhitungan, pelabuhannya
disinggahi setiap tahun oleh dua kapal dari Kambay dan dari Bengal, satu kapal
dari "Benua Quelin, satu lagi dari Pegu. Barang ekspor yang terpenting
ialah lada; "empat tahun belakangan ini, hanya 1 sampai 3.000 bahar
setahun yang terdapat di Pidir, tidak lebih", sedangkan dahulunya ada
10.000 bahar dan menurut sementara orang bahkan 15.000. Sutera putih dan menyan
juga diekspor; emas didatangkan dari pedalaman.
Berkat pemerian terperinci yang cukup banyak mengenai pelabuhan-pelabuhan
dagang di Sumatra Utara pada kira-kira 1510-1520 itu,
kita dapat memahami dalam konteks yang bagaimanalah kekuasaan
Aceh yang masih muda sekali itu bakal memantapkan
diri. (*DENYS LOMBARD, dalam buku KERAJAAN ACEH:JAMAN SULTAN
ISKANDAR MUDA(1607 — 1636))