Sekilas Tentang Nasakh Dan Mansukh
Wednesday, 10 December 2014
Al-Quran sebagai firman Tuhan yang juga
merupakan sumber hukum
Islam memperkenalkan dirinya dengan berbagai ciri dan sifatnya. Salah satu ciri dan sifatnya adalah susunan
atau uslub yang dimiliki Al- Quran itu sendiri. Keistiewaan Al-Quran
tentunya juga tidak bisa dilepaskan dengan proses turunnya Al-Quran kepada
Muhammad dengan cara berangsur-angsur. Namun demikian, kandungan Al-Quran oleh
umat Islam tetap dipahami tidak mempunyai kontradiksi antara satu dengan yang
lainnya. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari salah satu ayat Al-Quran itu yang
berbunyi sebagai berikut :
Ayat di atas merupakan prinsip yang
diyakini kebenarannya oleh setiap
muslim. Namun demikian, terjadi perbedaan yang cukup mendasar dikalangan para
ulama’ dalam menghadapi ayat yang sepintas lalu menunjukkan adanya gejala
kontradiktif. Banyak teori atau metode muncul guna memahami kandungan ayat yang
sepintas menunjukkan gejala-gejala kontradiksi antara yang satu dengan yang
lainnya. Dalam skripsi ini, penulis mencoba untuk menguak
salah-satu metode yang dimunculkan guna memahami ayat-ayat tersebut, dan metode
itu adalah metode atau konsep nasakh-mansukh.
Pembicaran tentang nasakhmansukh sebenarnya tidak bisa dilepaskan dengan
firman Allah itu sendiri,
yaitu;
Artinya : “Apa-apa ayat (mu’jizat) yang
kami ubah atau kami lupakan (kepadamu),
kami datangkan (gantinya) dengan yang lebih baik
daripadanya atau yang seumpamanya. Tidakkah engkau tahu, bahwa Allah Maha Kuasa
atas tiap-tiap sesuatu. (QS. 2:106)”
Dan di dalam Al-Quran, kata nasakh dalam berbagai bentuknya, ditemukan sebanyak empat kali, yaitu dalam
QS 2:106, 7:154, 22:52, dan 45:29.
Dari segi etimologi, kata tersebut dipakai dalam beberapa arti, antara lain
pembatasan, penghapusan, pemindahan dari satu wadah ke wadah lain, pengubahan
dan sebagainya. Sesuatu yang membatalkan, menghapus, memindahkan dan
sebagainya, dinamai nasikh. Sedangkan yang dibatalkan, dihapus,
dipindahkan, dan sebagainya, dinamai mansukh.[3]
Selanjutnya pengertian dari nasakh dan mansukh secara
lebih mendetail akan dibahas pada item
selanjutnya.
a. Pengertian Nasakh-Mansukh
Nasakh ditinjau dari segi etimologi merupakan masdar dari fi’il madhi
نسخ – ينسخ – نسخا
yang mempunyai arti menghilangkan atau menghapuskan. Adapun
kata mansukh
المنسوخ
itu sendiri merupakan isim maf’ul dari masdar di
atas yang mempunyai arti sesuatu yang dihilangkan
atau dihapuskan. Jadi النسخ mempunyai arti sama dengan الابطال yang
artinya penghapusan atau pembatalan.[4]
Muhammad Musthofa Syalabi dalam Bukunya Ushul Al- Fiqh Al- Islami, nasakh dari
segi etimologi mempunyai arti menghilangkan الآزالة
dan memindahkan { النقل } sesuatu dari tempat yang satu ke tempat yang lain. [5] Sebagian
pakar bahasa,
mengenai definisi nasakh ini, mereka memberikan kajian yang cukup
mendalam. Dalam bukunya, Abdul Latif Abdullah Aziz Al- Barzanji menuliskan sebagaimana
juga yang tercantum dalam buku Lisan Al- Arab karangan
Ibnu Mandzur mengartikan nasakh
menjadi tiga macam.
Pertama, nasakh diartikan
pembatalan sesuatu ابطال الشيء , kedua, penghapusan sesuatu {
إزالة الشيء علىجهةالانعدام }, dan yang
ketiga adalah nasakh
diartikan dengan pemindahan [6].النقل Hampir sama dengan definisi di atas, Prof Dr. Amir Syamsudin dalam bukunya – Ushul Fiqh Jilid I -, secara etimologis, menurut beliau, kata “nasakh”, {
النسخ }dalam bahasa arab digunakan dengan arti الازالة ,
artinya menghilangkan atau meniadakan. Contohnya:
نسخت الشمس الظل (matahari menghilangkan kegelapan) atau نسخت الرياح اثرالمشى (angin
menghilangkan jejak kaki). Terkadang kata itu digunakan
dengan arti النقل yaitu memindahkan atau mengalihkan sesuatu,
menghubungkan dari suatu keadaan kepada bentuk lain di samping masih tetapnya
bentuk semula.[7]
Adapun ditinjau dari segi terminologi
menurut ulama’ ushul fiqh,
nasakh mempunyai dua arti, pertama nasakh didefinisikan dengan
pembatalan hukum yang diambil dari nash yang
datangnya lebih dahulu dengan nash yang datangnya kemudian. Kedua, nasakh diartikan dengan menghilangkan keumuman
ayat yang terdahulu atau membatasi nash yang
datangnya lebih dahulu. Contoh dari definisi yang kedua adalah nash yang menerangkan tentang iddah bagi seorang perempuan. [8] Untuk selanjutnya pendefinisian yang kedua
ini lebih dikenal dengan teori khas.
Berbeda dengan Khudhori Bik, DR. Quraish
Shihab, sebagaimana Al Syatibi dalam bukunya Al- Muwafaqat memandang
banyak terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang pendefinisian nasakh. Ulama mutaqaddimin (abad
I hingga abad III H) memperluas arti nasakh mencakup empat hal, yaitu;
(a) pembatalan hukum
yang ditetapkan terdahulu oleh hukum yang ditetapkan kemudian;
(b) pengecualian
hukum yang bersifat umum oleh hukum yang bersifat khusus yang datang kemudian;
(c) penjelasan yang datang kemudian terhadap hukum yang bersifat samar;
Prof. Muhammad Abu Zahrah, dalam bukunya nasakh adalah mengganti
atau merubah hukum syara’ dengan dalil yang turun kemudian.
Dari definisi tersebut, jelaslah perbedaan antara nasakh dengan takhsis,
karena dalam nasakh terdapat dua nash yang turunnya tidak bersamaan. Nash yang turun terlebih dahulu disebut mansukh (yang diganti), sedang nash yang turun kemudian disebut nasikh (yang diganti).[10]
Imam Syafi’i dalam kitabnya Risalah al- Ushul, sebagai orang yang pertama kali membahas nasakh secara mendalam, sebagaimana dikutip oleh Abu Zahrah memberikan
penjelasan nasakh
bukan dari segi
pembatalan nash-nash
syara’ melainkan dari segi penjelasan hukum. Menurut Syafi’I, nasakh bukan berarti membatalkan suatu nash, akan tetapi masa berlakunya hukum yang
terkandung dalam nasakh tersebut sudah habis. Pendapat ini diikuti
oleh Imam Ibn Hazm yang mendefinisikan nasakh sebagai
berikut : nasakh
ialah; menjelaskan bahwa masa berlakunya
hukum yang terkandung dalam nash yang pertama telah habis (An- Nasikh Wal Mansukh oleh Ibn Hazm)[11]
Imam Ibn Hazm, sebagaimana dikutip oleh Abu
Zahra, beliau memandang nasakh lebih
jauh lagi, nasakh
tidak hanya penjelasan masa berlaku suatu hukum yang terkandung
dalam nash
sudah habis, melainkan
nasakh adalah sebagai salah satu bentuk takhsis. Hanya saja yang dia maksudkan bukanlah
mentakhsis keumuman suatu lafaz serta maknanya, tetapi
mentakhsis hukum dari segi keumuman masa berlakunya
hukum tersebut. Dalam hal ini belau berkata, bahwa nasakh merupakan salah satu bentuk pengecualian (istitsna’) karena nasakh adalah
mentakhsis masa berlakunya suatu hukum, serta mengecualikan
masa berlakunya hukum tersebut pada waktu tertentu. Dengan demikian, dapat
dikatakan, bahwa setiap nasakh
adalah istitsna’,
tetapi tidak semua istitsna’
disebut nasakh.[12]
Di sisi lain Syalabi memandang adanya
perbedaan yang mendasar antara nasakh dengan khas.
Adapun perbedaan tersebut adalah
sebagai berikut :
a. Nasakh
bisa bertempat pada lafaz yang bersifat ‘am dan khas, sedangkan khas hanya terdapat pada lafaz atu ayat ‘am
b.
Penghapusan yang ditimbulkan oleh nasakh bersifat keseluruhan
(kadang menghapus keseluruhan ayat atau sebagiannya
saja) sedangkan khas
hanya menghapus sebagian ayat
c. Penghapusan yang ditimbulkan karena nasakh, dalalahnya
bersifat qath’i
dalalah sedangkan
penghapusan yang ditimbulkan karena takhsis,
dalalahnya bersifat zhanni
dalalah
d.
Nasakh hanya
bisa dilakukan dengan nash
dari Syari’ (Al-
Quran atau Sunnah)
e.
Nasakh merupakan
penghapusan setelah masa kenabian.
a.
Nasakh mengeluarkan
hukum setelah hukum itu diberlakukan, sedangkan dari takhsis dari ‘am adalah
hukum yang pernah berlaku sama sekali.
b.
Takhsis menjelaskan
bahwa apa yang keluar dari keumuman suatu lafaz, tidak dimaksudkan untuk
memberi petunjuk dengan lafaz itu, sementara nasakh menjelaskan
bahwa apa yang keluar dari keumuman suatu lafaz tidak bermaksud menciptakan
beban hukum, meskipun dari lafaznya memang menunjukkan demikian
c.
Nasakh tidak
dapat terjadi kecuali dengan khitab dari pembuat hukum, baik dalam bentuk nash Al-Quran maupun Hadis Nabi. Sedang takhsis dapat terjadi dengan qiyas dan dalil-dalil ‘aqli lainnya.
d.
Khitab syari’ yang bertindak sebagai nasikh harus datang secara terpisah dan
terkemudian dari dalil terdahulu yang menetapkan hukum mansukh. Sedangkan dalil khusus yang kemudian mentakhsis dalil umum dapat datangnya terdahulu,
bersamaan, atau terkemudian dari dalil umum tersebut.
e.
Takhsis tidak
mengeluarkan dalil umum dari kebolehan berhujjah dengannya dalam masa kemudian,
karena dalil umum dapat diamalkan dan berdaya hukum di luar apa yang telah
ditepakan secara khusus. Adapun pada nasakh, terkadang
mengeluarkan hukum dari dalil yang dinasakhkan
itu dalam hal penggunaannya untuk masa kemudian secara keseluruhan; yaitu pada
saat datangnya nasakh.
f.
Nasakh terhadap
hukum dengan lafaz umum dapat mengeluarkan semua afrad yang terdapat di dalam lafaz umum itu
sampai tidak tersisa sedikitpun. Sedangkan pada takhsis meskipun sudah dikeluarkan semua afrad dari keumumannya, namun harus ada batas
minimal yang harus ditakhsis.
g.
Nasakh dapat
berlaku antara syari’at dengan syari’at lainnya sebagaimana nasakh yang terjadai antara syari’at Islam yang menasakhkan syari’at-syari’at yang datang
sebelumnya. Adapun takhsis
hanya berlaku antata dalil dengan dalil lainnya
dalam syari’at yang sama (syari’at Islam). Kelompok Mu’tazilah menambahkan bahwa
takhsis lebih umum dari nasakh sehingga dikatakan bahwa setiap nasakh adalah takhsis,
tetapi tidak semua takhsis
adalah nasakh.[14]
Pada sisi yang lain, Abdul Wahab Khallaf
dalam bukunya, beliau sependapat dengan pendapat Al- Syatibi yang pertama.
Dalam bukunya, Abdul Wahab Khallaf mendefinisikan nasakh dengan pembatalan pemberlakuan hukum syar’i
dengan dalil yang datang belakangan dari hukum yang sebelumnya, yang
menunjukkan pembatalannya baik secara terang-terangan atau secara kandungannya saja,
baik pembatalan secara umum atau pembatalan sebagian saja karena suatu
kemaslahatan yang menghendakinya, atau nasakh ialah
: menyatakan dalil susulan yang mengandung penghapusan pemberlakuan dalil
yang terdahulu.[15]
Melihat begitu peliknya persoalan ini dan
anggapan umat Islam bahwa Al-Quran, di dalamnya tidak
mengandung kontradiksi atau
pertentangan antara ayat yang satu dengan yang lainnya, para ulama ushul yang
mengakui keberadaan nasakhwa al- mansukh memberikan
persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi ketika ingin menggunakan konsep ini dalam mengambil atau
menetukan sebuah hukum.
Dengan kata lain tidak semua sumber hukum (Al-Quran atau Sunnah) bisa dimasuki
konsep ini.
DR. Quraish Shihab, dalam bukunya
menyatakan bahwa nasakh
bisa dilakukan apabila, (a) terdapat dua
ayat yang saling kontradiktif
dan tidak bisa dikompromikan, dan (b) harus diketahui secara meyakinkan perurutan turunnya
ayat-ayat tersebut, sehingga yang
lebih dulu ditetapkan sebagai mansukh,
dan yang kemudian sebagai
nasikh. [16]
Berbeda dengan pendapat di atas yang
mensyaratkan dua hal ketika ingin melakukan nasakh,
Al- Barzanji dalam bukunya, nasakh
bisa dilakukan ketika sudah memenuhi
persyaratan sebagai berikut:
a. Keberadaan dua dalil sudah tidak mungkin
untuk dikompromikan
b. Hukum yang dihapus (al- mansukh) merupakan
hukum Syar’i
c. Keberadaan nasikh terpisah dengan hukum yang dihapus
(almansukh)
d. Keberadaan nasikh berupa dalil syar’i
e. Hukum yang ditimbulkan oleh nash tidak dibatasi oleh waktu
f. Kedudukan antara nasikh dan mansukh sama
kuatnya atau kedudukan nasikh
lebih kuat dari mansukh
g. Hukum yang ditunjuk oleh nasikh berbeda atau kontradiktif dengan hukum yang
ditunjuk oleh mansukh
Nasr Hamid Abu Zaid, memberikan definisi
yang berbeda dengan apa yang telah dikemukakan oleh para
ulama. Dalam bukunya - Mafhum
an Nash Dirasah Fi ‘Ulum Al-Quran - beliau
mengatakan bahwa nasakh
adalah mengganti teks dengan teks lain
dengan tetap mempertahankan kedua teks tersebut.(* NN)
Footnote:
1 Mahmmud Yunus, Tarjamah Al-Quran Al- Karim, PT. Al- Ma’arif, Bandung, Cet. IX, 1990,
hlm. 83
3 Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu Dalam
Kehidupan Masyarakat,
Mizan, Bandung, Cet. I, 1992, hlm. 143
4 A.Warson Munawir, Kamus Al- Munawir,
Pustaka Progresif, Surabaya, Cet. IV, 1997, hlm. 1412
5 Muhammad Musthofa Syalabi, Ushul Al- Fiqh Al- Islami, Dar an- Nahdhah al- Arabiyah, Beirut, Lebanon, hlm. 535. Juga
bisa dibaca pada Saefudin Abi al- Hasan Al- Amidi, Al- Ihkam fi Ushul Al Ahkam, Dar al- Fikr, hlm. 70-71.
6 Abdul Latif Abdullah Aziz Al- Barzanji, At- Ta’arudz Wa At- Tarjih Bain Al- Adillah Asy- Syar’iyyah, Dar al- Kutub al- Alamiyah, Beirut, Lebanon, Juz I, hlm. 310
7 Amir Syamsuddin, Ushul Fiqh Jilid I,
Logos Wacana Ilmu, Jakarta, Cet. I, hlm. 211
8 Muhammad Khudhori Bik, Tarekh al- Tasyri’ al- Islami, al- Maktabah al- Tijariyah al- Kubro, Mesir, Cet. II, 1965,
hlm. 22
9 Quraish Shihab, Op. Cit., hlm.
144
10 Muhammad Abu Zahrah, Ushul al- Fiqh, alih
bahasa oleh Saefullah Ma’shum, dkk, PT. Pustaka Firdaus, Jakarta, Cet. III,
1995, hlm. 283
11. Ibid
12 Muhammad Abu Zahrah, Op. Cit., hlm.
384
13. Muhammad Musthofa Syalabi, Op.Cit, hlm.
537-538
14 Amir Syamsuddin, Op. Cit., hlm.
217-218
17 Abdul Latif Abdullah Aziz Al- Barzanji, Op. Cit., hlm.
312-314