[opini] Moral di Atas Hukum
Monday, 19 January 2015
oleh : Mahfud MD
Ketika Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersepakat untuk tetap melakukan fit and proper test atas calon kapolri Komjen Budi Gunawan, Fraksi Partai Demokrat merupakan satu-satunya fraksi yang menolak.
Benny K Harman yang menyuarakan sikap partainya menyatakan, meskipun pengajuan calon kapolri oleh Presiden kepada DPR telah memenuhi syarat hukum tata negara, karena secara hukum pidana yang bersangkutan sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Partai Demokrat tidak setuju hal itu ditindaklanjuti dengan fit and proper test di DPR.
Ada yang langsung bersetuju dengan Partai Demokrat itu. Jika negara hukum ini mengangkat seorang tersangka tindak pidana korupsi sebagai kapolrinya, Indonesia bisa jadi tertawaan dunia. ”Apa kata dunia kalau kita mengangkat kapolri seorang tersangka,” kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi(MK) Hamdan Zoelva seperti dilansir sebuah media online. Meski turut kecewa terhadap cara KPK dalam menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka, pegiat demokrasi dan penegakan hukum Johnson Panjaitan mengatakan rasa mirisnya.
”Indonesia akan menjadi pemecah rekor sebagai negara pertama di dunia yang mengangkat seorang tersangka sebagai kapolri,” ujar Johnson melalui sebuah stasiun televisi Kamis sore dua hari lalu. Tapi para pendukung Budi Gunawan mengajukan argumen balik.
Bukankah secara hukum pengajuan Budi Gunawan oleh Presiden ke DPR itu sudah sah? Bukankah Presiden sudah memilih salah satu dari nama-nama yang oleh Kompolnas dinyatakan layak dan bersih? Nah, karena secara hukum pengajuannya sudah sah, apalagi yang bersangkutan barulah dinyatakan sebagai tersangka yang berhak diperlakukan dengan asas praduga tak bersalah, prosesnya dapat dilanjutkan dan Presiden tetap dapat mengangkatnya.
Menanggapi hal tersebut, Benny K Harman mengatakan, ”Di atas hukum adamoral.” Meskipunsecara formalprosedural pengajuan Komjen Budi Gunawan sudah memenuhi syarat, secara moral hal itu tidak bisa dipertanggungjawabkan karena dia adalah tersangka pelaku tindak pidana. Harus diingat bahwa hukum bersumber dari nilai-nilai moral sehingga kalau yang formal prosedural tidak sesuai dengan moral, moral itulah yang harus dimenangkan.
Tapi dalil Benny K Harman bisa dibantah lagi dengan pertanyaan-pertanyaan: moral menurut siapa dan dari sudut mana? Apakah benar cara KPK yang seperti itu mewakili hukum yang bermoral? Bukankah penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka kental dengan aroma politik? Untuk saat-saat yang masih diliputi suasana emosi seperti sekarang ini, tak mudah bagi kita untuk memastikan mana yang benar secara hukum dan moral dari kontroversi ini.
Kita belum tahu pasti, apakah ini perang antara pegiat antikorupsi dan geng para koruptor, perang antarpihak yang sama-sama ingin menegakkan hukum yang bermoral tapi perspektifnya berbeda atau sebaliknya, perang antarpihak yang samasama koruptif secara politik. Namun satu hal yang pasti, memang benar bahwa moral itu berada diatashukum.
Moral adalah salah satu dasar utama pembentukan hukum sehingga tidak bolehlah ada hukum, baik materinya maupun implementasinya, yang bertentangan dengan moral dan rasa keadilan di dalam masyarakat. Hukum sebenarnya merupakan kristalisasi atau formalisasi nilai-nilai moral dan nilai-nilai lain yang menjadi kaidah di dalam masyarakat.
Pada hari pertama mahasiswa kuliah di Fakultas Hukum, materi penting yang diberikan dalam mata kuliah pengantar ilmu hukum adalah bahwa di dalam masyarakat ada berbagai kaidah atau norma yang menjadi pedoman bertingkah laku untuk menegakkan ketertiban dan kedamaian, yakni norma agama, norma susila dan kesopanan yang bisa disebut sebagai dasar moral serta norma hukum.
Hukum adalah nilai-nilai moral yang sudah diformalkan atau dijadikan kaidah resmi dengan disertai ancaman sanksi yang dapat dipaksakan oleh negara bagi yang melanggarnya. Dengan demikian hukum adalah moral yang diformalkan menjadi peraturan resmi. Oleh sebab itu, jika ada hukum yang bertentangan dengan moral, moral itulah yang harus dimenangkan.
Persoalannya, banyakdiantarakitayangtidak lagi mengingat moral sebagai salah satu dasar adanya hukum sehingga selalu berkutat dan berdebat kusir melalui dalildalil formal semata. Banyak orang yang melakukan pelanggaran moral dan hukum, tetapi mengklaim dirinya bersih karena secara resmi dan secara formal prosedural tidak atau belum dinyatakan bersalah oleh pengadilan.
Pada masa lalu dan ini yang menjadi salah satu sumberKKNsehinggakitamelakukan reformasi pada 1998, banyak terduga dan tersangka pelaku korupsi yang dengan gagah mengatakan dirinya bersih dan tidak mau turun dari jabatannya dengan alasan dirinya tidak atau belum dinyatakan bersalah secara hukum oleh pengadilan. Itulah sebabnya pada 2001 kita membuat dua ketetapan MPR yang mengatur hal itu, yakni Tap No VI/MPR/2001 dan Tap No VIII/MPR/2001.
Menurut Tap No VI/MPR/ 2001, pejabat yang mendapat sorotan negatif dari publik harus bersedia mundur dan tidak menjabat lagi tanpa harus menunggu putusan pengadilan. Menurut Tap No VIII/MPR/ 2001, pegawai negeri sipil yang tersangkut tindak pidana korupsi dapat dikenai tindakan administratif tanpa harus menunggu putusan pengadilan atas kasusnya. Kedua ketetapan MPR ini sampai sekarang masih berlaku. (*sindo)
Ketika Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersepakat untuk tetap melakukan fit and proper test atas calon kapolri Komjen Budi Gunawan, Fraksi Partai Demokrat merupakan satu-satunya fraksi yang menolak.
Benny K Harman yang menyuarakan sikap partainya menyatakan, meskipun pengajuan calon kapolri oleh Presiden kepada DPR telah memenuhi syarat hukum tata negara, karena secara hukum pidana yang bersangkutan sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Partai Demokrat tidak setuju hal itu ditindaklanjuti dengan fit and proper test di DPR.
Ada yang langsung bersetuju dengan Partai Demokrat itu. Jika negara hukum ini mengangkat seorang tersangka tindak pidana korupsi sebagai kapolrinya, Indonesia bisa jadi tertawaan dunia. ”Apa kata dunia kalau kita mengangkat kapolri seorang tersangka,” kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi(MK) Hamdan Zoelva seperti dilansir sebuah media online. Meski turut kecewa terhadap cara KPK dalam menetapkan Budi Gunawan sebagai tersangka, pegiat demokrasi dan penegakan hukum Johnson Panjaitan mengatakan rasa mirisnya.
”Indonesia akan menjadi pemecah rekor sebagai negara pertama di dunia yang mengangkat seorang tersangka sebagai kapolri,” ujar Johnson melalui sebuah stasiun televisi Kamis sore dua hari lalu. Tapi para pendukung Budi Gunawan mengajukan argumen balik.
Bukankah secara hukum pengajuan Budi Gunawan oleh Presiden ke DPR itu sudah sah? Bukankah Presiden sudah memilih salah satu dari nama-nama yang oleh Kompolnas dinyatakan layak dan bersih? Nah, karena secara hukum pengajuannya sudah sah, apalagi yang bersangkutan barulah dinyatakan sebagai tersangka yang berhak diperlakukan dengan asas praduga tak bersalah, prosesnya dapat dilanjutkan dan Presiden tetap dapat mengangkatnya.
Menanggapi hal tersebut, Benny K Harman mengatakan, ”Di atas hukum adamoral.” Meskipunsecara formalprosedural pengajuan Komjen Budi Gunawan sudah memenuhi syarat, secara moral hal itu tidak bisa dipertanggungjawabkan karena dia adalah tersangka pelaku tindak pidana. Harus diingat bahwa hukum bersumber dari nilai-nilai moral sehingga kalau yang formal prosedural tidak sesuai dengan moral, moral itulah yang harus dimenangkan.
Tapi dalil Benny K Harman bisa dibantah lagi dengan pertanyaan-pertanyaan: moral menurut siapa dan dari sudut mana? Apakah benar cara KPK yang seperti itu mewakili hukum yang bermoral? Bukankah penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka kental dengan aroma politik? Untuk saat-saat yang masih diliputi suasana emosi seperti sekarang ini, tak mudah bagi kita untuk memastikan mana yang benar secara hukum dan moral dari kontroversi ini.
Kita belum tahu pasti, apakah ini perang antara pegiat antikorupsi dan geng para koruptor, perang antarpihak yang sama-sama ingin menegakkan hukum yang bermoral tapi perspektifnya berbeda atau sebaliknya, perang antarpihak yang samasama koruptif secara politik. Namun satu hal yang pasti, memang benar bahwa moral itu berada diatashukum.
Moral adalah salah satu dasar utama pembentukan hukum sehingga tidak bolehlah ada hukum, baik materinya maupun implementasinya, yang bertentangan dengan moral dan rasa keadilan di dalam masyarakat. Hukum sebenarnya merupakan kristalisasi atau formalisasi nilai-nilai moral dan nilai-nilai lain yang menjadi kaidah di dalam masyarakat.
Pada hari pertama mahasiswa kuliah di Fakultas Hukum, materi penting yang diberikan dalam mata kuliah pengantar ilmu hukum adalah bahwa di dalam masyarakat ada berbagai kaidah atau norma yang menjadi pedoman bertingkah laku untuk menegakkan ketertiban dan kedamaian, yakni norma agama, norma susila dan kesopanan yang bisa disebut sebagai dasar moral serta norma hukum.
Hukum adalah nilai-nilai moral yang sudah diformalkan atau dijadikan kaidah resmi dengan disertai ancaman sanksi yang dapat dipaksakan oleh negara bagi yang melanggarnya. Dengan demikian hukum adalah moral yang diformalkan menjadi peraturan resmi. Oleh sebab itu, jika ada hukum yang bertentangan dengan moral, moral itulah yang harus dimenangkan.
Persoalannya, banyakdiantarakitayangtidak lagi mengingat moral sebagai salah satu dasar adanya hukum sehingga selalu berkutat dan berdebat kusir melalui dalildalil formal semata. Banyak orang yang melakukan pelanggaran moral dan hukum, tetapi mengklaim dirinya bersih karena secara resmi dan secara formal prosedural tidak atau belum dinyatakan bersalah oleh pengadilan.
Pada masa lalu dan ini yang menjadi salah satu sumberKKNsehinggakitamelakukan reformasi pada 1998, banyak terduga dan tersangka pelaku korupsi yang dengan gagah mengatakan dirinya bersih dan tidak mau turun dari jabatannya dengan alasan dirinya tidak atau belum dinyatakan bersalah secara hukum oleh pengadilan. Itulah sebabnya pada 2001 kita membuat dua ketetapan MPR yang mengatur hal itu, yakni Tap No VI/MPR/2001 dan Tap No VIII/MPR/2001.
Menurut Tap No VI/MPR/ 2001, pejabat yang mendapat sorotan negatif dari publik harus bersedia mundur dan tidak menjabat lagi tanpa harus menunggu putusan pengadilan. Menurut Tap No VIII/MPR/ 2001, pegawai negeri sipil yang tersangkut tindak pidana korupsi dapat dikenai tindakan administratif tanpa harus menunggu putusan pengadilan atas kasusnya. Kedua ketetapan MPR ini sampai sekarang masih berlaku. (*sindo)