Hukum Perkawinan Beda Agama (Dalam Perspektif Hukum Dan Agama) –bag.1
Tuesday, 20 January 2015
SUDUT HUKUM | Persoalan perkawinan dalam
kehidupan manusia bukan hanya sekedar menyangkut masalah biologis sebagai wujud hubungan dua anak manusia antara
seorang laki-laki dan perempuan, tetapi
juga mengandung aspek sosial, hukum dan agama sehingga perlu untuk dilihat dari banyak aspek terutama dari
aspek hukum dan agama.
Ditinjau dari sudut hukum, perkawinan
adalah merupakan sebuah perbuatan hukum di mana seorang laki-laki mengikatkan diri “ dengan seorang perempuan
untuk hidup bersama” karena itu harus
diperhatikan yang ditentukan dalam berbagai ketentuan hukum yang berlaku yang berlaku di negara yang bersangkutan.
Di Indonesia sejak tanggal 2 Januari 1974 telah disahkan Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berlaku hingga sekarang, sehingga
yang menjadi persoalan adalah bagaimana undang-undang itu diterapkan.
Selain itu masalah perkawinan
tidak hanya sekedar merupakan persoalan hukum (negara) tetapi juga
mungin dilepaskan dari persoalan agama dan kepercayaan dari mereka yang
meelangsungkan perkawinan tersebut. Karena perkawinan tersebut
adalah juga merupakan “perbuatan sakral” sesuai dengan ajaran agama yang
bersangkutan. Kita bersyukur dalam sistem hukum
perkawinan aspek hukum dan aspek agama dalam masalah perkawinan ini.
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 menentukan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu. Menurut
Penjelasan Undang-Undang, dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada
perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Sedangkan yang
dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya itu termasuk ketentuan
perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaanya itu
sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undangundang ini.
Keterkaitan antara masalah agama dan hukum
dalam pelaksanaan perkawinan tampak lebih mencuat dalam apa yang disebut
hukum perkawinan campuran beda agama yang menjadi topik bahasan
ini yang merupakan masalah yang menarik di negara kita sebagaimana diungkapkan
oleh banyak pakar hukum di negara kita seperti Prof. Sudargo Gautama
(Gouw Giok Siong) yang selama puluhan tahun menyangkut persoalan ini selama
berpuluh-puluh tahun.
Dalam tahun 11955/1956, Sudargo Gautama
(Gouww Giok Siong) sudah mengungkapkan masalah ini dalam ceramah-ceramahnya
pada siaran RRI Jakarta sebagaimana telah dibukukan dalam tulisannya
“Pembaharuan Hukum di Indonesia” (1973). Di bawah topik “Hukum Perkawinan
Baru” ia mengungkapkan bahwa di lapangan hukum kekeluargaan dan teristimewa
dalam lapangan perkawinan sangat terasa segi golongan (groepaspect) dari
hukum ini. Dikatakan bahwa peristiwa-peristiwa yang termasuk lapangan hukum
perkawinan ini adalah peristiwa-peristiwa yang penting sekali dalam
kehidupan masing-masing pihak yang bersangkutan.
Kita melihat bahwa pandangan apa yang
baik dan buruk di lapangan ini berhubungan
erat dengan pandangan hidup, dengan keyakinan, dengan kepercayaan atau agama
dari pihak-pihak yang bersangkutan. Lapangan inilah yang dipengaruhi secara
mendalam oleh pakar-pakar keagamaan dan pakar kemasyarakatan. Disinilah
lebih-lebih terasa bahwa apabila sesuatu hukum yang dibebankan dari atas
hendak menjadi hukum yang hidup, haruslah pertama-pertama hukum
ini dapat diterima oleh kesadaran dan keyakinan dari mereka untuk siapa hukum
itu berlaku (Gautama, 1973:49).
Selanjutnya pada tahun 1955, Sudargo
Gautama menyangkut tema perkawinan campuran sebagai topik disertasi yang
dipertahankan di muka senat Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat
Universitas Indonesia Jakarta dengan judul “Segi-Segi Hukum Peraturan Perkawinan
Campuran”. Dalam tulisan ini Sudargo Gautama menjelaskan bahwa perkawinan
campuran sudah dikenal sejak pada masyarakat kolonial melalui apa yang dinamakan
perkawinan campuran antar tempat (interlocaal), perkawinan
campuran antar agama (interreligeus) dan perkawinan campuran antar
golongan (Intergentiel) dan bahkan menurut pendapatnya berdasarkan hasil
penyelidikan yang dilakukan ia mendalilkan bahwa dalam tahun-tahun sesudah
perang pasifik, teristimewa sesudah peristiwa penyerahan kedaulatan, perkawinan
campuran telah bertambah (Gautama, 1973:1-19).
Perkawinan antar agama dalam interpretasi yang luas
dari Sudargo Gautama termasuk dalam lingkup Pasal 1 GHR. Menurut Sudargo
Gautama sejak zaman kompeni hingga tahun 1848, kegamaan dipergunakan sebagai
pedoman dalam hal-hal perkawinan campuran, sesuai dengan struktur
masyarakat yang terdapat pada waktu itu, agama yang dianut oleh penguasa agama
nasrani – dijadikan pegangan. Barriere agama dipakai untuk melindungi golongan Belanda.
Seorang Kristen tidak dapat memihak dengan orang pribumi yang kebanyakan bukan merupakan
penganut agama kristen.
Dapat ditambahkan bahwa dalam satu
tulisannya yang berjudul “Peranan Hukum Antar Tata Hukum Dalam 50 Tahun
Pendidikan Ilmu Hukum di Indonesia” (1974), Sudargo Gautama mengungkapkan pentingnya dikembangkan apa
yang disebut Hukum Antar Tata Hukum (HATAH) baik yang bersifat intern maupun ekstern (HPI). Dan dalam
konteks ini ia mengkaitkan dengan
Undang-Undang Perkawinan. Dikatakan bahwa tujuan untuk sedapat mungkin mencapai
unifikasi hukum agar supaya semua warganegara menurut Hukum
Perdata pun memakai bajis uniform yang sama, kita saksikan pula pada
Undang-Undang Pokok Perkawinan yang baru-baru ini telah diterima dan
akan mulai berlaku mulai 1 Oktober 175 setelah peraturan pelaksanannya
diadakan, selanjutnya dikemukakan bahwa menurt sistem yang dianut dalam
Undang-Undnag Perkawinan yang baru itu, tidak lebih lama diadakan pembedaan
antara pelbagai macam hukum perkawinan golongan-golongan rakyat
tertentu atau golongangolongan agama tertentu.
Pertauran-pertauran lama tentang perkawinan
yang berlaku untuk berbagai golongan rakyat dan untuk golongan rakyat Indonesia
yang beragama Nasrani dan yang beragama Islam secara tersendiri-sendiri telah
dihapuskan pula dan diganti dengan etentuan-ketentuan dari pada Undang-Undang Perkawinan
yang baru ini, serta peraturanperaturan pelaksanaannya (Gautama, 1974:131-132).
Bayang-bayang akan terjadinya unifikasi hukum
perkawinan sebagaimana diungkapkan di atas ternyata hanya bayang-bayang
belaka mengingat perkawinan - paling tidak perkawinan beda agama
– masih relevan setelah udnang-udnang perkawinan berlaku lebih dari
sepuluh tahun. Hal ini diungkapkan dalam tulisannya yang berjudul “Mahkamah
Agung dan Keanekaragaman Hukum Perdata Masalah Perkawinan
Campuran Antar Agama” (1987).
Pembahasannya mengacu pada buku yang
diterbitkan oleh Mahkamah Agung. “Himpunan Tanya Jawab tentang Hukum
Perdata” (1984) di mana ia berkesimpulan bahwa Mahkamah Agung masih tetap
beranggapan bahwa hukum yang uniform secara murni belum berlaku untuk bidang
perkawinan setelah diintrudusir Undang-Undang Perkawinan 1974 No.
1 (Gautama, 1987:104).
Selanjutnya dikemukakan bahwa Mahkamah
Agung tetap berpendirian bahwa GHR (Stb 1898 No. 158) masih tetap berlaku,
karena Perkawinan Campuran – termasuk perkawinan beda agama belum
diatur dalam Undang-Undang Perkawinan Tahun 1974 maka dapat digunakan perkawinan
lama dalam GHR – sehingga sekarang ini orang dapat menikah walaupun mempunyai
agama berbeda. Mereka dapat melangsungkan perkawinan secara sah tanpa
perlu merubah agama. Tidka perlu main sulap dengan agama apabila tidak ada
keyakinan untuk itu (Gautama, 1987:108).
Kemudian dikatakan bahwa adalah
menggembirakan bahwa Mahkamah Agung masih tetap mempertahankan pendirian bahwa
perbedaan agama bukan merupakan penghalang untuk berlangsungnya sutau perkawinan
secara sah sesuai dengan ketentuan yang dianut dalam GHR dan dalam Jurisprudensi Mahkamah Agung sedniri.
Tulisan ini ditutup dengan perkataan yang menarik bahwa perbedaan agama tidak
merupakan penghalang untuk tetap dilangsungkannya perkawinan. Pendapat
ini adalah sesuai dengan apa yang dinasehatkan oleh Prof. S. Takdir Alisyahbana
sebagai orang tua yang bijaksana dan telah diperhatikan pula dalam salah satu
tajuk rencana Harian Sinar Harapan.
Persoalan seperti yang dikemukakan oleh
Sudargo Gautama tersebut di atas dikemukakan juga oleh Ketua Mahkamah Agung Wirjono Prodjodikoro
(1903-1986) dalam tulisannya “Hukum
Perkawinan di Indonesia yang terbit pertama kali pada tahun 50 an yang menggambarkan adanya keanekaragaman
peraturan hukum perkawinan yang berlaku.
Disamping itu ia mengemukakan suatu
pernyataan yang menarik bahwa pengertian perkawinan tidaklah dapat dipandang lepas dari hukum
perkawinan yang berlaku dalam suatu negara, maka ini tidak berarti, bahwa sifat seluruhnya
dari suatu perkawinan dapat terlihat semua dalam peraturan hukumitu. Sebetulnya
pertauran hukum perkawinan hanya meliputi pokok-pokok saja dari
persoalan yang timbul dalam hidup bersama yang dinamakan perkawinan itu.
Lebih penting dari pada pertauran hukum itu ialah praktik yang di dalam
suatu negara tertentu dilakukan oleh suami dan istri selama hidup bersama itu.
Dan praktik ini ada hubungan erat dengan alam pikiran dan alam perasaan suatu
bangsa atau suku bangsa mengenai soal kesusilaan. Mungkin sekali praktik ini
berlainan dan menyimpang dari peraturan hukum perkawinan yang
berlaku (Prodjodikoro, 1961:8).
Penegasan mantan Ketua Mahkamah Agung ini
mungkin masih mempunyai relevansi ketika pada tanggal 2 Januari 1974 menetapkan
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 (LN RI 1974 No. 1) tentang Perkawinan yang
berlaku secara unifikasi untuk semua golongan penduduk yang ada di Indonesia.
Hal ini memang sangat relevansi bila dikaitkan dengans alah stau prinsip kenegaraan
kita “Bhineka Tunggal Ika” akan tetapi bila dikembangkan lebih lanjut bahwa persoalan
perkawinan bukan hanya persoalan hukum negara saja, akan tetapi
juga sebagaimana dianut oleh undang-undang itu sendiri yang mendasarkan
keabsahan perkawinan pada hukum agama dan kepercayaan yang dianut
oleh mereka yang melangsungkan perkawinan tersebut.
Dalam bagian IV buku tersebut Wirjono
Prodjodikoro menulis tentang “Pengaruh Agama” (Prodjodikoro, 1961:18-26) mulai
dari pengaruh dari “Heidende godsdiens”, Hukum Agama Hindu, Hukum
Agam Islam dan Hukum Agama Kristen. Dalam tulisan ini dikemukakannya
sekiranya dapat dikatakan pada umumnya, bahwa kalau ada pengaruh suatu agama
pada isi dan perkembangan suatu peraturan hukum, maka adalah layak
apabila pengaruh agama itu paling nampak pada hukum perkawinan
dan keluarga. Ini mudah dapat dimengerti, kalau diingat, bahwa ajaran-ajaran
dari suatu agama terutama adalah mengenai kerohanian dan kepribadian seorang
manusia dalam masyarakat, sedang dari segala hal hukum bagian perkawinan
dan kekeluargaanlah yang mengenai hubungan antara manusia yang paling mendekati
pada kerohanian dan kepribadian.
Bagian hukum yang mengenai
perjanjianperjanjian dalam perdagangan dan hubungan kekayaan pada umumnya
seperti misalnya jual beli, sewa menyewa dan lain-lain sebagainaya, itu semua
agak jauh dari pada kerohanian dan kepribadian seorang manusia. Juga dapat
dikatakan, bahwa hubungan seorang manusia dengan istrinya atau dengan suaminya
dan dengan anggota-anggota keluarganya bersifat terus menerus (permanent)
sedangkan hubungan dalam hal perjanjian-perjanjian adalah bersifat kebetulan
atau incidenteel. Maka dengan ini ajaran-ajaran suatu agama dapat lebih meresap
dalam hal perkawinan dan kekeluargaan (Prodjodikoro, 1961:18).
Dalam pada itu harus dikemukakan, kata
Wirjono Prodjodikoro bahwa apabila dalam suatu wilayah negara penduduk seluruhnya atau sebagian besar meemeluk
salah satu dari tiga agama besar tadi,
maka ini tidaklah berarti, bahwa dengan sendirinya pada hakikatnya hukum agama itujuga dianut seluruhnya atau
sebagian besar oleh penduduk itu. Terutama bagi Indonesia kita harus sangat
berhati-hati dalam mengambil suatu kesimpulan, sampai di mana bagian-bagian
dari hukum agama tersebut dianggap berlaku, oleh karena tiga-tiganya
agama tersebut berturut-turut dibawa ke Indonesia oleh orang-orang manusia yang
merupakan bangsa-bangsa tertentu, sehingga menjadi pertanyaan besar apakah yang
dijajarkan oleh mereka disisi ini, adalah betul-betul bagian dari hukum
agama yang bersangkutan, ataukah sudah banyak dicampuri dengan unsur-unsur yang
melekat pada hukum yang berlaku di tanah asli bangsa-bangsa itu. Dan hukum
dari tanah asli mereka ini sama sekali belum tentu sesuai dengan hukum
agama yang murni dan juga ada kemungkinan besar tidak cocok pula dengan keadaan
alam dan bangsa Indoensia (Prodjodikoro, 1961:19).
Dalam konteks ini pula kita dapat
memahami apa yang dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro dalam tulisannya “Usaha
Memperbaiki Hukum Perkawinan di Indonesia” sebagaimana dimuat
dalam Majalah Hukum tahun 50 an (Prodjodikoro, 1974) perlu dilihat dalam
pengertian yang luas tidak hanya sebatas pada perbaikan materi hukum
tetapi juga keterkaitannya dengan masalah agama dan hal ini merupakan faktor
penentu dalam menetapkan apakah suatu perkawinan adalah perkawinan
beda agama yang akan kita bahas di sini.
Untuk memahami lebih lanjut makna dari perkawinan
campuran beda agama yang menjadi topik bahasan ini akan kita kutib pendapat
dari H. Ichtianto seorang peneliti/Pejabat pada Badan Litbang Agama dan Diklat
Keagamaan Kementerian Agama dalam tulisannya “perkawinan Campuran Dalam
Negara Republik Indoensia” (2003). Menurut Ichtianto, Undang- Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan (disingkat UUP) disusun berdasarkan
Pancasila sebagai cita hukum Nasional, berlaku bagi seluruh penduduk
Indoensia, menggantikan hukum perkawinan lama (Ichtianto,
2003:1). Pada bagian lain ia menyatakan bahwa UUP tidak mengandung unifikasi hukum. Dari
segi Ilmu Hukum Pasal 2 ayat (1) UUP melahirkan HATAH Antar Hukum Perkawinan
Agama dalam Sistem Hukum Nasional Indonesia (Ichtianto,2003:196).
Kemudian hal ini ditegaskan dalam
kesimpulan tulisannya Ichtianto menyatakan bahwa sebagai undang-undang yang dibentuk berdasarkan dan bercita hukum
Pancasila UUP memberikan kekuatan
berlaku hukum perkawinan agama-agama yang dipeluk penduduk Indonesia. Tidak ada perkawinan
yang dilangsungkan di luar hukum Agama (Ichtianto, 2003:195).
Selanjutnya mengenai perkawinan
campuran yang sesuai dengan cita hukum Ichtianto mengemukakan ada dua pemikiran tentang
pengaturan perkawinan campuran dalam Negara Pancasila yaitu:
Pemikiran Pertama:
Menyatakan bahwa dalam Negara RI
berdasarkan Pancasila tidak boleh ada pencatatan tentang Perkawinan
Campuran antar pemeluk agama yang berbeda, karena berbahaya dan langsung bertentangan
dengan Pancasila:
- Negara Republik Indonesia berdasar Pancasila menghormati agama dan mendudukan hukum agama dalam kedudukan fundamental.
- Dalam Negara berdasar Pancasila, aturan hukum tidak boleh bertentangan dengan hukum agama.
- Agama-agama yang ada di Indonesia melarang perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda.
- Dalam Negara Pancasila tidak boleh terjadi perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda.
- Karena sahnya perkawinan berdasarkan pada hukum agama, maka perkawinan yang tidak sah menurut hukum agama tidak sah pula menurut undang-undang perkawinan Indonesia.
- Perkawinan antara orang-orang yang berbeda agama dalah penyimpangan dari pola umum perkawinan yang benar menurut hukum agama dan undang-undang perkawinan.
Penyimpangan ini kendatipun merupakan
kenyataan dalam masyarakat, tidak perlu dibuat peraturan tersendiri, tidak perlu dilindungi oleh Negara. Mereka yang berpendapat demikian antara
lain Daud Ali dan Bustanul Arifin (Ichtianto, 2003:197).
Pemikiran Kedua:
Menyatakan:
(1)
Pasal 2 ayat (1) UUP dari sudut Ilmu Hukum telah melahirkan
masalah hukum antar agama.
(2)
Peraturan perkawinan campurna sebagai HATAH intern dan ekstern.
(3)
Di Indonesia ada keanekaragaman hukum perkawinan sesuai
dengan peraturan perundangan yang
berlaku (Pasal 2 ayat (1), AB Pasal 16).
(4)
Pelaksanaan perkawinan campuran sesuai dengan peraturan yang
berlaku ddilangsungkan menurut hukum perkawinan sang suami (Pasal
66 UUP jo Pasal 6 6HR, STb 1898 No. 100).
(5)
Negara berkewajiban memberikan pelayanan kenegaraan kepada seluruh
penduduk yang beragama atau berkeyakinan agama apapun dengan prinsip
“persamarataan sistem hukum”.
Mereka yang berpendapat demikian antara
lain” Wirjono Prodjodikoro, Sudirman Kartohadipradjo S. Gautama, Asmin, Amir Murtono, Endar Pulungan, Romaharbo, Amiruddin (Ichtianto, 2003: 197-198).
Sedangkan Ichtianto sendiri berpendapat
bahwa Negara Indoensia berkewajiban mengatur perkawinan campuran sesama warga negara Indonesia yang
hukum perkawinannya berlainan yang telah ditunaikan dengan adanya Bab XII Bagian Ketiga Perkawinan
Campuran dalam UUP yang
dibentuk dan disusun berdasar Pancasila yang terdapat pluralisme di bidang perkawinan perlu ada norma hukum perkawinan
campuran (antara lain perkawinan campuran antar pemeluk agama yang berbeda) sebagai norma HATAH (Ichtianto, 2003: 198). Oleh: DR.H.ABDURRAHMAN, SH.,MH.