Hukum Perkawinan Beda Agama (Dalam Perspektif Hukum Dan Agama) –bag.2
Tuesday, 20 January 2015
Oleh: DR.H.ABDURRAHMAN, SH.,MH.
Untuk mendukung pendapatnya tersebut
Ichtianto mengemukakan sejumlah alasan sebagai berikut:
- Negara Pancasila adalah dibentuk dan didirikan oleh rakyat Indonesia yang menganut berbagai agama.
- Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masingmasing dan beribadah menurut agamanya dan kepercayaan itu (Pasal 29 ayat (2) UUD 1945) dan mengakui pemelukan agama-agama, sehingga di Indonesia adda pluralistis agama.
- Hak asasi beragama adalah hak asasi yang paling asasi.
- Negara berkewajiban mengatur hubungan hukum rakyat penduduk Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
- Di Indonesia, karena ada pluralistis agama, maka ada pluralistis hukum perkawinan (Pasal 2 ayat (1).
- Negara Pancasila berkewajiban mengatur hukum perkawinan antara warga negaranya yang mememluk agama yang sama dan yang memeluk agam yang berbeda.
- Di samping mengatur hubungan perkawinan sesama warga negaranya, antara warganegaranya dengan warga negara lain, negara Republik Indonesia juga mempunyai kewajiban internasional tentang pengaturan dan pemeberian pelayanan hukum kepada warganegara lain yang kawin di Indonesia, hal tersebut sesuai dengan UUD 1945 alinea ke empat yang menyatakan “dan ikut melakssanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan nesional”.
- Pengaturan perkawinan campuran dalam UUP secara nasional sesuai dengan Pembukaan UUD 1945, secara internasional sesuai dengan Pasal 16 AB (dalam rangka Hukum Perdata Internasional), kondisi hukum, kenyataan hukum, serta hukum yang dicita-citakan bangsa Indonesia, tinggal masalah pemahaman dan pengaturan pelaksanaannya.
- Pengaturan perkawinan campuran dalam UUP adalah merupakan penunaian kewajiban negara dalam mengatur hukum antara tata hukum di bidang perkawinan.
- Pelaksanaan perkawinan campuran menurut satu hukum agama ialah menurt hukum agama suami.
- Pengupacaraan perkawinan campuran menurut upacara hukum agama suami, hukum suami merupakan pilihan hukum antara dua sistem hukum yang berlainan, seorang warga WNI yang bersedia melakukan perkawinan campuran dengan lelaki penganut agama lain, berarti secara sadar menerima pengupacaraan perkawinannya menurut hukum agama suami dan meninggalkan pengupacaraan perkawinan menurut hukum agamanya sendiri, namun ia tetap tidak kehilangan haknya yang paling asasi, ialah memeluk agamnaya dan beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu, dalam negara Indonesia, tidak ada yang berhak memaksanya untuk pindah agama.
- Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang disusun berdasar Pancasila telah mengatur perkawinan campuran secara lengkap karena di samping katenetuan Pasal 57 sampai dnegan Pasal 62 UUP ada ketentuan Aturan Peralihan yang masih memberlakukan ketentuan hukum lama sejauh UUP dan peraturan pelaksanaannya belum mengatur (Pasal 66 UUP/jo. GHR Pasal 6).
- GHR hanya berlaku jika Undang-Undang Perkawinan belum mengaturnya. Jika Undang- Undang Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya telah mengatur, maka ketentuan GHR tidak berlaku. (Ichtianto, 2003:198-200).
Menurut Zulfa Djoko Basuki dalam
disertasinya pengertian perkawinan campuran adalah sebagaimana yang dianut dalam
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Pasal 57 yaitu perkawinan antara dua
orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu
pihak berkewarganegaraan Indonesia. Sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1
Tahun 1974, pengertian perkawinan campuran lebih luas, tidak hanya
meliputi perbedaan kewarganegaraan tetapi meliputi pula antara lain perbedaan agama,
golongan penduduk, dan sebagai seperti diatur dalam Pasal 1 Regeling ops
Gemengde Huwelijken (GHR) yang menyatakan bahwa perkawinan campuran
adalah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk pada hukum
yang berbeda-beda (Basuki, 2005: 1-2).
Berdasarkan pendapat ini maka perkawinan
antara orang-orang Indonesia yang berbeda agama bukan perkawinan campuran.
Tentang hal ini dapat dijelaskan lebih
jauh.
Bahwa bagaimana ketentuan Undang-Undang
No. l Tahun 1974 tentang Perkawinan mengenai perkawinan beda agama? Pertama-tama perlu dilihat
bahwa dengan berlakunya undang-undang tersebut menurt ketentuan Pasal 66 untuk perkawinan
dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas
undang-undang ini, maka dengan berlakunya undang-undang ini ketentuan-ketentuan
yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk
Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonnantie Christen
Indonesier S.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de
gemengde Huwelijken S.1898 No. 158) dan peraturan-peraturan lain yang mengatur
tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam undang-undang ini
dinyatakan tidak berlaku.
Berdasarkan ketentuan ini maka
peraturan-peraturan yang mengatur tentang perkawinan yang berlaku
sebelumnya dan substansi materinya telah diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun
1974 termasuk GHR Stb 1878 No. 158 yang mengatur tentang Perkawinan
Campuran menjadi tidak berlaku lagi. Selain itu Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
menegaskan bahwa konsep perkawinan yang dianut adalah perkawinan
yang berdasarkan atas prinsip ketuhana yang Maha Esa sehingga tidak
dimungkinkan adanya perkawinan yang bersifat sekuler.
Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
menyatakan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seornag pria
dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Sedangkan
Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menentukan bahwa perkawinan
adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.
Penjelasan pasal itu menyatakan bahwa
dengan perumusan pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan itu, sesuai dengan
Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang
berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak
bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini. Sedangkan
Penjelasan Umum angka 3 undang-undang ini menyebutkan bahwa sesuai dengan
landasan falsafat Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka undang-undang
ini disatu pihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang terkandung dalam
Pancasila dan Udnang-Udnang dasar 1945, sedangkan dilain pihak harus dapat pula
menamping segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat dewasa ini, Undang- Undang
Perkawinan ini telah menampung di dalamnya unsur-unsur dan
ketentuan-ketentuan hukum agamanya dan kepercayaannya itu dari yang
bersangkutan.
Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974,
baik dalam pasal-pasal maupun penjelasannya serta peraturan pelaksanaannya,
tidak ada ketentuan yag mengatur secara tegas mengenai perkawinan
berbeda agama. Akan tetapi apabila melihat pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) yang
menyatakan baha perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum
masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu, menurut Hartini, undang-undang
mengindikasikan bahwa undang-undang menyerahkan kepada masing-masing agama
untuk menentukan caracara dan syarat-syarat pelaksanaan perkawinan,
disamping cara-cara dan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh Negara. Dengan
demikian apakah suatu perkawinan dilarang atau tidak, disamping
tergantung pada ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang No. 1 Tahun
1974, juga ditentukan oleh hukum agamanya masing-masing.
Selanjutnya menurut Hartini hal ini
dipertegas oleh Ketentuan Pasal 8 huruf f Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang menyatakan
bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yang oleh
agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin. Dari ketentuan ini
dapat ditarik kesimpulan bahwa sekalipun Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tidak
mengatur secara tegas mengenai perkawinan beda agama. Namun secara
implisit bagi orang Islam terdapat suatu larangan sebagaimana yang ditentukan
dalam agama Islam, demikian juga bagi orrang Kristen, Katholik serta pemeluk
agama lain (Hartini, 2004:14-15).
Selanjutnya Hartini menyatakan bahwa
satu-satunya Pasal yang mengatur mengenai perkawinan campuran
adalah Pasal 57 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, tetapi yang dimaksud dengan perkawinan
campuran dalam undang-undang ini ialah perkawinan campuran antara dua orang yang di Indonesia tunduk
pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Pasal ini menurut Hartini tidak mencakup perkawinan antar agama, oleh
karena pada umumnya agama-agama yang ada di Indonesia melarang perkawinan
beda agama, maka dapat ditafsirkan bahwa secara implisit Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 pun melarang adanya perkawinan beda agama (Hartini, 2009:15).
Berbeda dengan pendapat tersebut Maria
Ulfah Subadio, menyatakan bahwa Undang- Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Bersifat Nasional, jadi berlaku untuk semua warga Negara, akan tetapi belum
diatur seluruhnya misalnya perkawinan Warga Negara Indonesia yang
berlainan agama (mengingat Pasal 2 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan”
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu). Lalu bagaimana harus dilakukan perkawinan
Warga Negara Indonesia yang
berlainan agama? Hal ini mungkin terjadi berdasarkan Pasal 29 UUD 1945 bahwa
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masingmasing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu, sedangkan
Pasal 66 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 menyatakan tidak berlaku berbagai
peraturan yang mengatur perkawinan, karena itu ia berpendapat bahwa
karena perkawinan Warga Negara Indonesia yang berlainan agama tidak
diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, masih
berlaku Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling OP de Gemengde Huwelijken
S: 1998 No. 158) (Subadio, 1981 :22-23).
Pandangan semacam ini juga dianut oleh
Sudargo Gautama yang sudah menggeluti persoalan perkawinan campuran
termasuk perkawinan campuran beda agama sejak tahun 1950-an sebagaimana
telah diungkapkan sebelumnya. Karena itu maka Hartini menyatakan bahwa perkawinan
campuran karena berbeda agama selalu hangat dibicarakan karena masalahnya
menyangkut akidah dan huum yang sangat sensitif. Ia dapat disebut dengan
perkara antar agama yaitu ikatan lahir batin antaara seorang pria dan wanita
yang berbed aagama yang menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan
mengenai syarat-syarat dan tatacara pelaksanaan perkara sesuai dengan hukum
agamanya masing-masing (Hartini, 2004:14).
Dalam konteks ini menarik untuk dicatat
pendapat Murdiati trisnaningsih dalam disertasinya yang membahas releevansi
kepastian hukum dalam mengatur perkawinan beda agama di Indonesia
(2007). Dalam tulisan tersebut ia mengemukakan bahwa masing-masing No. 1 Tahun 1974 belum memberi ketegasan
pengaturan tentang perkawinan beda gama.
Demikian juga belum ada ketegasan
pengaturan tentang sahnya perkawinan di luar peneguhan secara agama. Persoalan semakin bertambah
bila mengingat hingga kini ternyata pengakuan terhadap keberadaan agama
tertentu oleh Pemerintah juga belum tegas (Trisnaningsih, 2007:3).
Pada bagian akhir tulisannya,
Trisnaningsih mengemukakan bahwa setiap penerbitan hukum perkawinan dalam bentuk perundang-undangan dalam suatu negara,
dan melibatkan unsur agama di
dalamnya, maka terlebih dahulu terjadi proses pemaknaan terhadap agama itu sendiri. Nilai-nilai agama akan diberi
makna secara sosiologi dan ideologi. Makna agam dengan sifat sosiologi akan
terbagi dalam dua katagori, yakni katagori fungsional dan katagori substansial.
Dengan katagori fungsional, maka agama menjadi wahana interpretatif yang akan membantu
manusia untuk membuka misteri tabir, alam semesta. Dengan katagori substansial,
maka agama menjadi wahana yang berkaitan dengan supranatural atau dunia
transenden.
Sedang makna agam dengan sifat ideologis,
berarti agama akan dipakai sebagai unsur atau wahana untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan atau kewenangan.
Proses tarik menarik antara
agama yang diberi makna sosiologiss atau ideologis, akan terus berlangsung seturut keinginan masyarakat pendukung
yang multidimensional. Dengan demikian menjadi jelas bahwa corak hukum perkawinan
yang melibatkan unsur agama di dalamnya cenderung akan menghadapi persoalan
yang tidak sederhana, tergantung dari bobot penempatan makna agama itu sendiri,
apakah lebih cenderung ke “Sosiologis Fungsional”, “Sosiologis Substansial” atau
Ideologis. Menjadi persoalan dalam hal agama dimasukkan sebagai salah satu
unsur pembentukan hukum negara adalah, tidak ada jaminan perlindungan
perlakuan adil dan tidak diskriminatif terhadap agama lain, manakah agama
tertentu secara ekslusif dijadikan ideologi dan sumber hukum negara (Trisnaningsih, 2007:140-141).
Selanjutnya dikemukakan bahwa proses
terbentuknya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang diwarnai oleh silang pendapat antar anggota masyarakat akan
hal tersebut. Bahwa pada kenyataannya, salah satu klausula yang dianggap
kontroversial dalam pembahasan adalah berkaitan dengan sahnya perkawinan,
antara berdasarkan agama dan cukup dicatatkan saja.
Persoalan keabsahan suatu perkawinan
berdasarkan dua pilihan tersebut menjadi semakin kontroversial, karena akan
membuka selebar-lebarnya terhadap disahkannya perkawinan beda agama,
kemudian dikemukakan pula bahwa perseteruan yang semakin sengit menyangkut keabsahan
perkawinan, pada akhirnya dirumuskan secara “tidak memuaskan” dan “tidak
menyelesaikan persoalan”. Artinya persoalan perkawinan beda agama tidak
diatur secara tegas, atau dapat
dikatakan tidak memiliki kepastian hukum. Adanya pasal yang menyatakan
bahwa perkawinan adalah sah menurut catatan saja, asalkan dilangsungkan
tidak di bumi Indonesia.
Kontradiksi antar pasal dalam satu
perundang-undangan telah menunjukkan adanya sikap kompromistis yang secara formal sangat tidak mempedulikan nilai-nilai
metode pembuatan perundang-undangan
secara benar, yakni terpenuhinya asas konsistensi, harmonisasi, sistematisasi dan sinkronisasi (Trisnaningsih, 2007:141). Dan sebagai kesimpulan akhir ia menyatakan
bahwa ditinjau secara material, Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang tidak memberikan
kepastian hukum secara memadai terhadap pihak-pihak yang akan melangsungkan
perkawinan beda agama, sudah dapat dikatagorikan sebagai kurang menghargai
HAM (Trisnaningsih, 2007:142).
Penegasan di atas menggambarkan kepada
kita bahwa salah stau sumber permasalahan
perkawinan campuran beda agama adalah bersumber
dari sistem pengaturan yang bersumber apa pengaturan awal yang diberikan oleh
Undang-Undang Perkawinan (Undang-Undang No.1 Tahun 1074) yang
dimaksudkan untuk menggantikan peraturan perkawinan lama peninggalan zaman
penjajahan. Mengingat kenyataan demikian kajian lebih intensif terhadap undangundang
tersebut perlu mendapat perhatian disamping persoalan pokok yang bersifat
konsep dasar berkenaan dengan dikaitkan persoalan tersebut dengan agama dan hukum
agama.
Dalam hubungan ini menarik untuk melihat
dan mempertimbangkan pandangan dan Trisnaningsih dalam tulisannya yang lain mengenai persoalan tersebut.
Dikemukakan bahwa makna perkawinan yang memiliki dimensi sosial, agama
dan hukum, telah menjadikan keabsahan suatu perkawinan berada
dalam ajang perdebatan. Muncul pemahaman bahwa sahnya perkawinan cukup
dilihat dari hubungan keperdataan, sehingga pembuktiannya cukup melalui akta perkawinan
yang dikeluarkan oleh petugas Catatan Sipil. Menurut pemahaman ini, perkawinan
merupakan urusan yang sangat pribadi, sehingga pribadi lain ataupun negara
tidak berhak turut campur secara mendalam. Oleh karena itu adanya perbedaan
agama diantara para pihak, atau sekalipun para pihak tidak beragama misalnya,
bukan merupakan suatu yang perlu dipersoalkan (Trisnaningsih, 2007:58).
Kemudian dikatakan pula bahwa pada sisi
lain muncul pemahaman yang berlawanan yang meyakini bahwa sahnya suatu perkawinan adalah sesuai
dengan norma agama. Perkawinan harus dipandang sebagai suatu yang
peristiwa sacral, yang memiliki dimensi serba keterhubungan dan ketergantungan dengan Tuhan Allah sebagai penguasa
tertinggi atas dunia dan akhirat.
Konsekwensi dan pemahaman ini adalah bahwa perkawinan yang hanya berdasarkan
hubungan perdata harus sebagai tidak sah. Pencatatan perkawinan dalam
bentuk akta perkawinan dipandang hanya sebagai ciptaan manusia dan
bersifat keduniawiaan (Trisnaningsih,
2009:50).
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
menurut Trisnaningsih berupaya mengakomodir kedua
pemahaman tersebut. Kenyataan terlihat secara eksplisit dalam Pasal 2 yang mengandung
unsur Agama dan unsur hubungan perdata di dalam suatu peristiwa perkawinan.
Pernyataan dan pengakuan unsur agama dan unsur hubungan perdata di dalam peraturan
perkawinan di Indonesia, meskipun belum dapat mengakomodir berbagai kepentingan
masyarakat, tetapi untuk sementara ini dapat dikatakan sebagai bentuk akomodasai
yang paling mungkin dilakukan (Trisnaningsih,
2009:58-59).
Pendapat tersebut sebagai satu pendapat
tentang perkawinan pada umumnya dan perkawinan campuran beda
agama yang dikemukakan oleh soerang pakar hukum. Masih banyak pendapat
pendangan dan pendapat para pakar berkenaan dengan hal tersebut yang perlu
mendapat perhatian kita. Dalam tulisan ini disebutkan 90 tulisan berkenaan
dengan perkawinan pada umumnya dan perkawinan campuran beda agama
termasuk kumpulan peraturan perkawinan yang perlu untuk dikaji dan
diberi pertimbangan. Kajian tentang berbagai refrensi hukum perkawinan
campuran beda agama tetap merupakan permasalahan yang perlu untuk dikaji secara
intensif dalam berbagai forum.
Sumber: http://www.bphn.go.id/data/documents/kpd-2011-5.pdf