Pendekatan Historis dalam Ilmu Ushul Fiqh
Thursday, 1 January 2015
Sudut Hukum | Pendekatan Historis dalam Ilmu Ushul Fiqh
Apabila kita gali lebih dalam, pendekatan historis sesungguhnya
telah menjadi bagian dari agama Islam itu sendiri. Pendekatan sejarah telah
melekat dan terintegrasikan dalam Islam. Hal tersebut disebabkan Pertama, kewajiban bagi setiap muslim untuk meneladani Rasul, karena ia
merupakan suri teladan dan uswah
hasanah yang harus diikuti
perilakunya oleh seluruh umat Islam. Dalam rangka meneladani
Rasul secara benar tentu saja harus mengetahui secara persis perilaku pada masa lalu. Untuk mengetahui perilaku
Nabi dengan benar tentu saja membutuhkan penggalian sejarah secara komprehensif
dan detail. Tampilan sejarah perilaku Nabi itu biasa disebut sebagai sirah nabawiyah.
Kedua, keharusan
untuk memahami dan melaksanakan ayat dan hadis sebagai komitmen keberislaman seseorang.
Dalam rangka memahami ayat dan hadis secara benar, tentu saja membutuhkan pemahaman tentang sejarah munculnya Hadis atau al Qur’an.
Ketiga bahwa al Qur’an sendiri banyak memuat tentang sejarah dan sekaligus
memuat perintah dan anjuran akan pentingnya memahami sejarah sebagai sarana
refleksi seorang muslim.
Signifikansi sejarah sebagai sarana untuk memahami Islam sudah diisyaratkan oleh generasi muslim terdahulu.
Umar bin Khattab, misalnya pernah berkata bahwa tali pengikat Islam akan putus
seutas demi seutas jika kaum muslimin tidak mengerti sejarah12.
Demikian juga Ibnu Khaldun, ia secara substansial memahami bahwa sejarah bukan
hanya sekedar tarikh, namun yang harus dipelajari adalah sebuah
Filsafat sejarah dan dengan memahami kritik informasi. Ibnu
Jarir al Thabary yang disebut sebagai bapak sejarah Islam menulis buku yang
sangat menumental bertajuk “Tarikh
ar Rusul wa al Muluk” yang
membahas tentang sejarah mulai sejarah munculnya alam, Nabi-nabi, raja-raja dan
sampai masa berakhirnya alam14. Tidak ketinggalan tokoh kontemporer Fazlur
Rahman adalah orang yang memelopori dan menyerukan untuk mendekati agama Islam
dengan pendekatan sejarah .
Secara konsepsional pendekatan sejarah dapat ditelusuri dari
beberapa istilah dan dapat disandarkan pada beberapa
konsep yang ada dalam Ushul Fiqh, konsep
itu adalah :
1. Asbab al nuzul dan asbab al wurud
Konsep ini dirumuskan oleh generasi muslim awal
dan dapat dijadikan sebagai genealogi pendekatan sejarah untuk memahami nash-nash
syar’iy. Hanya saja memang pada proses selanjutnya konsep ini mengalami distorsi fungsi dan makna tatkala asbab nuzul dan asbab
al wurud difahami sebagai
tampilan riwayah yang mendahului munculnya sebuah ayat atau hadis
tertentu, bukannya bahwa ia adalah kompleksitas realitas historis yang mengiringi
dan menghantarkan munculnya sebuah teks syar’iy. Untuk
memahami asbab al nuzul sesungguhnya dapat kita lakukan tidak hanya
melalui sebuah proses dari luar (riwayah)
namun juga dari internal ayat atau teks itu sendiri.
Dalam konteks ini al Zarkasy, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Syahrur, dalam
kitabnya al Burhan fi Ulum al
Qur’an pernah mengatakan bahwa
Imam Ali pernah menyebut asbab
nuzul dengan sebutan munasabat al nuzul ( hal-hal yang terkait dengan penurunan wahyu
ayat-ayat alqur’an) bukan dengan istilah asbab
nuzul (sebab-sebab turunnya
wahyu)
2. Nasikh dan Mansukh.
Naskh adalah pembatalan hukum baik yang menghapuskan dan melepaskan teks
yang menunjuk hukum dari batasan (tidak dimasukkan dalam kodifikasi alqur’an),
atau membiarkan teks tetap ada sebagai petunjuk adanya hukum yang dimansukh. Nasikh dan mansukh sesungguhnya merupakan indikasi adanya
dialektika antara wahyu dan realitas. Substansinya adalah bukan pada pembatalan
ayat atau hadis, namun merupakan sebuah proses pentasyri’an secara bertahap
berdasarkan proses perubahan sebagai gerak yang terus menerus.
3. Makky-Madany.
Makky adalah ayat
atau surat yang diturunkan sebelum hijrah dan Madany
adalah yang diturunkan setelahnya , baik
turun di masa penaklukan Makkah, atau haji wada’ atau dalam suatu
perjalanan. Makky dan madany merupakan dua fase penting yang memberikan
andil dalam pembentukan teks, baik
pada dataran isi maupun struktur teks. Jika makky-madany pada
asasnya menyingkap gejala-gejala umum dari interaksi nash dan realitas maka asbab al nuzul bermaksud menyingkap secara terinci interaksi
tersebut dan memberi informasi mengenai fase-fase pembentukan teks dalam
realitas dan kebudayaan
secara lebih cermat. Sesungguhnya pertimbangan pembedaan dua
entitas tersebut bukan hanya berdasar pada pertimbangan waktu, namun juga
berdasar pada sasaran pembicaraan (mukhatab)
dan fase sejarah.
Jika makky-madany
memahami nash-nash syari’ah pada segi masa
atau periode, dan asbab al nuzul berdasarkan kronologi sebab,maka nasikh-mansukh memahami nash berdasarkan sejarah hukum dan
pentasyri’an.
4. ‘Urf atau ’Adah.
Secara bahasa ada perbedaan makna antara ‘urf dan
‘adah,secara literal kata ‘adah berarti
kebiasaan , adat atau praktek, sementara kata ‘urf adalah “ sesuatu yang diketahui”. Beberapa ahli,
seperti Abu Syinnah dan Muhammad Mushtafa Syalaby, menggunakan definisi lughawi ini untuk membedakan kedua arti kata tersebut, yang pada intinya
mengatakan bahwa ‘urf menunjukkan kebiasaan oleh individual maupun
jama’ah sedangkan ‘adah menunjukkan kebiasaan sekelompok kecil orang
saja. Namun begitu beberapa fuqaha’
yang lain memahami kedua kata tersebut
sebagai dua kata yang tidak berlainan.
Sesungguhnya secara teoritis ‘urf atau ‘adah tidak diakui sebagai sumber jurisprudensi
Islam, namun dalam prakteknya ’adah
(Urf) memegang peran penting dalam proses kreasi hukum Islam dalam
berbagai aspek hukum di negerinegeri Islam.
Sehingga walaupun demikian para ahli hukum Islam pada akhirnya memahami
berbagai macam bentuk pranata adat dan memasukkan hukum adat dalam bangunan
hukum Islam.
Secara historis terminologi ‘urf
diperkenalkan oleh Imam Maliki, ia adalah salah seorang imam mazhab yang pertama kali menggunakan ‘urf sebagai
salah satu sumber hukum Islam. Pada waktu itu ia
menggunakan ‘amal ahl
al madinah sebagai
salah satu sumber penetapan hukum. Dalam proses selanjutnya Imam Syafi’i secara
praxis juga menggunakan konsep ini, walaupun secara teoritis tidak
mengakuinya. Perubahan ijtihad hukum antara waktu Syafi’I di Baghdad dan di
Mesir adalah bukti dari hal ini. Selajutnya Imam Hanafi secara substansial juga memahami akan pentingnya ‘urf sebagai
salah satu unsur penetapan hukum Islam.
5. Syar’u man qablana.
Secara bahasa berarti syari’at orang-orang sebelum kita. Dalam perspektif Ushul Fiqh istilah ini
dimaknai sebagai syari’at-syari’at yang diturunkan
oleh Allah kepada para Nabi dan Rasul sebelum datang syari’at Muhammad atau syari’at Islam. Dalam hal ini
ada tiga perspektif bagaimana memahami syari’at umat-umat terdahulu dihadapkan
pada syari’at Islam:
Pertama, bahwa
syari’at Muhammmad merupakan kelanjutan dari syari’at umat terdahulu. Kedua,bahwa
syari’at Muhammad merupakan penghapus (nasikh)
dari syari’at umat terdahulu. Ketiga, bahwa pada peroalan tertentu alqur’an tidak menetapkan syari’at
terdahulu sebagai sebagai syari’at Islam namun juga tidak menafikannya.
Apapun relasi antara syar’u
man qablana dengan
syari’at islam akhirnya para ulama sepakat bahwa ia tidak dianggap
sebagai syari’at islam selama berdiri sendiri
kecuali disandarkan pada Sunnah atau Kitab.
Ini mengindikasikan bahwa syar’u man qab lana menjadi sebuah pertimbangan yang sangat
fundamental dalam melakukan proses penetapan hukum dalam Ilmu Ushul Fiqh.
Kelima konsep Ushul Fiqh ini mengisyratkan bahwa “sejarah” menjadi
salah satu faktor yang sangat fundamental dalam
menetapkan hukum Islam. Dengan berbagai entitas, problematika dan dimensi yang
mengitari masing-masing konsep Ushul Fiqh yang dibangun oleh para Ushuliyyun
ini, secara makro memberi indikasi bahwa perhatian tentang “sejarah” cukup
besar dan menjadi tema yang sangat penting dalam konsepsi Uhsul Fiqh. Hanya
memang pada proses selanjutnya dimensi sejarah dalam Ilmu Ushul Fiqh tidak
nampak dan perlahan-lahan tidak ada, pada hal ia adalah bagian integral dari
Ilmu Ushul Fiqh itu sendiri.
Secara implementatif pendekatan historis (historical approach) digunakan oleh
beberapa ulama dan pemikir muslim untuk mengkaji Ilmu Ushul Fiqh, Para orientalis seperti S. Margaliouth, Joseph
Schacht, Goldzhier, N.J. Coulson, H.R. Gibb dan
Henry Lammen28 adalah diantara para orientalis yang
menggunakan metode ini untuk mendekati sumber-sumber hukum Islam.
Dengan metode ini mereka mencoba mengurai
dan menjelaskan proses terciptanya sumber-sumber Islam ini secara detail dan kritis.
Jika kita mencoba menarik akar historisnya, metode historis sudah
digunakan
oleh Ibnu Khaldun dalam mendekati persoalan
kefiqhian, Dalam memahami persoalan imamah yang
berujung pada hadis al
a’immatu min quraisy misalnya, sebagaimana dikutip oleh M.Abid al Jabiry,
Ibnu Khaldun memahami bahwa konteks ashabiyah
(fanatisme kesukuan) bangsa Quraisy harus
difahami tatkala memaknai Hadis ini.29
Sebelum Ibnu Khaldun, Ibnu Rusyd pernah
menyatakan bahwa jika Ilmu UshulFiqh merupakan Ilmu pengambilan dalil maka Allah mewajibkan kepada manusia untuk mengamati dan beristidlal. Dan jika Islam merupakan risalah yang terakhir setelah terjadi
perkembangan wahyu dan syari’ah, maka dengan demikian pengambilan hukum sudah seharusnya
dibangun berlandaskan sejarah. Sehingga menurut Ibnu Rusyd sejarah adalah
landasan dan penopang utama dari Ilmu Ushul Fiqh.
Dalam konteks pemikiran Islam modern pendekatan historis dalam memahami
Ilmu Usul Fiqh digunakan oleh Fazlur Rahman. Ia secara sistematis dan konseptual
sangat menekankan pentingnya pendekatan historis dalam Ushul Fiqh. Konsepnya
tentang evolusi sunnah dan adanya proses sejarah dalam relasi Sunnah- Ijtihad
dan Ijma’ menjadi frame
work pemikiran Rahman.
Pemikir yang paling mutakhir mengusung pentingnya pendekatan
historis dalam Ushul Fiqh adalah Khalil Abdul Karim,
salah seorang pemikir liberal Mesir. Ia dalam karya monumentalnya menyatakan
bahwa hukum Islam merupakan produk dari kontinyuitas sejarah zaman pra Islam.
Sehingga kunci utama untuk memahami hukum Islam adalah bagaimana memahami
sejarah dalam proses pembentukan hukum Islam. (*Muh. Rifa')