Pengertian dan Unsur Jarimah
Friday, 23 January 2015
SUDUT HUKUM | Menurut bahasa kata jarimah berasal dari kata "jarama"
kemudian menjadi bentuk masdar "jaramatan" yang artinya:
perbuatan dosa, perbuatan salah atau kejahatan. Pelakunya dinamakan dengan "jarim",
dan yang dikenai perbuatan itu adalah "mujaram 'alaihi".[1] Menurut
istilah para fuqaha', yang dinamakan jarimah adalah :
Adapun yang dimaksud dengan larangan adalah mengabaikan perbuatan
terlarang atau mengabaikan perbuatan yang diperintahkan syara' suatu
ketentuan yang berasal dari nash, had adalah ketentuan hukuman yang
sudah ditentukan oleh Allah, sedang ta'zir ialah hukuman atau pengajaran
yang besar kecilnya ditetapkan oleh penguasa.[3]
Pengertian jarimah juga sama dengan peristiwa pidana, atau
sama dengan
tindak pidana atau delik dalam hukum positif.[4] Hanya bedanya hukum positif
membedakan antara kejahatan dan pelanggaran mengingat berat ringannya hukuman,
sedangkan syari'at Islam tidak membedakannya, semuanya disebut jarimah atau
jinayat mengingat sifat pidananya.
Suatu perbuatan dianggap jarimah apabila dapat merugikan
kepada aturan masyarakat, kepercayaan-kepercayaannya, atau merugikan kehidupan
anggota masyarakat, baik benda, nama baik atau perasaanperasaannya dengan
pertimbangan-pertimbangan lain yang harus dihormati dan dipelihara.[5]
Suatu hukuman dibuat agar tidak terjadi jarimah atau
pelanggaran dalam masyarakat, sebab dengan larangan-larangan saja tidak cukup. Meskipun
hukuman itu juga bukan sebuah kebaikan, bahkan dapat dikatakan
sebagai perusakan atau pesakitan bagi si pelaku. Namun hukuman tersebut sangat
diperlukan sebab bisa membawa ketentraman dalam masyarakat, karena dasar
pelarangan suatu perbuatan itu adalah pemeliharaan kepentingan masyarakat itu
sendiri.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa yang dinamakan jarimah
adalah melaksanakan perbuatan-perbuatan terlarang dan meninggalkan
perbuatan-perbuatan wajib yang diancam syara' dengan hukuman
had atau hukuman ta'zir, kalau perintah atau larangan itu tidak diancam
dengan hukuman bukan dinamakan dengan jarimah. Dari pengertian jarimah
tersebut terdapat ketentuan-ketentuan syara' berupa larangan atau perintah
yang berasal dari ketentuan nash baik dari Al- Qur'an atau Hadits,
kemudian ketentuan syara' tersebut ditujukan kepada orang-orang yang mampu
untuk memahaminya yaitu mukallaf.[6]
Dari uraian-uraian tersebut dapat diketahui unsur-unsur jarimah secara
umum yang harus dipenuhi dalam menetapkan suatu perbuatan jarimah, yaitu:
- Rukun Syar'i (unsur formil), yaitu nash yang melarang perbuatan dan mengancam perbuatan terhadapnya.
- Rukun Maddi (unsur materiil), yaitu adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik perbuatan-perbuatan nyata maupun sikap tidak berbuat.
- Rukun Adabi (unsur moril), yaitu orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap jarimah yang diperbuatnya.[7]
Ketiga unsur tersebut harus terpenuhi ketika menentukan suatu perbuatan
untuk digolongkan kepada jarimah. Di samping unsur-unsur umum tersebut,
dalam setiap perbuatan jarimah juga terdapat unsur-unsur yang dipenuhi
yang kemudian dinamakan dengan unsur khusus jarimah, misalnya suatu
perbuatan dikatakan pencurian jika barang tersebut itu minimal bernilai 1/4
(seperempat) dinar, dilakukan diam-diam dan benda tersebut disimpan dalam
tempat yang pantas. Jika tidak memenuhi ketentuan
tersebut, seperti barang tak berada dalam tempat yang tidak pantas.
Nilainya kurang dari 1/4 (seperempat) dinar atau dilakukan secara terang-terangan.
Meskipun memenuhi unsur-unsur umum bukanlah dinamakan pencurian yang dikenakan
hukuman potong tangan seperti dalam ketentuan nash Al-Qur'an. Pelakunya
hanya terkena hukuman ta'zir yang ditetapkan
oleh penguasa.
_____________
[1] Marsum, Fiqh
Jinayat (Hukum Pidana Islam),
Yogyakarta: BAG. Penerbitan FH UII, 991, hlm. 2
[2] A. Jazuli, Fiqh Jinayat (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam
Islam), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000, hlm. 11
]3]Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri’al Jina’iy al-Islami,
Beirut: Muasasah al -Risalah, 1992, hlm. 65
[4] Ahmad Hanafi, Asas-asas
Hukum Pidana Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1993, hlm. 1
[5]Ibid, hlm. 2
[6] Abdul Mujib, et. al, Kamus Istilah Fiqih, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994, hlm. 220
[7] Ahmad hanafi, op.cit, hlm. 6