Sekilas Tentang Qaul Shahabi
Saturday, 17 January 2015
A. Pengertian
1. Makna Qaul
Secara bahasa, kata qaul (قول) adalah mashdar dari qaala-yaquulu qaulan (قال - يقول - قولا)
yang berarti al-kalam yaitu ucapan dan perkataan. Dan bentuk jamaknya adalah
aqwal (أقوال).
Dan qaul kadang juga diartikan dengan:
كُل لَفْظٍ نَطَقَ بِهِ
اللِّسَانُ تَامًّا أَوْ نَاقِصًا
Semua lafadz yang diucapkan oleh manusia, baik dalam bentuk sempurna atau tidak.
Namun secara istilah, yang dimaksud dengan qaul tidak lain adalah pandangan
atau pendapat atas suatu hukum fiqih. Misalnya kita mengatakan pendapat mazhab
Asy-Syafi’iyah dengan ungkapan qaul syafi’iyah.
Adapun sebab kenapa pendapat atau pandangan disebut dengan qaul, karena
pendapat seseorang itu tidak bisa diketahui kecuali setelah dia mengatakannya. Istilah yang setara dengan qaul adalah ra’yu (رأي), mazhab (مذهب).
2. Makna Shahabi
Sedangkan kata sahahabi (صحابي) dalam bahasa Arab sebagaimana disebutkan
dalam Al-Mishbah Al-Munir, bermakna:
الرُّؤْيَةُ وَالْمُجَالَسَةُ
وَالْمُعَاشَرَةُ
Penglihatan, duduk bersama dan bergaul
Dan kata shahabat juga bisa diartikan sebagai shahabat, kawan atau teman.
Namun secara istilah, kata shahabi dinisbatkan kepada para shahabat Nabi
Muhammad SAW.
Dan para ulama mendefinisikan siapa saja yang dimaksud dengan shahabat Nabi
SAW sebagai:
مَنْ لَقِيَ النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُؤْمِنًا بِهِ وَمَاتَ عَلَى الإْسْلاَمِ
Orang yang bertemu dengan Nabi SAW dalam keadaan mukmin dan meninggalkan dalam keadaan mukmin.
Tidak semua orang yang pernah bertemu dengan Nabi SAW berhak disebut
shahabat. Hanya mereka yang memenuhi ketentuan saja yang disebut shahabat,
yaitu :
a. Bertemu Langsung
Pertemuan dengan Nabi SAW yang dimaksud adalah pertemuan langsung, wajah
dengan wajah, dan bukan dalam wujud cahaya (nur), ruh, qarin, bayangan apalagi
mimpi.
Maka mereka yang mengaku pernah bermimpi bertemu dengan nur, ruh, atau
qarin dari Rasulullah SAW, atau bertemu dengan beliau dalam tidur (bermimpi),
tidak boleh disebut sebagai shahabat Nabi.
b. Dalam Keadaan Muslim
Abu Jahal, Abu Lahab, Abu Thalib , ‘Uthbah dan banyak lagi yang lainnya,
adalah orang-orang yang berkali-kali bertemu langsung dengan sosok Nabi
Muhammad SAW.
Mereka bukan hanya bercakap-cakap secara langsung, berdiskusi, berdebat
atau bersitatap, bahkan juga terlibat dalam berbagai perjanjian dan peperangan
bersama dengan Rasulullah SAW.
Namun mereka tidak termasuk shahabat Nabi, karena mereka bukan muslim dan
tidak bersyahadat, bahkan sampai mereka mati tidak pernah memeluk agama Islam.
Ada sebagian orang kafir yang pernah bertemu dengan Rasulullah SAW, lalu
kemudian mereka memeluk Islam sepeninggal Rasulullah SAW. Mereka ini juga tidak
terhitung sebagai shahabat Nabi SAW, karena detik-detik ketika mereka bertemu
langsung dengan beliau, agama mereka bukan Islam.
c. Mati Dalam Keadaan Muslim
Ada sebagian orang yang pernah bertemu dengan Nabi SAW dalam keadaan
muslim, namun sayangnya ketika meninggal dunia, mati dalam keadaan kafir dan
murtad.
Mereka ini juga bukan termasuk para shahabat, karena mati bukan dalam
keadaan muslim.
3. Makna Qaul Shahabi
Dari pengertian dua kata di atas, jadi yang dimaksud dengan qaul shahabi
adalah :
مَا نُقِل عَمَّنْ صَحِبَ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ قَوْلٍ لَمْ يَرْفَعْهُ
إِلَيْهِ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ حُكْمُ الرَّفْعِ
Pendapat yang disampaikan shahabat tanpa menyandarkannya kepada Rasulullah SAW, dan tidak memiliki hukum marfu’
Yang perlu diperhatikan dari definisi para ulama di atas, ada tiga hal,
yaitu :
- Hasil Ijtihad Murni Shahabat, Qaul shahabi adalah pendapat atau ijtihad sahabat Nabi SAW, baik berupa ketetapan ataupun fatwa mereka tentang peristiwa atau hukum yang tidak mereka jumpai status hukumnya dalam sunnah nabi.
- Tidak Disandarkan Kepada Nabi SAW, Pendapat tersebut tidak mereka sandarkan langsung kepada nabi. Karena memang itu murni hasil ijtihad mereka sendiri.
- Tidak Memiliki Hukum Marfu’, Maksud dari ungkapan tidak memiliki hukum yang marfu’ adalah pendapat itu bukan representasi dari pendapat Nabi SAW, baik yang bersifat perkataan atau pun perbuatan. Dikatakan suatu hukum itu marfu’ misalnya ketika shahabat Nabi SAW berpendapat atas sesuatu hal, lalu dia berkata bahwa seperti itulah dahulu Nabi SAW melakukannya.
Qaulus shahabi termasuk sumber-sumber hukum Islam, tetapi derajatnya tidak
mencapai derajat ittifaq menurut sebahagian ulama. Maksudnya, tidak semua ulama
sepakat menggunakannya dalam mengistimbathkan hukum. Selanjutnya qaul shahabi
secara logika nalar, seharusnya apa yang mereka katakan itu bersumber dari
Rasulullah SAW juga.
Namun pendapat para shahabat itu terutama muncul manakala tidak ada nash
yang sharih dari Rasulullah SAW tentang suatu masalah. Di situlah kemudian para
shahabat mengeluarkan pendapatnya.
Selain itu, qaulush shahabi biasanya berbentuk kesimpulan hukum yang
lafadznya tidak langsung dari ucapan nabi SAW, melainkan dari mulut para
shahabat. Seperti seorang shahabat berkata, Rasulullah SAW memerintah kita
untuk begini dan begini. Atau perkataan seorang shahabat, Rasulullah SAW
melarang kita untuk begitu dan begitu.
B. Pembagian Pendapat Shahabat
Syeikh Abu Zahrah mengatakan bahwa pada dasarnya pendapat atau fatwa dari
para shahabat bisa dibagi menjadi beberapa macam, antara lain :
1. Berita
Shahabat Nabi menyampaikan berita yang sumbernya didengarnya langsung dari
Rasulullah SAW. Namun dia tidak mengatakan bahwa berita itu sebagai sunnah nabi
SAW.
2. Riwayat atas Berita
Shahabat menyampaikan suatu berita yang didengarnya dari orang yang pernah
mendengarnya dari nabi SAW. Namun orang tersebut tidak menjelaskan yang
didengarnya itu berasal dari Nabi SAW.
3. Pemahaman
Shahabat Nabi SAW menyampaikan kesimpulan hukum dari apa yang dipahaminya
atas ayat-ayat tertentu di dalam Al-Quran. Namun boleh jadi ada shahabat Nabi
yang lainnya tidak memahaminya sebagaimana yang dia pahami.
C. Kehujjahan Qaul Shahabi
Tentang kehujjahan qaul shahabi, memang tidak disepakati secara bulat oleh
para ulama. Karena itulah qaul shahabi tidak termasuk jenis dalil syariah yang
muttafaq.
Namun bagaimana komposisi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang
kehujjahan qaul shahahi, setidaknya ada enam pendapat yang berbeda tentang
kehujjahan qaul shahabi. Berikut akn kita bedah satu persatu.
1. Pendapat Pertama
Pendapat pertama mengatakan bahwa qaul shahabi adalah hujjah yang bisa
dijadikan dalil syar’i. Pendapat ini terutama dikemukakan oleh mazhab
Al-Malikiyah dan qaul qadimnya mazhab Asy-Syafi’iyah.
Dari kalangan mazhab Al-Hanafiyah, yang terkenal berpendapat seperti ini
adalah Al-Imam As-Sarakhsi. Sedangkan dari mazhab Al-Hanabilah adalah Ibnul
Qayyim al-Jauziyah.
Dasar yang digunakan oleh pendapat ini antara lain adalah ayat-ayat
Al-Quran dan hadits berikut ini :
a. Para Shahabat Orang-orang Yang Mendapat Ridha Allah
Al-Quran menegaskan bahwa para shahabat ridhwanullahi alaihim adalah
orang-orang yang mendapatkan ridha dari Allah SWT.
وَالسَّابِقُونَ
الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم
بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ
تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ
الْعَظِيمُ
Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. (QS. At-Taubah : 100)
لَقَدْ رَضِيَ اللَّهُ
عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي
قُلُوبِهِمْ فَأَنزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا
Sesungguhnya Allah telah rida terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, maka Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu menurunkan ketenangan atas mereka dengan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (QS. Al-Fath : 18)
b. Sebagian Dari Shahabat Telah Dipastikan Masuk Surga
Jaminan pasti masuk surga diantaranya diberikan kepada 10 orang shahabat,
sebagaimana tercantum dalam hadits berikut ini:
عَشْرَةٌ فيِ الجَنَّة :
أَبُو بَكْر فيِ الجَنَّةِ وَعُمَر فيِ الجَنَّةِ وَعُثْمَان فيِ الجَنَّةِ
وَعَلِيٌّ فيِ الجَنَّةِ وَطَلْحَة فيِ الجَنَّةِ َوالزُّبَيْر فيِ الجَنَّةِ
وَعَبْدُ الرَّحْمَن بنِ عَوْفٍ فيِ الجَنَّةِ وَسَعِيدُ بْنُ مَالِكٍ فيِ
الجَنَّةِ وَأَبُو عُبَيْدَة بْنُ الجَرَّاحِ فيِ الجَنَّةِ - وَسَكَتَ عَنِ
العَاشِـرِ ، قَالُوا : وَمَنْ هُوَ العَاشِر ؟ فَقَالَ : " سَعِيدُ بْنُ
زَيْدٍ " – يعني نفسه
Dari Said bin Zaid bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Ada sepuluh orang di dalam surga : Abu Bakar di dalam surga, Umar di dalam surga, Utsman di dalam surga, Ali di dalam surga, Thalhah di dalam surga, Az-Zubair di dalam surga, Abdurrahman bin Auf di dalam surga, Said bin Malik di dalam surga, Abu Ubaidah Ibnul Jarrah di dalam surga, kemudian Said terdiam. Orang-orang bertanya,”Siapa yang kesepuluh?”. Said menjawab,”Said bin Zaid”- yaitu dirinya sendiri. (HR. Ahmad dan Abu Daud)
Selain sepuluh orang tersebut, ada juga pemberitahuan Nabi SAW kepada
keluarga Yasir, yaitu Yasir, Sumayya dan Ammar bin Yasir.
Dan jaminan ini juga menjadi jaminan pula bahwa qaul atau pendapat mereka
bisa dijadikan hujjah.
c. Shahabat Adalah Generasi Terbaik
Rasulullah SAW telah menegaskan dalam hadits beliau bahwa generasi terbaik
di dunia ini adalah generasi dimana belau hidup bersama mereka. Generasi itu
tidak adalah generasi para shahabat, sebagaimana sabda beliau SAW.
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنيِ ثُمَّ الَّذِينَ
يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ
Manusia paling baik adanya di masaku, kemudian masa sesudahnya, kemudian masa sesudahnya. (HR. Bukhari dan Muslim)
Dengan demikian, qaul shahabi sangat layak menurut pendapat ini untuk
dijadikan hujjah dalam masalah dalil syar’i.
d. Perintah Nabi Untuk Berpegang Teguh Kepada Shahabat
Rasulullah SAW dalam salah satu hadits telah memerintahkan seluruh umatnya
untuk berpegang teguh kepada sunnah beliau dan juga sunnah para shahabat
beliau.
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ
المَهْدِيِّينَ الرَاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا
بِالنَّوَاجِذِ
Wajiblah atas kalian untuk berpegang pada sunnahku dan sunnah para penggantiku yang lurus. Pegang erat sunnah itu dan gigitlah dengan geraham. (HR. Ahmad)
2. Pendapat Kedua
Pendapat kedua adalah lawan atau kebalikan dari pendapat pertama, yaitu
bahwa qaul shahabi bukan hujjah yang bisa digunaka sebagai dasar pengambilan
dalil syariah.
Di antara mereka yang disebut-sebut berpendapat seperti ini adalah mahzab
Asy-Syafi’i dalam qaul qadimnya. Di antara ulama mazhab ini yang berpendapat
bahwa qaul shahabi bukan hujjah adalah Al-Ghazali, Al-Amidi. Selain itu
pendapat ini juga merupakan pendapat dari Al-Imam Ahmad yang mewakili mazhab
Al-Hanabilah menurut riwayat kedua.
Dari kalangan mazhab Al-Hanafiyah, yang ikut dalam pendapat ini adalah
Al-Karkhi dan Ad-Dabbusi. Mazhab Adz-Dzahiri dan Mu’tazilah juga termasuk yang
berpendapat bahwa qaul shahabi bukan hujjah.
a. Perintah Untuk Merujuk Kepada Quran dan Sunnah
Al-Quran menegaskan kalau ada hal-hal yang diperselisihkan di antara umat
Islam, maka diperintahkan untuk merujuk kepada Allah dan Rasul-Nya, yaitu
Al-Quran dan As-Sunnah. Dalam hal ini tidak ada perintah untuk merujuk kepada
para shahabat.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ
اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ
فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ
بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيل
Hai orang-orang yang beriman, ta'atilah Allah dan ta'atilah Rasul , dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul , jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama dan lebih baik akibatnya. (QS. An-Nisa : 59)
b. Kita Diperintah Untuk Berijtihad
Dalam hal terentu ketika tidak ada rujukan dari Al-Quran dan As-Sunnah,
kita diperintahkan untuk berijtihad, dan bukan diperintah untuk bertaqlid
kepada para shahabat. Oleh karena itu Allah SWT berfirman :
فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ
Maka ambillah pelajaran wahai orang-orang punya pandangan (QS. Al-Hasyr : 2)
Para ulama pendukung pendapat ini menafsirkan ayat di atas sebagai perintah
untuk berijtihad.
c. Para Shahabat Juga Berijtihad
Qaul shahabi bukan hujjah karena apa yang menjadi fatwa dan pendapat mereka
tidak lain semata-mata hanya hasil ijtihad para shahabat itu sendiri. Sehingga
tidak bisa dijadikan sebagai sumber hukum.
Sebab apa yang dihasilkan hanya oleh sebuah ijtihad, maka kedudukannya
bukan sumber hukum. Sebab yang namanya ijtihad itu bisa benar dan bisa salah.
Padahal sumber hukum itu tidak boleh salah.
Dalam kenyataannya fatwa para shahabat sendiri seringkali saling berbeda
antara satu dengan yang lainnya. Maka sesuatu yang berbeda-beda tidak layak
untuk dijadikan hujjah dalam proses pengambilan hukum.
3. Pendapat Ketiga
Pendapat ketiga merupakan pendapat campuran antara pendapat pertama dan
kedua. Pendapat ketiga ini mengatakan bahwa qaul shahabi merupakan hujjah,
tetapi terbatas pada empat orang shahabat saja, yaitu Abu Bakar, Umar, Utsman
dan Ali ridhwanullahialaihim. Selain mereka maka qaul shahabi bukan hujjah.
4. Pendapat Keempat
Pendapat keempat hampir mirip dengan pendapat ketiga. Bedanya mereka
membatasi bahwa yang merupakan hujjah hanya sebatas qaul dari Abu Bakar dan
Umar saja. Selebihnya bukan hujjah.
5. Pendapat Kelima
Pendapat kelima menerima bahwa qaul shahabi merupakan hujjah, selama fatwa
itu sejalan dengan qiyas.
6. Pendapat Keenam
Pendapat keenam adalah kebalikan dari pendapat kelima. Pendapat keenam
menerima bahwa qaul shahabi merupakan hujjah, selama fatwa itu justru tidak
sejalan dengan qiyas.
D. Beberapa Contoh Fatwa Shahabat
1. Fatwa Aisyah
a. Laki-laki Dewasa Menyusu Pada Wanita Agar jadi Mahram
Aisyah berpendapat bahwa meski pun seseorang sudah bukan lagi bayi, tetapi
masih bisa menjadi mahram dengan seorang wanita lewat penyusuan.
Pendapat ini berbeda dengan yang telah disepakati oleh jumhur shahabat lain
dan juga jumhur ulama kemudian, bahwa batas maksimal penyusuan yang berakibat
pada kemahraman adalah usai dua tahun. Bila seorang bayi telah lewat usianya
dari dua tahun, maka bila dia menyusu kepada seorang wanita tidak akan
berakibat menjadi mahram pada wanita itu.
b. Batal Maksimal Kehamilan
Aisyah binti Abu Bakar radhiyallahuanha, istri Rasulullah SAW, pernah
berfatwa tentang batas maksimal kehamilan seorang wanita. Menurut beliau, batas
maksimal masa kehamilan seorang wanita adalah dua tahun. Hal itu bisa kita
ketahui melalui ungkapan beliau :
Anak tidak berada didalam perut ibuya lebih dari dua tahun.
2. Fatwa Anas bin Malik
Anas bin malik radhiyallahuanhu pernah berfatwa tentang batas minimal
wanita mendapat haidh. Dalam fatwa itu, beliau mengatakan bahwa minimal
mendapat darah haid selama tiga hari.
3. Fatwa Umar bin Al-Khattab
Amirul Mukminin Umar bin Al-Khaththab radhiyallahuanhu punya fatwa tentang
laki-laki yang menikahi wanita dalam masa ‘idah.
Dalam fatwa itu, mereka harus dipisahkan dan diharamkan baginya untuk
menikahi wanita tersebut untuk selamanya.
4. Ibnu Umar dan Ibnu Abbas
Wanita hamil dan menyusui yang meninggalkan puasa Ramadhan cukup membayar
fidyah tanpa harus berpuasa qadha’.
Pendapat mereka ini berbeda dengan jumhur ulama.