Syariat Islam Di Aceh Dalam Sistem Hukum Nasional
Tuesday, 13 January 2015
SUDUT HUKUM | Indonesia adalah negara hukum, yaitu mendasarkan semua
tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara pada suatu hukum. Dalam suatu tatanan
hukum tersebut terdapat suatu sistem hukum. Sistem hukum yang dianut di
Indonesia merupakan Mix Law System yang mana di samping berlakunya hukum perundang-undangan
juga berlaku hukum Islam.[1] Eksistensi hukum Islam termanifestasi di dalam Konstitusi
Negara Indonesia yang lazim dikenal dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun
1945 (UUD 1945). UUD ini merupakan hukum dasar yang mengatur kehidupan
berbangsa dan bernegara guna terwujudnya suatu pemerintahan yang adil dan
rakyat yang sejahtera. Dalam kaitan kehidupan berbangsa dan bernegara,
konstitusi mengatur kehidupan beragama, yaitu sebagaimana tercantum pada alinea
keempat pada Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi, “Ketuhanan Yang Maha Esa”.[2]
Dasar legislasi hukum Islam dalam UUD 1945 adalah pada pasal
29 ayat(1) dan Perubahannya. Hukum Islam merupakan sumber pembentukan hukum
nasional di Indonesia. Dalam Negara Republik Indonesia tidak dibenarkan
terjadinya pemberlakuan peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan
hukum Islam bagi umat Islam, demikian juga bagi umat-umat agama lain, peraturan
perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan hukum agama-agama yang berlaku
di Indonesia bagi umat masing-masing agama bersangkutan. Dalam Ketetapan MPR RI
No. IV/MPR-RI/1999 tentang GBHN, Bab IV, Arah Kebijakan, A. Hukum, butir 2,
ditetapkan bahwa hukum Islam, hukum Adat, hukum Barat adalah sumber pembentukan
hukum nasional. “Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu
denganmengakui dan menghormati hukum agama dan hukum Adat serta memperbaharui
perundang-undangan warisan kolonial dan nasional yang diskriminatif, termasuk
ketidakadilan gender dan ketidaksesuaiannya dengan tuntutan reformasi melalui
legislasi”.[3]
Dasar hukum dan pengakuan Pemerintah untuk pelaksanaan Syari’at
Islam di Aceh, didasarkan atas UU No. 44 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan
Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh dan UU No. 18 tahun 2001 tentang
Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe
Aceh Darussalam. Pelaksanaan Syari’at Islam di Aceh telah diatur
dalamUndang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi
Daerah Istimewa Aceh sebagai Nanggroe Aceh Darussalam, pasal 31 disebutkan:
- Ketentuan pelaksanaan undang-undang ini yang menyangkut kewenangan Pemerintah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah.
Ketentuan Pelaksanaan undang-unang ini yang
menyangkut kewenangan Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ditetapkan
dengan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Peraturan pelaksanaan untuk penyelenggaraan otonomi khusus yang
berkaitan dengan kewenangan pemerintah pusat akan diatur dengan Peraturan
Pemerintah. Kemudian Undang-undang menetapkan Qanun Provinsi sebagai peraturan
pelaksanaan untuk penyelenggaraan otonomi khusus yang menjadi wewenang
Pemerintah provinsi. Untuk membuat Qanun, Pemerintah Provinsi tidak perlu
menunggu peraturan pemerintah atau peraturan lainnya dari Pemerintah Pusat.[4]
Seluruh peraturan pidana, baik yang dimuat
dalam KUHP maupun di luar KUHP berlaku di NAD. Namun, untuk tindak pidana/perbuatan
pidana tertentu
yang menyangkut syari’at Islam dimuat dalam Qanun. Hukum materiil yang akan
digunakan dalam menyelesaikan perkara dalam bidang jinayah adalah yang
bersumber dari atau sesuai dengan syari’at Islam yang akan diatur dengan Qanun.
Dalam Qanun ketentuan pidana terhadap perbuatan pidana disebut dengan ketentuan
uqubah/uqubat.[5]
UU No.
11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh menegaskan bahwa Syari’at Islam yang
dilaksanakan di Aceh meliputi aqidah, syari’ah dan akhlak (Pasal 125 ayat (1)).
Syariat Islam tersebut meliputi ibadah, ahwal
al-syakhshiyah(hukum keluarga), muamalah (hukum
perdata), jinayah (hukum pidana), qadha’ (peradilan), tarbiyah (pendidikan), dakwah, syiar, dan pembelaan Islam. Ketentuan mengenai
pelaksanaan Syariat Islam diatur dengan Qanun. Adapun yang dimaksud dengan
Qanun, dalam Pasal 1 angka 8 UU No. 18 Tahun 2001,dikatakan bahwa Qanun
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan
undang-undang di wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka penyelenggaraan
otonomi khusus. Jadi, Qanun adalah peraturan daerah provinsi yang mengatur penyelenggaraan
pemerintahan dan kehidupan masyarakat Aceh. Qanun dapat mengenyampingkan
peraturan perundang-undangan yang lain dengan mengikuti asas lex specialis derogaatlege generalis dan MA berwenang melakukan uji materil terhadap Qanun.[6]
[1]Realitas hukum kita di Indonesia, memberlakukan beberapa
hukum di Indonesia, yaitu: Hukum Perundang-undangan (Ciri
Eropa Continental), Hukum Adat (Customary
Law), Hukum Islam (Moslem Law),
dan Yurisprudensi Hakim. Sehingga para pakar hukum modern memasukkan Indonesia
ke dalam Mix Law System atau Sistem Hukum Campuran. Achmad Ali, Menguak TeoriHukum(Legal Theory) dan Teori Peradilan
(Judicialprudence) Termasuk Interpretasi Undangundang(Legisprudence), (Jakarta: Kencana: 2009), h. 204.
[2]Rasyid Rizani, Kertas Dibaca Pada Kedudukan Qanun
Jinayat Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam Dalam Sistem Hukum Nasional , h. 1.
[3]Indonesia, Tap MPR RI, Hasil Sidang Umum MPR RI Tahun
1999 beserta PerubahanPertama atas UUD Negara RI Tahun 1945, (Jakarta: BP
Panca Usaha. 1999) h. 64.
[4]Marzuki Abubakar, “Syariat Islam Di Aceh: Sebuah
Model Kerukunan Dan Kebebasan Beragama,
Jurnal Hukum Islam Dan Pranata Sosial”,h
156.
[5]Puteri Hikmawati, “Relevansi
Pelaksanaan Syari’at Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Dengan Hukum
Pidana Nasional”, Kajian,
Vol 14, No. 2, Juni 2008 , h, 71.
[6]Puteri Hikmawati, “Relevansi
Pelaksanaan Syari’at Islam Di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Dengan Hukum
Pidana Nasional” , h, 72.