Adab terhadap allah swt. Dan rasul-nya (isi surah al-hujurat)
Sunday 1 February 2015
SUDUT HUKUM | Allah swt. telah
mengajarkan kepada orang mukmin agar menggunakan kesopanan dalam berbuat dan
berkata, ketika berhadapan dengan Allah dan Rasul-Nya. Sebagai orang yang
beriman, dilarang memutuskan suatu perkara sebelum mendapatkan keputusan dari
Allah dan Rasul-Nya. Firman Allah swt.
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului ketetapan Allah dan Rasul-Nya.” (al-Hujurat: 1)
Dalam menetapkan
suatu hukum keagamaan atau persoalan duniawi yang menyangkut diri sendiri
maupun masyarakat, tidak boleh mendahului ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Pada zaman
Nabi, para sahabat dilarang berucap tentang sesuatu sebelum ada petunjuk dari
Allah dan Rasul-Nya. Larangan ini meliputi:
a. Berbicara
sebelum Rasul dalam suatu majlis yang ketika itu sedang mempersoalkan tentang
sesuatu,
b. Tidak berbuat
dan berkata sebelum diperintahkan,
c. Tidak
mendahulukan perkataan dan perbuatan diri sendiri dari perkataan dan perbuatan
Nabi saw. Dan tidak diperkenankan pula berjalan di depan Nabi, kecuali sudah
mendapatkan izin.
Orang yang
beriman tidak seharusnya mendahulukan pikiran dan pendapatnya sendiri dalam hal
yang berkenaan dengan agama, sebelum terlebih dahulu menilik, memandang dan
memperhatikan firman Allah swt dan sabda Rasulullah saw.
Artinya: "Bahwasanya Rasulullah saw. akan mengutus sahabat Mu’adz bin Jabal ke negeri Yaman. Ketika akan berangkat, Rasulullah bertanya: “Bagaimana engkau menetapkan hukum?” Mu’adz menjawab: “Dengan Kitab Allah.” Lalu Nabi bertanya: “Bila engkau tidak menemukan (dalam Al-Qur’an)?”, Dia menjawab, “Dengan sunah Rasulullah.” Nabi saw. bertanya lagi: “Bila engkau tidak menemukan?”, Mu’adz menjawab, “Aku sungguh-sungguh akan berijtihad (menggunakan nalar dan berpedoman pada prinsip-prinsip yang terdapat dalam Al-Qur’an dan as-Sunah) dan tidak akan gegabah.” Mendengar jawaban itu, Rasulullah saw. memukul-mukul dada Mu’adz (pertanda gembira) dan bersabda: “Segala puji bagi Allah yang telah memberi taufiq kepada utusan Rasulullah sebagaimana diridhoi oleh Rasulullah saw.”(HR Abu Daud).
Maksud yang
terkandung dalam hadis tersebut adalah, bahwa Mu’adz mendahulukan Al-Qur’an,
kemudian sunah Rasulullah dan kalau tidak ketemu baru memakai ijtihadnya
sendiri. Ini berarti, tidak ada penutupan terhadap penetapan hukum di luar
Al-Qur’an dan as-Sunah, selama masih sesuai dengan prinsip-prinsip yang
ditemukan dalam Al-Qur’an dan hadis yang shahih.
Jelaslah, bahwa
Allah dan Rasul-Nya telah memerintahkan orang-orang mukmin agar tunduk kepada
perintah Allah swt. dan menjauhi larangannya. Jangan sampai mereka tergesa-gesa
mengucapkan perkataan dan melakukan perbuatan sebelum Rasul sendiri mengucapkan
dan melakukan. Jadi, setiap pendapat kita hendaklah disesuaikan terlebih dahulu
dengan ukuran Kitab dan Sunah.31 Sebagaimana yang telah dilakukan oleh imam-imam
besar seperti Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin
Hambal. Mereka tidak pernah memutuskan sesuatu berdasarkan emosi sesaat, tapi
senantiasa mempergunakan ijtihad dengan selalu berlandaskan pada Al-Qur’an dan
as-Sunah.
Mengambil
keputusan melalui pertimbangan dari Al-Qur’an dan as-Sunah terlebih dahulu
sebelum menggunakan pemikiran sendiri merupakan salah satu bentuk tata krama,
baik kepada Allah maupun Rasul-Nya.
Allah juga
mengajarkan pada manusia agar bersikap sopan ketika berbicara dengan
Rasulullah. Berbicara dengan suara keras yang melebihi suara Nabi, merupakan
bentuk ketidaksopanan dan tidak adanya tata krama. Allah berfirman,
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu meninggikan suaramu lebih dari suara Nabi, dan janganlah kamu berkata kepadanya dengan suara keras sebagaimana kerasnya (suara) sebagian kamu terhadap sebagian yang lain, supaya tidak hapus (pahala) amalanmu, sedangkan kamu tidak menyadari.” (al-Hujurat: 2)
Larangan
mengeraskan suara di hadapan Nabi saw. tidak berarti bahwa orang yang secara
normalnya memang bersuara keras dan lebih keras dari suara Nabi, menjadi
terlarang bercakap-cakap dengan beliau. Pemahaman yang keliru seperti ini
pernah terjadi pada Tsabit bin Qais bin Syamas yang memiliki suara amat
lantang. Dia mengira bahwa yang dimaksud ayat tersebut adalah dirinya, sehingga
ia selalu di rumah dan menganggap bahwa amalnya telah terhapus, dan ia menjadi
penghuni neraka.
Apapun makna
yang diberikan, mengeraskan suara di hadapan Nabi saw., baik saat beliau masih
hidup maupun setelah wafat adalah tidak wajar dan menunjukkan sikap yang tidak
memiliki sopan santun. Mengeraskan suara di dekat makam beliau sama dilarangnya
dengan mengeraskan suara ketika beliau masih hidup.
Ada sebagian
orang yang sangat bernafsu untuk bicara, baik pada zaman Rasul maupun pada
zaman sekarang. Orang sering kali berebut bicara tentang hal-hal tidak penting
dan sia-sia. Dan apabila kita bisa menahan diri, maka kita akan termasuk
orang-orang yang disebutkan dalam ayat 3 surat al-Hujurat,
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang merendahkan suaranya di sisi Rasulullah mereka itulah orang-orang yang telah diuji hati mereka oleh Allah swt. untuk bertakwa. Bagi mereka ampunan dan pahala yang besar.” (al-Hunjurat: 3)
Dan menurut
ath-Thabathaba’i, perbuatan mengeraskan suara di hadapan Nabi adalah perbuatan
yang sangat buruk.
Salah satu
bentuk tata krama lain terhadap Rasul, adalah tidak berteriak-teriak dalam
memanggil beliau. Apalagi jika memanggilnya itu dari luar kediaman beliau dan
di saat beliau sedang istirahat. Perbuatan tersebut benar-benar tidak
diperkenankan, sebagaimana firman Allah,
Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang memanggil kamu dari luar kamar, kebanyakan mereka tidak mengerti.” (al-Hujurat: 4)
Memanggil Nabi
dari luar kamar kediaman beliau, merupakan perbuatan yang tidak sopan, apalagi
jika itu dilakukan pada saat istirahat beliau, sebagaimana dijelaskan dalam QS
an-Nur: 58,
Artinya: “Yaitu sebelum sholat shubuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar) mu di tengah hari dan sesudah sholat isya.” (an-Nur: 58)
Maka di
waktu-waktu tersebut, hendaknya tidak memanggil-manggil Nabi dan alangkah lebih
baik jika menunggu dengan sabar saat Nabi keluar dari bilik kediamannya. Bilik
ini adalah tempat halwat Nabi saw. dan tempat istirahat beliau bersama
istri-istrinya.
Memanggil Nabi
harus dengan penghormatan, diantaranya dengan menggunakan panggilan yang
menyertakan “Ya ayyuhan Nabi” atau “Ya ayyuhar Rasul”.
Hal ini sejalan
dengan firman-Nya,
Artinya: “Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebagian kamu kepada sebagian (yang lain).” (an-Nur: 63)