Unsur-unsur Pencurian Dalam Hukum Positif
Thursday, 26 March 2015
Sudut Hukum | Unsur-unsur Pencurian Dalam Hukum Positif
Apabila
dirinci rumusan diatas terdiri dari unsur – unsur objektif (perbuatan
mengambil, objeknya suatu benda, dan unsur keadaan yang menyertai/melekat pada
benda, yaitu benda tersebut sebagian atau seluruhnya milik orang lain) dan
unsur - unsur subjektif (adanya maksud yang ditujukan untuk memiliki, dan
dengan melawan hukum). Berdasarkan rumusan pasal 362-363 KUHP diatas, maka unsur-unsur
objektif dan subyektif.
1)
Unsur Objektif
Unsur
- Unsur Objektif berupa :Unsur perbuatan mengambil (wegnemen). Dari
adanya unsur perbuatan yang dilarang mengambil ini menunjukkan bahwa pencurian
adalah berupa tindak pidana formil. Mengambil adalah suatu tingkah laku positif/perbuatan
materiil, yang dilakukan dengan gerakan - gerakan otot yang disengaja yang pada
umumnya dengan menggunakan jari - jari dan tangan yang kemudian diarahkan pada suatu
benda, menyentuhnya, memegangnya, dan mengangkatnya lalu membawa dan
memindahkannya ke tempat lain atau ke dalam kekuasaannya.
Sebagaimana
dalam banyak tulisan, aktifitas tangan dan jari - jari sebagaimana tersebut di
atas bukanlah merupakan syarat dari adanya perbuatan mengambil. Unsur pokok dari
perbuatan mengambil adalah harus ada perbuatan aktif, ditujukan pada benda dan
berpindahnya kekuasaan benda itu ke dalam kekuasaannya. Berdasarkan hal
tersebut, maka mengambil dapat dirumuskan sebagai melakukan perbuatan terhadap
suatu benda dengan membawa benda tersebut ke dalam kekuasaan.
Berdasarkan
hal tersebut, maka mengambil dapat dirumuskan sebagai melakukan perbuatan
terhadap suatu benda dengan membawa benda tersebut ke dalam kekuasaannya secara
nyata dan mutlak. Unsur berpindahnya kekuasaan benda secara mutlak dan nyata
adalah merupakan syarat untuk selesainya perbuatan mengambil, yang artinya juga
merupakan syarat untuk menjadi selesainya suatu pencurian secara sempurna.
Sebagai ternyata dari Arrest Hoge Raad (HR) tanggal 12 Nopember 1894
yang menyatakan bahwa "perbuatan mengambil telah selesai, jika benda berada
pada pelaku, sekalipun ia kemudian melepaskannya karena diketahui".
Unsur
benda. Pada mulanya benda - benda yang menjadi objek pencurian ini sesuai
dengan keterangan dalam Memorie van Toelichting (MvT) mengenai
pembentukan pasal 362 KUHP adalah terbatas pada benda - benda bergerak (roerend
goed).
Benda
- benda tidak bergerak, baru dapat menjadi objek pencurian apabila telah
terlepas dari benda tetap dan menjadi benda bergerak, misalnya sebatang pohon
yang telah ditebang atau daun pintu rumah yang telah terlepas/dilepas. Benda
bergerak adalah setiap benda yang berwujud dan bergerak ini sesuai dengan unsur
perbuatan mengambil. Benda yang kekuasaannya dapat dipindahkan secara mutlak
dan nyata adalah terhadap benda yang bergerak dan berwujud saja. Benda bergerak
adalah setiap benda yang menurut sifatnya dapat berpindah sendiri atau dapat dipindahkan
(pasal 509 KUHPerdata). Sedangkan benda yang tidak bergerak adalah benda -
benda yang karena sifatnya tidak dapat berpindah atau dipindahkan, suatu
pengertian lawan dari benda bergerak.
Unsur
sebagian maupun seluruhnya milik orang lain. Benda tersebut tidak perlu
seluruhnya milik orang lain , cukup sebagian saja, sedangkan yang sebagian
milik petindak itu sendiri. Seperti sebuah sepeda milik A dan B, yang kemudian
A mengambilnya dari kekuasaan B lalu menjualnya. Akan tetapi bila semula sepeda
tersebut telah berada dalam kekuasaannya kemudian menjualnya, maka bukan
pencurian yang terjadi melainkan penggelapan (pasal 372). Siapakah yang
diartikan dengan orang lain dalam unsur sebagian atau seluruhnya milik orang
lain? Orang lain ini harus diartikan sebagai bukan si petindak. Dengan demikian
maka pencurian dapat pula terjadi terhadap benda - benda milik suatu badan
misalnya milik negara.
Jadi
benda yang dapat menjadi objek pencurian ini haruslah benda - benda yang ada
pemiliknya. Benda - benda yang tidak ada pemiliknya tidak dapat menjadi objek
pencurian.Contoh di atas adalah bentuk hukuman mati yang sangat tidak
manusiawi. Hal tersebut sangat wajar karena saat itu hukum yang berlaku adalah hukum
kolonial. Hukum kolonial terkenal kejam karena untuk memberikan rasa takut bagi
masyarakat untuk melakukan perlawanan. Sehingga Belanda dapat bertahan cukup
lama di Indonesia.
2)
Unsur subjektif
Unsur
subjektif terdiri dari dua unsur, yakni pertama unsur maksud (kesengajaan
sebagai maksud atau opzet als oogmerk), berupa unsur kesalahan dalam pencurian,
dan kedua unsur memiliki. Dua unsur itu dapat dibedakan dan tidak terpisahkan.
Maksud
dari perbuatan mengambil barang milik orang lain itu harus ditujukan untuk
memilikinya. Dari gabungan dua unsur itulah yang menunjukkan bahwa dalam tindak
pidana pencurian, pengertian memiliki tidak mensyaratkan beralihnya hak milik
atas barang yang dicuri ke tangan petindak, dengan alasan, pertama tidak dapat
mengalihkan hak milik dengan perbuatan yang melanggar hukum, dan kedua yang
menjadi unsur pencurian ini adalah maksudnya (subjektif) saja.
Sebagai
suatu unsur subjektif, memiliki adalah untuk
memiliki bagi diri sendiri atau untuk dijadikan sebagai barang miliknya.
Apabila dihubungkan dengan unsur maksud, berarti sebelum melakukan perbuatan mengambil
dalam diri petindak sudah terkandung suatu kehendak (sikap batin) terhadap
barang itu untuk dijadikan sebagai miliknya.
Melawan
hukum. Maksud memiliki dengan melawan hukum atau maksud memiliki itu ditujukan
pada melawan hukum, artinya ialah sebelum bertindak melakukan perbuatan
mengambil benda, ia sudah mengetahui, sudah sadar memiliki benda orang lain
(dengan cara yang demikian) itu adalah bertentangan dengan hukum. Berhubung
dengan alasan inilah, maka unsur melawan hukum dalam pencurian digolongkan ke
dalam unsur melawan hukum subjektif. Pendapat ini kiranya sesuai dengan
keterangan dalam MvT yang menyatakan bahwa, apabila unsur kesengajaan dicantumkan
secara tegas dalam rumusan tindak pidana berarti kesengajaan itu harus ditujukan
pada semua unsur yang ada di belakangnya.
Unsur
maksud adalah merupakan bagian dari kesengajaan. Dalam praktik hukum terbukti
mengenai melawan hukum dalam pencurian ini lebih condong diartikan sebagai
melawan
hukum subjektif sebagaimana pendapat Mahkamah Agung yang tercermin dalam pertimbangan hukum
putusannya (No. 680 K/Pid/1982 tanggal 30-7-1983).
Dimana
Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta (yang menghukum)
dan membebaskan terdakwa dengan dasar dakwaan jaksa penuntut umum tidak
terbukti secara sah dan meyakinkan, dengan pertimbangan hukum "tidak
terbukti adanya unsur melawan hukum". Sebab pada saat terdakwa mengambil
barangbarang dari kantor, dia beranggapan bahwa barang-barang yang diambil
terdakwa adalah milik almarhum suaminya. Sebagai seorang ahli waris, terdakwa
berhak mengambil barang-barang tersebut. Pada bagian kalimat yang berbunyi
"dia beranggapan bahwa barang-barang yang diambil terdakwa adalah milik almarhum
suaminya" adalah merupakan penerapan pengertian tentang melawan hukum subyektif
pencurian pada kasus konkrit dalam putusan pengadilan.
Walaupun
sesungguhnya tidak berhak mengambil sebab barang bukan milik suaminya, tetapi
karena dia beranggapan bahwa barang adalah milik suaminya, maka sikap batin
terhadap perbuatan mengambil yang demikian, adalah merupakan tiadanya sifat
melawan hukum subyektif sebagaimana yang dimaksud pasal 362 KUHP. Sedangkan
apa yang dimaksud dengan melawan hukum (wederrechtelijk) undang-undang
tidak memberikan penjelasan lebih lanjut. Pada dasarnya melawan hukum adalah
sifat tercelanya atau terlarangnya dari suatu perbuatan tertentu. Dilihat dart
mana atau oleh sebab apa sifat tercelanya atau terlarangnya suatu perbuatan
itu, dalam doktrin dikenal ada dua macam melawan hukum, yaitu pertama melawan hukum
formil, dan kedua melawan hukum materiil.
Melawan
hukum formil adalah bertentangan dengan hukum tertulis, artinya sifat
tercelanya atau terlarangnya suatu perbuatan itu terletak atau oleh sebab dari
hukum tertulis. Seperti pendapat Simons yang menyatakan bahwa untuk dapat
dipidananya perbuatan harus mencocoki rumusan delik yang tersebut dalam
undang-undang.
Sedangkan
melawan hukum materiil, ialah bertentangan dengan azas-azas hukum masyarakat,
azas mana dapat saja dalam hokum tidak tertulis maupun sudah terbentuk dalam
hukum tertulis.
Dengan
kata lain dalam melawan hukum mate rill ini, sifat tercelanya atau terlarangnya
suatu perbuatan terletak pada masyarakat. Sifat tercelanya suatu perbuatan dari
sudut masyarakat yang bersangkutan. Sebagaimana pendapat Vos yang menyatakan bahwa
melawan hukum itu sebagai perbuatan yang oleh masyarakat tidak dikehendaki atau
tidak diperbolehkan.