Konsep Umum Tentang Akad
Wednesday, 22 April 2015
Sudut Hukum | Akad dalam hukum Islam meliputi lima pembahasan meliputi:
Pengertian akad, Rukun dan syarat akad, Macam-macam akad, Khiyar akad dan
Berakhirnya akad.
1. Pengertian Akad
Akad (Al’aqd, jamaknya Al-‘uqud) secara bahasa
berarti Al-rabth: ikatan, mengikat” Al-rabth,
sebagaimana dikutip oleh Drs Ghufron A.Mas’adi yaitu menghimpun atau
mengumpulkan dua ujung tali dan mengikatkan salah satu pada yang lainya hingga
keduanya bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang satu”
Akad Secara terminologi adalah perikatan Ijab dan Qabul yang
dibenarkan oleh Syara yang menetapkan kerihaan kedua belah pihak.
Sedangkan akad sebagaimana dikemukakan oleh para Fuqaha adalah
mengikatkan dua ucapan atau yang menggantikan kedudukannya yang darinya timbul
konsekuensi Syar’i.
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa, akad merupakan
kesepakatan antara kedua belah pihak ataulebih untuk melakukan suatu perbuatan
tertentu, dilakukan dengan suka rela, dan menimbulkan kewajiban atas
masingmasing secara timbal balik.
Di dalam hukum kalau perbuatan itu mempunyai akibat hukum maka
perbuatan tersebut diistilahkan dengan perbutan hukum.Perbuatan hukum adalah
segala perbuatan yang dilakukan oleh manusia secara sengaja untuk menimbulkan
hak dan kewajiban.
2. Rukun-rukun dalam Akad
Akad merupakan suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang
atau lebih.Dimana pihak-pihak yang melakukan akad berdasarkan keridhaan
masingmasing.
Adapun rukun akad menurut Fuqaha jumhur terdiri atas:
- Al-‘Aqidain ialah para pihak yang terlibat dalam akad. Seperti jual beli, sewa menyewa.
- Ma’qud‘alaihialah objek akad atau benda-benda yang hendak diakadkan.
- Shighat al’aqd ialah pernyataan para pihak yang berakad malalui Ijab dan Qabul
Menurut Fuqaha Hanafiyah, rukun akad hanya satu. Yaitu Shigatal’aqd
atau pernyataan IjabQabul.Sedangkan Al-‘aqidain dan Ma’qud’alaihbukan
merupakan rukun akad.Melainkan lebih tepat sebagai syarat akad.
Berikut ini unsur-unsur terkait dengan rukun-rukun akad:
1) UnsurPertama: ‘Aqidaini, yaitu kedua pihak yang
melakukan akad dengan pernyataan IjabQabul
Pihak-pihak yang mampu melakukan akad dipandang mampu bertindak
menurut hukum (mukallaf), apabila belum mampu harus dilakukan oleh walinya.Oleh
sebab itu, suatu akad yang dilakukan oleh orang kurang waras (gila) atau anak
kecil yang belum mukallaf secara langsung hukumnya tidak sah.
2) Unsur Kedua: MahallulAqad (Objek Akad)
yaitu benda yang dijadikan Objek akad
dimana benda tersebut bisa dikenakan akibat hukum yang ditimbulkannya.
Fuqaha menetapkan lima syarat yang harus terpenuhi pada objek
akad, antara lain:
a. Objek akad harus ada ketika berlangsung akad
Mengakadkan benda yang tidak ada adalah tidak sah.Seperti menjual
tanaman sebelum tumbuh, menjual anak hewan di dalam perut induknya dan
lain-lain, semua akad ini batal.
Sedangkan menurut Fuqaha Maliki, sebagaimana dikutip oleh
Prof.Dr.Abdul Karim Zaidan, sesuatu yang tidak ada dapat menjadi objek akad
dengan syarat dapat diwujudkan dimasa mendatang. Hal ini terjadi pada akad
hibah dan wakaf.dikarenakan akad tersebut tidak menimbulkan perselisihan.
Sebagaimana mereka membolehkan jual beli buah-buahan dengan tampak
sebagiannya seperti mentimun dan semangka.Alasan membolehkan karena keduanya
tidak nampak seketika, melainkan sedikit demi sedikit.Sedangkan menurut
pengikut Hambali membolehkan objek akad tidak ada pada waktu akad, jika tidak
terdapat gharar (Penipuan).sedangkan Syari’ melarang jual-beli sesuatu
yang tidak jelas sifat dan rupanya (Gharar), baik ia ada atau tidak.
Namun jika sesuatu yang tidak ada itu dapat diwujudkan dimasa mendatang menurut
kebiasaan dan dapat dipesankan, maka ia boleh dijadikan objek akad.
b. Objek akad harus MaalMutaqwwim
Akad yang mentransaksikan MalGhoiruMutaqawwim, seperti
bangkai, darah dan barang-barang yang diharamkan oleh Syara’ adalah
batal.Karena pada prinsipnya MalGhoiruMutaqawwintidak dapat dimiliki.
c. Dapat diserah-terimakan ketika akad berlangsung.
Jika pihak yang berakad tidak mampu menyerahkan barang yang diakadkan, maka akad tersebut batal.Khususnya dalam akad Muawwadhah.
Sedangkan Imam Malik tidak mengharuskan adanya kemampuan
menyerahkan saat akad berlangsung, dalam hal akad Tabarru’.Menurutnya sah menghibahkan seekor kambing yang sedang
berjalan dikebun.
d. Objek akad harus jelas dan dikenali para pihak.
Objek akad harus diketahui oleh masing-masing pihak dengan
pengetahuan yang dimiliki untuk menghindarkan dari perselisihan.Pengetahuan ini
bisa diperoleh dengan meneliti secara langsung sebelum atau ketika akad
berlangsung, dengan menunjukinya jika objek ada, dengan melihat sample
secukupnya, atau dengan kriteria tertentu seperti jenis, ukuran dan
kualitasnya.
e. Objek akad harus suci, tidak Najis, dan tidak Mutanajjis
Barang-barang yang najis dilarang dijadikan objek akad seperti
Khamr, Bangkai, Darah.Sedangkan Fuqaha Hanafiyah tidak mensyaratkan kesucian
objek akad.Maka Hanafiyah membolehkan jual beli rambut Khinjiratau kulit
bangkai untuk diambil manfaatnya.
3) Unsurketiga: Maudhu’al Aqad (Tujuan Akad)
Adalah tujuan dan hukum yang mana suatu akad untuk tujuan tersebut.
Antara akad yang satu dan akan yang lain tujuan berbeda. Contoh: Untuk akad
jual beli tujuannya adalah pemindahan kepemilikan dari penjual kepada pembeli
dengan imbalan. Sedangkan akad Ijarah
tujuannya adalah pemindahan pemilikan manfaat suatu barang dengan imbalan.
4) Unsur keempat: Shighat Aqad
ShighatAqadmerupakan unsur
terpenting dalam akad. Dimana pihak yang berakad menyatakan Ijabdan Qabul. Ijab adalah
peryataan pertama yang dilakukan oleh Muta’aqidainyang mencerminkan
kesungguhan kehendak untuk berakad. Dan Qabuladalah pernyataan pihak
lain setelah Ijabmencerminkan persetujuan atau kesepakatan terhadap
akad.
hal-hal yang harus diperhatikan dalam Shighatal’aqd ialah:
- Shighat al’aqd harus jelas pengertiannya. Kata-kata dalam IjabQabul harus jelas dan tidak memiliki banyak pengertian.
- Harus bersesuaian antara Ijabdan Qabul. Tidak boleh antara yang berijab dan yang menerima berbeda lafash.
- Menggambarkan kesungguhan kemauan dari pihak-pihak yang bersangkutan, tidak terpaksa dan tidak karena diancam atau ditakut-takuti oleh orang lain.
- Syarat-syarat Terbentuknya Akad. berdasarkan rukun (Unsur) yang membentuk akad diatas memerlukan syarat-syarat agar rukun itu dapat berfungsi membentuk akad. Tanpa adanya syarat-syarat dalam akad, rukun akad tidak dapat membentuk akad. Syarat-syarat akad antara lain:
a. Syarat terjadinya akad.
Terbagi menjadi dua bagian.Yakni syarat-syarat yang bersifat umum
dan syarat yang bersifat khusus.
Syarat umum yaitu syarat yang wajib terpenuhi dalam berbagai akad. Dan syarat khusus adalah syarat yang wajib terpenuhi dalam sebagian
akad.Seperti adanya saksi dalam pernikahan.
b. Syarat Shihahatau syarat sah
Syarat sah adalah syarat yang ditetapkan oleh Syara’ yang berkenaan
ada atau tidaknya akibat hukum yang ditimbulkan oleh akad. Apabila tidak
terpenuhi maka, akadnya menjadi Fasid(rusak).
c. Syarat Nafadzatau syarat pelaksanaan akad
Dalam syarat ini ada dua bagian. Pertama kepemilikan. Yaitu,
objek akad adalah benar-benar milik orang yang melakukan akad. Kedua yaitu,
objek akad harus terbebas dari hak-hak pihak ketiga.
d. Syarat Luzum.
Syarat ini merupakan syarat yang ditetapkan oleh Syara’ yang
berkenaan dengan kepastian sebuah akad. Akad adalah suatu kepastian.
Dimana akad yang menimbulkan unsur Khiyar, maka akad tersebut
merupakan akad yang belum pasti. Dan masing-masing pihak yang
berakad berhak menfasakhkan atau melangsungkannya.
4. Pembagian macam-macam Akad
Setelah dijelaskan syarat-syarat akad, pada bagian ini akan
dijelaskan macam-macam akad. Dimana akad dapat dibagi sesuai dengan
tinjauantinjauannya.
Adapun macam-macam akad adalah:
- Aqad Munjiz yaitu akad yang dilaksanakan langsung pada waktu selesainya akad. Pernyataan akad yang diikuti dengan pelaksanaan akad adalah pernyataan yang tidak sesuai dengan syarat-syarat dan tidak pula ditentukan waktu pelaksanaan setelah adanya akad.
- Aqad Mu’alaq ialah akad yang di dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat yang telah ditentukan dalam akad, misalnya penentuan penyerahan barang-barang yang diakadkan setelah adanya pembayaran.
- Aqad Mudhaf ialah yang dalam pelaksanaanya terdapat syarat-syarat mengenai pengulangan pelaksanaan akad, pernyataan yang pelaksanaannya ditangguhkan hingga waktu yang ditentukan. Perkataan ini sah dilakukan pada waktu akad, tetapi belum mempunyai akibat hukum sebelum tibanya waktu yang telah ditentukan.
Selain akad Munjiz, Mu’alaq, dan Mudhaf, macam-macam akad
beraneka ragam tergantung dari sudut tinjauanya. Karena ada perbedaan tinjauan,
akad akan ditinjau dari segi-segi berikut:
1. Ada dan tidaknya Qismahpada akad, maka akad terbagi
menjadi dua bagian:
- Akad Musammah, yaitu akad yang telah ditetapkan syara’ dan telah ada hukum-hukumnya, seperti Jual beli, Hibah dan Ijarah.
- Akad GhairMusammahialah akad yang belum ditetapkan oleh syara’ dan belum ditetapkan hukum-hukumnya.
2. Disyariatkan dan tidaknya akad, ditinjau dari segi ini akad
terbagi dua bagian:
- Akad Musyara’ahialah akad-akad yang dibenarkan oleh syara’seperti gadai dan jual beli.
- Akad Mamnu’ahialah akad-akad yang dilarang oleh syara’seperti menjual anak binatang yang masih didalam perut induknya.
3. Sah dan batalnya akad, ditinjau dari segi ini, akad terbagi
menjadi dua:
- Akad Shahihah, yaituakad-akad yang mencukupi persyaratannya, baik syarat khusus maupun syarat umum.
- Akad Fasihah, yaitu akad-akad yang cacat atau cedera karena kurang salah satu syarat-syaratnya.
4. Sifat bendanya, ditinjau dari sifat ini banda akad terbagi dua:
- Akad ‘Ainiyah, yaitu akad yang diisyaratkan dengan penyerahan barang-barang seperti jual beli.
- Akad Ghair‘Ainiyahyaitu akad yang tidak disertai dengan penyerahan barang-barang, karena tanpa penyerahan barang-barangpun akad sudah berhasil, seperti akad amanah.
5. Cara melakukannya, dari segi ini akad dibagi menjadi dua bagian:
- Akad yang harus dilaksanakan dengan upacara tertentu seperti akad pernikahan dihadiri oleh dua saksi, wali,dan petugas pencatat nikah.
- Akad Ridha’iyah, yaitu akad yang dilakukan tanpa ucapara tertentu dan terjadi karena keridhaan dua belah pihak, seperti akad pada umumnya.
6. Berlaku dan tidaknya akad, dari segi ini akad dibagi menjadi dua
bagian:
- Akad Nafidzahyaitu akad yang bebas atau terlepas dari penghalang-penghalang akad.
- Akad Mauqufahyaitu akad yang bertalian dengan persetujuanpersetujuan, seperti akad Fudhuli(akad yang berlaku setelah disetujuai pemilik harta).
7. Luzum dan dapat dibatalkannya, dari segi ini akad dibagi
menjadi empat:
- Akad Lazimyang menjadi hak kedua belah pihak dan tidak dapat dipindahkan seperti akad kawin.
- Akad Lazimyang menjadi hak kedua belah pihak dan dapat dipindahkan dan dirusakkan, seperti persetujuan jual beli dan akadakad lainnya.
- Akad Lazim yang menjadi hak salah satu pihak, seperti rahn atau menebus kembali barangnya.
- Akad Lazimahyang menjadi hak kedua belah pihak tanpa menunggu persetujuan salah satu pihak, seperti titipan boleh diminta oleh yang menitipkan atau yang menerima titipan boleh mengembalikan barang yang dititipkan kepada yang menitipkan tanpa menunggu persetujuan dari yang menitipkan.
8. Tukar-menukar hak, dari segi ini akad dibagi menjadi tiga
bagian:
- Akad Mu’awadlah, yaitu akad yang berlaku atas dasar timbal balik seperti jual beli.
- Akad Tabarru’at, pada awalnya dan menjadi akad Mu’awadhahpada akhirnya seperti Qaradhdan Kafalah.
9. Harus dibayar ganti dan tidaknya, dari segi ini akad dibagi
menjadi tiga bagian:
- Akad Dhaman, yaitu akad yang menjadi tanggungjawab pihak kedua sesudah benda itu diterima seperti Qaradh.
- Akad Amanah, yaitu tanggung jawab kerusakan oleh pemilik benda, bukan oleh pemegang barang, seperti titipan.
- Akad yang dipengaruhi oleh beberapa unsur, salah satu segi merupakan Dhaman, menurut segi yang lain merupakan Amanah, seperti Rahn(gadai).
10. Tujuan akad, dari segi tujuannya akad dapat dibagi menjadi lima
golongan:
- Bertujuan Tamlik, seperti jual beli
- Bertujuan mengadakan usaha bersama (perkongsian) seperti Syirkahdan Mudharabah.
- Bertujuan Tausiq(memperkokoh kepercayaan) saja, sepertiRahn dan Kafalah
- Bertujuan menyerahkan kekuasaan, seperti Wakalahdan Washiyah.
- Bertujuan mengadakan pemeliharaan seperti titipan.
11. Faur dan Istimrar, dari segi ini akad dibagi
menjadi dua bagian:
- Akad Fauriyah, yaitu akad-akad yang dalam pelaksanaanya tidak memerlukan waktu yang lama, pelaksanaan akad hanya sebentar saja, seperti jual beli.
- Akad Istimrar, disebut pula akad Zamaniyahyaitu hukum akad terus berjalan, seperti I’arah.
12. Asliyah dan Thabi’iyah, dari segi ini akad dibagi
menjadi dua bagian:
- AkadAsliyahyaitu akad yang berdiri sendiri tanpa memerlukan adanya sesuatu yang lain, seperti jual beli dan I’arah
- Akad Thabi’iyah, yaitu akad yang membutuhkan adanya yang lain, seperti adanya Rahn tidak dilakukan bila tidak adanya utang.
5. Khiyar dalam Akad
Khiyar adalah hak yang
dimiliki oleh ‘Aqidain untuk memilih antara meneruskan atau atau membatalkan.
Menurut Wahbah al-Juhaily sebagaimana dikutip oleh Drs.Ghufron.A, M.Ag
dalam Fiqh Muamalah Kontekstual, macam-macam khiyar antara lain:
1. Khiyar Majlis
Yaitu hak ‘Aqidainuntuk memilih untuk meneruskan atau mengakhiri
akad sepanjang keduannya belum berpisah. Namun Khiyar ini hanya berlaku
pada pada setiap akad Al-mu’awwadhahalmaliyah.Seperti akad jual
beli dan Ijarah.
Sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
“Masing-masing penjual dan pembeli memiliki hak khiyar selama keduanya
belum berpisah”
Tetapi Fuqaha Hanafiyah dan Malikiyah menyangkal Khiyar ini. Karena
akad yang telah sempurna dan bersifat Lazim(pasti) didasarkan pada
keridhaan kedua belah pihak yang sudah melakukan IjabQabul.
2. KhiyarTa’yin
Yaitu hak yang pembeli untuk memastikan benda yang sejenis dan sama
harganya. Seperti jual-beli.Ini merupakan konsep Fuqaha Hanafi. Sedangkan Imam
Syafi’i dan Ahmad ibn Hambal tidak sependapat dengan konsep tersebut.Dengan
alasan salah satu syarat objek akad harus jelas.
Akan tetapi menurut fuqaha Mazhab Hanafiyah keabsahan KhiyarTa’yinharus
mencakup tiga syarat. Antara lain:
- Maksimal berlaku pada tiga pilihan obyek.
- Sifat dan nilai benda harus setara.
- Tenggang waktu tidak lebih dari tiga hari.
3. Khiyarsyarat Yaitu hak ‘Aqidainuntuk melangsungkan atau mengakhiri selama batas waktu tertentu yang dipersyaratkan pada waktu akad berlangsung.
Berakhirnya Khiyar syarat adalah
sebagai berikut:
- Terjadi penegasan pembatalan akad dan penetapanya.
- Berakhirnya batas waktu Khiyar
- Kerusakan pada objek akad
- Adanya penambahan atau pengembangan dalam penguasaan pihak pembeli baik dari segi jumlah seperti beranak,bertelur atau mengembang.
- Wafatnya ShohibulKhiyar
4. Khiyar ‘aib (adanya cacat pada barang)
Yaitu hak yang dimiliki ‘Aqidain’untuk tetap melangsungkan
atau membatalkan jika ditemukan cacat pada barang, tetapi pihak lain tidak memberitahukanya.
5. KhiyarRu’yat (Melihat)
Yaitu hak untuk melanjutkan atau membatalkan ketika objek akad tidak
ada ditempat, akan tetapi objek akad sudah pernah dilihatnya dalam batas waktu
yang memungkinkan telah terjadi perubahan pada objek akad tersebut. Konsep ini
dikemukakan oleh fuqaha Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah dan Dhahiriyah dalam
hal benda yang ghaib(tidak ada ditempat) atau benda yang belum pernah
diperiksa.
Sebagaimana dalam hadist:
“barang siapa yang membeli sesuatu yang belum pernah dilihatnya, maka baginya hak hak khiyar ketika melihatnya”
6. KhiyarNaqd(Pembayaran)
Jika pihak yang melakukan jual beli dengan ketentuan pihak pembeli
tidakdapat melunasi pembayaran, atau pihak penjual tidak menyerahkan barang
dalam batas waktu tertentu, maka pihak yang dirugikan berhak untuk mambatalkan
atau melanjutkan akad tersebut.
6. Berakhirnya Akad
Pembatalan akad tidak mungkin dilaksanakan, sebab dasar adalah kesepakatan
kedua belah pihak yang terikat dalam akad tersebut. Namun pembatalan
akad dapat dilakukan apabila:
1. Jangka waktu perjanjian telah berakhir
Lazimnya suatu perjanjian selalu didasarkan kepada jangka waktu tertentu
(mempunyai jangka waktu yang terbatas), maka apabila telah sampai kepada waktu
yang telah diperjanjikan secara otomatis (lansung tanpa ada perbuatan hukum
lain) batallah perjanjian yang telah diadakan para pihak. sebagaimana yang
terdapat di dalam Al-Qur’an surat At Taubah ayat 4
“Kecuali
orang-orang musyrikin yang kamu telah Mengadakan Perjanjian (dengan mereka) dan
mereka tidak mengurangi sesuatu pun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula)
mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, Maka terhadap mereka itu
penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang bertaqwa”.
2. Salah satu
pihak menyimpang dalam perjanjian.
Apabila salah satu pihak telaha melakukan perbuatan menyimpang dari
apa yang telah diperjanjikan, maka pihak lain dapat membatalkan perjanjian
tersebut. Didasarkan pada ketentuan Al-qur’an surat at Taubah ayat 7
“Bagaimana bisa ada
Perjanjian (aman) dari sisi Allah dan RasulNya dengan orang-orang musyrikin,
kecuali orang-orang yang kamu telah Mengadakan Perjanjian (dengan mereka) di
dekat Masjidil haraam?Maka selama mereka Berlaku Lurus terhadapmu, hendaklah kamu
Berlaku Lurus (pula) terhadap mereka.Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang bertakwa.”
3. Jika ada kelancangan dan bukti penghianatan (penipuan)
Apabila salah satu pihak melakukan sesuatu kelancangan dan telah
pula ada bukti-bukti bahwa salah satu pihak mengadakan penghianatan terhadap
apa yang telah diperjanjikan, maka perjanjian yang telah diikat dapat
dibatalkan oleh pihak yang lainnya.
Dasar hukum tentang ini dapat dipedomani ketentuan yang terdapat
dalam al-Qur’ansurat al-Anfal ayat 58
“dan jika kamu khawatir akan
(terjadinya) pengkhianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian
itu kepada mereka dengan cara yang jujur. sesungguhnya allah tidak menyukai
orang-orang yang berkhianat.”
Sedangkan ulama fiqih menyatakan bahwa suatu akad dapat berakhir apabila
terjadi hal-hal seperti berikut:
1. Berakhir masa berlaku akad itu, apabila akad itu memiliki
tenggang waktu.
2. Dibatalkan oleh pihak-pihak yang berakad, apabila akad itu
mengikat.
3. Dalam suatu akad yang bersifat mengikat, akad dapat berakhir
apabila:
a. Akad itu fasid
b. Berlaku khiyar syarat, khiyar ‘aib
c. Akad itu tidak dilaksanakan oleh satu pihak yang berakad
d. Telah tercapai tujuan akad itu secara sempurna
4. Wafat salah satu pihak yang berakad.
Menurut Dr. Abdul Karim Zaidan, walaupun salah satu pihak wafat,
dapat diteruskan oleh ahli warisnya, seperti akad sewa-menyewa, gadai dan
peserikatan dagang. Dengan demikian tidak ada pihak yang dirugikan. Sedangkan
menurut Ahmad Azhar Basyir, di dalam buku Asas-asas Hukum Muamalat, Berakhirnya
akad karena dua hal, yang pertama akad berakhir apabila telah tercapai
tujuannya, misalnya dalam jual beli
akad berakhir apabila barang telah berpindah milik kepada pembeli
dan harganya
telah menjadi milik penjual. Kedua akad berakhir apabila terjadi
fasakh atau berakhir waktunya.
Fasakh terjadi karena
sebab-sebab sebagai berikut:
a. Difasakh karena adanya hal-hal yang tidak dibenarkan Syara’, seperti yang
disebutkan dalam akad rusak; misalnya jual beli barang yang tidak
memenuhi syarat kejelasan.
b. Karena adanya khiyar; baik khiyarrukyat, cacat, syarat,
atau majlis.
c. Karena salah satu pihak dengan persetujuan pihak lain
membatalkan, Fasakhcara ini disebut Iqalah.
d. Karena kewajiban yang ditimbulkan oleh adanya akad tidak
dipenuhi oleh pihak pihak bersangkutan.
e. Karena habis waktunya, seperti dalam akad sewa menyewa berjangka
waktu tertentu.