Pengertian Hak Cipta
Wednesday, 22 April 2015
Sudut Hukum | Menurut
Undang-Undang Hak Cipta (UUHC) No. 19 tahun 2002 pasal 1 ayat 1 yang dimaksud
dengan hak cipta adalah: hak eksklusif bagi pencipta atau penerima hak untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaanya atau memberikan izin untuk itu (mengumumkan
atau memperbanyak) dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut
undang-undang yang berlaku. Dalam
UUHC nomor 19 tahun 2002. Dalam pasal 1 yang
dimaksud
dengan :
- Pencipta adalah seseorang atau beberapa orang secara bersama-sama yang atas ispirasinya melahirkan suatu ciptaan berdasarkan kemampuan pikiran, imajinasi, kecakapan, ketrampilan. Atau keahlian yang dituangkan kedalam bentuk yang khas dan bersifat pribadi.
- Ciptaan adalah hasil setiap karya pencipta yang menunjukan keasliannya dalam lapangan ilmu pengetahuan, seni, atau sastra.
- Pemegang hak cipta adalah pencipta sebagai pemilik hak cipta, atau pihak yang menerima hak tersebut dari pencipta atau pihak lain yang menerima lebih lanjut hak dari pihak yang menerima hak tersebut
- Pengumuman adalah pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran atau penyebaran, suatu ciptaan dengan menggunakan alat apapun, termasuk media internet, atau melakuakan dengan cara apapun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar atau dilihat orang lain.
- Perbanyakan adalah penambahan jumlah suatu ciptaan baik secara keseluruhan maupun bagian yang sangat subtansial dengan menggunakan bahan-bahan yang sama ataupun tidak sama, termasuk mengalih wujudkan secara permanen atau temporer.
Hak
cipta berlaku pada berbagai jenis karya seni atau karya cipta atau
"ciptaan". Ciptaan tersebut dapat mencakup puisi, drama, serta karya
tulis lainnya, film, karya-karya koreografis (tari balet, dan sebagainya),
komposisi musik, rekaman suara, lukisan, gambar, patung, foto, perangkat lunak
komputer, siaran radio dan televisi, dan (dalam yurisdiksi tertentu) desain
industri. Dalam UUHC pasal 12 disebutkan Ciptaan yang dilindungi adalah Ciptaan
dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, yang mencakup:
- Buku, program komputer, pamflet, perwajahan (lay out), karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lain;
- Ceramah, kuliah, pidato, dan ciptaan lain yang sejenis dengan itu;
- Alat peraga yang dibuat untuk kepentingan pendidikan dan ilmu pengetahuan;
- Lagu atau musik dengan atau tanpa teks
- Drama atau drama musikal, tari, koreografi, pewayangan, dan pantomim;
- Seni rupa dalam segala bentuk seperti seni lukis, gambar, seni ukir, seni kaligrafi, seni pahat, seni patung, kolase, dan seni terapan;
- Arsitektur;
- Peta;
- Seni batik;
- Fotografi;
- Sinematografi;
- Terjemahan, tafsir, saduran, bunga rampai, database, dan karya lain dari hasil pengalihwujudan.
Hak
cipta merupakan salah satu jenis hak kekayaan intelektual, namun hak cipta berbeda secara
mencolok dari hak kekayaan intelektual
lainnya
(seperti paten, yang memberikan hak monopoli atas penggunaan invensi/penemuan), karena hak cipta
bukan merupakan hak monopoli untuk
melakukan sesuatu, melainkan hak untuk mencegah orang lain yang melakukannya.
Konsep
hak cipta di Indonesia merupakan terjemahan dari konsep copyright dalam
bahasa Inggris (secara harfiah artinya "hak salin").
Copyright
ini
diciptakan sejalan dengan penemuan mesin cetak. Sebelum penemuan mesin ini oleh
Gutenberg, proses untuk membuat salinan dari sebuah karya tulisan memerlukan
tenaga dan biaya yang hampir sama dengan proses pembuatan karya aslinya.
Sehingga kemungkinan besar para penerbitlah, bukan para pengarang, yang pertama
kali meminta perlindungan hukum terhadap karya cetak yang dapat disalin.
Awalnya,
hak monopoli tersebut diberikan langsung kepada penerbit
untuk menjual karya cetak. Baru ketika peraturan hukum tentang copyright mulai
diundangkan pada tahun 1710 dengan Statute of Anne di Inggris, hak tersebut diberikan ke
pengarang, bukan penerbit. Peraturan tersebut juga mencakup perlindungan kepada
konsumen yang menjamin bahwa penerbit tidak dapat mengatur penggunaan karya
cetak tersebut setelah
transaksi jual beli berlangsung. Selain itu, peraturan tersebut juga mengatur
masa berlaku hak eksklusif bagi pemegang copyright, yaitu selama 28
tahun, yang kemudian setelah itu karya tersebut menjadi milik umum.
Berne
Convention for the Protection of Artistic and Literary Works ("Konvensi Bern tentang
Perlindungan Karya Seni dan Sastra" atau "Konvensi
Bern") pada tahun 1886 adalah yang pertama kali mengatur masalah copyright antara
negara-negara berdaulat. Dalam konvensi ini, copyright
diberikan
secara otomatis kepada karya cipta, dan pengarang tidak harus mendaftarkan
karyanya untuk mendapatkan copyright. Segera setelah sebuah karya
dicetak atau disimpan dalam satu media, si pengarang otomatis mendapatkan hak
eksklusif copyright terhadap karya tersebut dan juga terhadap karya
derivatifnya, hingga si pengarang secara eksplisit menyatakan sebaliknya atau
hingga masa berlaku copyright tersebut selesai.
Sejarah
hak cipta di Indonesia yaitu bermula Pada tahun 1958, Perdana Menteri Djuanda
menyatakan Indonesia keluar dari Konvensi Bern agar para intelektual Indonesia
bisa memanfaatkan hasil karya, cipta, dan karsa bangsa asing tanpa harus
membayar royalti. Pada tahun 1982, Pemerintah Indonesia mencabut pengaturan
tentang hak cipta berdasarkan Auteurswet 1912 Staatsblad Nomor 600 tahun
1912 dan menetapkan Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta, yang
merupakan undang-undang hak cipta yang pertama di Indonesia.
Undang-undang tersebut kemudian diubah dengan
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987,
Undang-undang
Nomor 12 Tahun 1997, dan pada akhirnya dengan Undang-undang
Nomor 19 Tahun 2002 yang kini berlaku. Perubahan undang-undang
tersebut juga tak lepas dari peran Indonesia dalam pergaulan antarnegara. Pada tahun
1994, pemerintah meratifikasi pembentukan
Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization WTO),
yang mencakup pula Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual
Propertyrights-TRIPs ("Persetujuan tentang
Aspek-aspek Dagang
Hak Kekayaan Intelektual"). Ratifikasi tersebut diwujudkan dalam bentuk
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1994.
Pada tahun 1997, pemerintah meratifikasi
kembali Konvensi Bern melalui Keputusan
Presiden
Nomor 18 Tahun 1997 dan juga meratifikasi World Intellectual Property Organization
Copyrights Treaty ("Perjanjian Hak Cipta WIPO")
melalui
Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997.
Dalam
UUHC pasal 3 disebutkan bahwa; (1) hak cipta dianggap sebagai benda bergerak, (2) hak
cipta dapat beralih atau dialihkan, baik
seluruh
atau sebagai karena pewarisan, hibah, wasiat, perjanjian tertulis, sebab-sebab
lain yang dibenarkan oleh peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, maka hak cipta
termasuk harta yang bisa dimiliki oleh
seseorang
secara sah.
Dalam
pasal selanjutnya, yakni pasal 49 ayat 1 dijelaskan bahwa; Pelaku
memiliki hak eksklusif untuk memberikan izin atau melarang pihak lain yang
tanpa persetujuannya membuat, memperbanyak, atau menyiarkan rekaman suara
dan/atau gambar pertunjukannya. Pada ayat 2 juga dijelaskan bahwa; Produser
Rekaman Suara memiliki hak eksklusif untuk memberikan izin atau melarang pihak
lain yang tanpa persetujuannya memperbanyak dan/atau menyewakan karya rekaman suara
atau rekaman bunyi.
Dalam
pasal sebelumnya yaitu pasal 1 angka 5 dan 6 dijelaskan tentang publikasi dan
penggandaan dalam pasal ini disebutkan bahwa; Pengumuman
adalah pembacaan, penyiaran, pameran, penjualan, pengedaran, atau penyebaran
suatu ciptaan dengan menggunakan alat apapun, termasuk media internet, atau
melakukan dengan cara apapun sehingga suatu ciptaan dapat dibaca, didengar,
atau dilihat orang lain.
Perbanyakan
adalah penambahan jumlah sesuatu ciptaan, baik secara keseluruhan maupun bagian
yang sangat subtansial dengan menggunakan bahan-bahan yang sama ataupun tidak
sama, termasuk mengalihwujudkan secara permanen atau temporer.
Kemudian
dalam pasal 72 ayat 1 dijelaskan bahwa; Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa
hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal
49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat
1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta
rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling
banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah.37 Dengan demikian, jelas bahwa
pelanggaran terhadap hak cipta merupakan tindak kejahatan pidana yang bisa
dikenai hukuman.