Syarat Dan Rukun Khulu’
Monday, 27 April 2015
Sudut Hukum | Khulu’ dianggap sah apabila telah memenuhi beberapa unsur di antaranya
syarat dan rukun yang merupakan karakteristik dari khulu’. Adapun dalam
setiap rukun khulu’ mempunyai syarat yang masing-masing harus ada pada
rukun tersebut. Untuk lebih jelasnya mengenai syarat-syarat khulu’ jika tampak adanya
bahaya yang mengancam dan merasa takut keduanya tidak akan dapat menegakkan
hukum-hukum Allah.
Hendaknya khulu’ itu berlangsung sampai selesai tanpa adanya tindakan
penganiayaan (menyakiti) yang dilakukan oleh suami terhadap istrinya.
Jika ia menyakiti istrinya, maka ia tidak boleh mengambil sesuatu pun darinya.
Khulu’ itu berasal dari istri dan bukan dari pihak suami. Jika
suami yang merasa tidak senang hidup bersama dengan istrinya, maka suami tidak berhak
mengambil sedikitpun harta dari istrinya. Khulu’ sebagai thalak ba’in, sehingga
suami tidak diperbolehkan meruju’nya kembali, kecuali setelah mantan istrinya
menikah dengan laki-laki lain dan kemudian melalui proses akan nikah yang baru.
Adapun yang menjadi rukun dari khulu’ adalah :
1. Suami yang menceraikan istrinya dengan tebusan
2. Istri yang meminta cerai dari suaminya dengan tebusan
3. Uang tebusan atau ganti rugi atau iwadh.
4. Sighat atau ucapan cerai
5. Alasan untuk terjadinya khulu’
1. Suami
Syarat suami yang menceraikan istrinya dalam bentuk khulu’ sebagaimana
yang berlaku dalam thalak adalah seorang yang ucapannya telah
diperhitungkan secara syara’, yaitu akil, baligh, dan bertindak atas kehendaknya
sendiri dan dengan kesengajaan. Berdasarkan syarat ini. Bila suami masih belum
dewasa atau suami sedang dalam keadaan gila pula maka yang akan menceraikan
dengan nama khulu’ adalah walinya.
Demikian pula bila keadaan seseorang yang berada di bawah
pengampuan karena kebodohannya ( المهجور عليه ) yang menerima permintaan
khulu’ istri adalah walinya. Dalam hal ini seluruh madzhab sepakat bahwa baligh
dan berakal merupakan syarat yang wajib dipenuhi oleh laki-laki yang melakukan
khulu’. Sedang Hambali mengatakan, “khulu’ sebagaimana halnya dengan thalak,
dianggap sah bila dilakukan oleh orang yang mumayyiz (telah mengerti
sekalipun belum baligh), mereka juga sepakat tentang sahnya khulu’ yang
dilakukan oleh orang safih, tetapi uang (harta) tebusannya harus
diserahkan kepada walinya.
2. Istri yang dikhulu’
Istri yang dikhulu’ kepada suaminya disyaratkan hal-hal sebagai berikut
:
a. Ia adalah seseorang yang berada dalam wilayah si suami dalam
arti istrinya atau yang telah diceraikan, namun masih berada dalam iddah raj’iy.
b. Ia adalah seorang yang telah dapat bertindak atas harta, karena
untuk keperluan pengajuan khulu’ ini ia harus menyerahkan harta. Untuk syarat
ini ia harus seorang yang telah baligh, berakal, tidak berada di bawah
pengampuan, dan sudah cerdas bertindak atas harta.
Para ulama’ madzhab sepakat istri yang mengajukan khulu’ kepada suaminya
wajib sudah baligh dan berakal sehat, dan mereka juga sepakat bahwa
istri yang safih (idiot) tidak boleh mengajukan khulu’ tanpa izin walinya,
tetapi mereka berbeda pendapat tentang keabsahan khulu’nya manakala
diizinkan oleh walinya.
Imam Hanafi mengatakan apabila walinya itu yang melaksanakan pembayaran
tebusan dengan harta miliknya, khulu’ tersebut sah, tapi bila tidak,
salah satu dari riwayat yang lebih kuat, penebusan itu batal dan thalak
jatuh atas istrinya.
Sedangkan Imamiyah, dan Maliki mengatakan; berdasarkan izin dari
wali untuk membayar tebusan khulu’,maka khulu’ tersebut sah, sepanjang
tebusan diambilkan dari hartanya sendiri dan bukan dari harta walinya.
Syafi’i dan handali mengatakan; khulu’ yang diajukan oleh wanita safih
sama sekali tidak sah, baik dengan atau tanpa izin walinya, akan tetapi
Imam Syafi’i memberikan satu pengecualian,yaitu manakala walinya
khawatir bahwa suaminya akan menguasai harta istrinya yang safih
itu. Sementara itu Hambali mengatakan tidak terjadi khulu’ dan tidak pula jatuh
talak kecuali bila si suami berniat menjatuhkan thalak ketika ia melakukan
khulu’, atau khulu’nya diucapkan dengan redaksi thalak.
Apabila seorang istri mengajukan khulu’ sedang dia dalam keadaan khulu’nya
sah. Adapun Imamiyah menentukan syarat bagi wanita yang mengajukan khulu’,
hal-hal yang mereka persyaratkan dalam thalak, dan mereka juga mensyaratkan
adanya dua orang saksi laki-laki yang adil. Sedangkan madzhab-madzhab lainnya
memandang khulu’ tersebut sah sepanjang persyaratan bagi seorang istri yang
ditalak terpenuhi.
Adapun mengenai uang tebusan, para ulama’ berbeda pendapat. Mayoritas
ulama’ menempatkan iwadh sebagai rukun yang tidak boleh ditinggalkan
untuk sahnya khulu’, mengenai sighat atau ucapan cerai, dalam
hal ini tanpa menyebutkan ganti ini ia menjadi thalak biasa. Sedangkan
adanya alasan untuk terjadinya khulu’, baik dalam Al-Qur’an maupun
dalam hadits di atas telah disebutkan, tetapi dalam hal ini ada dua pendapat
di kalangan ulama. Untuk terjadinya khulu’ tidak harus setelah terjadinya
kekhawatiran tidak akan menegakkan hukum Allah. Ini yang pendapat
yang dipegang alasan tidak dapat menegakkan hukum Allah. Sedang
tanpa adanya alasan tidak dapat dilakukan khulu’ pendapat ini dianut
oleh Zhahiri dan Ibnu Al-Munzir.[*]