Kekuatan Hukum Produk-produk Hukum Mahkamah Agung
Saturday, 9 May 2015
Sudut Hukum | Untuk melihat produk-produk hukum Mahkamah Agung (“MA”), kita harus melihat bagaimana peraturan perundang-undangan mengatur dan memberi kewenangan kepada MA. Pasal 24 A Undang-Undang Dasar RI 1945 (“UUD 1945”) mengatur MA berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan undang-undang. Ini juga sejalan dengan pandangan bahwa peraturan perundang-undangan hanya dapat dibentuk oleh lembaga-lembaga yang memperoleh kewenangan perundang-undangan (wetgevingsbevoegheid), yaitu kekuasaan untuk membentuk hukum atau rechtsvorming (lihat misalnya Maria Farida Indrati Soeprapto, 1998: 54).
Mari kita lihat Undang-Undang (“UU”) yang mengatur Mahkamah Agung, mulai dari UU No. 14 Tahun 1985, hingga dua kali perubahannya yakni UU No. 5 Tahun 2004, dan UU No. 3 Tahun 2009 (selanjutnya disebut UUMA). Ada beberapa kewenangan dan tugas yang diberikan Undang-Undang kepada MA, antara lain:
- MA memberikan pertimbangan hukum kepada Presiden dalam permohonan grasi dan rehabilitasi (Pasal 14 ayat 1 UUD jo Pasal 35 UUMA).
- MA dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum baik diminta maupun tidak kepada lembaga tinggi negara yang lain (Pasal 37 UUMA).
- MA berwenang memberikan petunjuk di semua lingkungan peradilan dalam rangka pelaksanaan ketentuan UU Kekuasaan Kehakiman (Pasal 38 UUMA).
- MA berwenang memberikan petunjuk, teguran, atau peringatan yang dipandang perlu kepada pengadilan di semua lingkungan peradilan.
Dalam literatur kewenangan dan tugas demikian disebut sebagai fungsi pengaturan atau regelende functie MA. Ini juga sejalan dengan rumusan Pasal 79 UUMA, yang mengatur “MA dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur dalam Undang-Undang ini”. (Henry P. Panggabean, 2001: 143). Dalam konteks itulah kita seyogianya membaca produk hukum MA berikut: (i) PERMA; (ii) SEMA; (iii) Fatwa; dan (iv) SK KMA.
Peraturan MA atau PERMA pada dasarnya adalah bentuk peraturan yang berisi ketentuan bersifat hukum acara. Sedangkan, Surat Edaran MA atau SEMA bentuk edaran pimpinan MA ke seluruh jajaran peradilan yang berisi bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan, yang lebih bersifat administrasi (Henry P. Panggabean, 2001: 144). Fatwa MA berisi pendapat hukum MA yang diberikan atas permintaan lembaga negara. Surat Keputusan Ketua MA atau SK KMA adalah surat keputusan (beschikking) yang dikeluarkan Ketua MA mengenai satu hal tertentu.
Bagaimana keabsahan produk-produk hukum MA tersebut? Seperti yang Anda sebutkan, jawaban atas pertanyaan ini bisa dirujuk pada UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU 10/2004”), yang telah diganti dengan UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU 12/2011”). Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011 mengatur: “Jenis peraturan perundang-undangan selain yang disebut dalam Pasal ayat (1) mencakup peraturan yang ditetapkan…Mahkamah Agung…”. Rumusan ini senafas dengan Pasal 7 ayat (4) dan penjelasan UU 10/2004. Selanjutnya, Pasal 8 ayat (2) UU 12/2011 menegaskan peraturan perundang-undangan tersebut diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.
Frasa ‘kekuatan hukum’ di sini, menurut Yuliandri (2010: 67-68) adalah sesuai dengan hierarki peraturan perundang-undangan, yaitu perjenjangan setiap jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Yuliandri berpendapat jenis peraturan lain (dalam konteks ini peraturan yang diterbitkan MA) seharusnya juga tunduk pada prinsip hierarki.
Jimly Asshiddiqie (2004: 278-279) memasukkan peraturan MA sebagai peraturan yang bersifat khusus sehingga tunduk pada prinsip lex specialis derogat legi generalis. Namun, Jimly mengkritik bentuk surat edaran yang materinya bersifat pengaturan. Jika materinya berisi peraturan, sebaiknya bentuk produk hukumnya adalah peraturan. Sedangkan, HAS Natabaya (2008: 142-143) mengatakan bahwa rumusan Pasal 7 ayat (4) dan penjelasan UU 10/ 2004 mengandung arti tidak lagi dibedakan peraturan perundang-undangan yang murni dan yang semu atau pseudo.
Lalu, apakah peradilan tunduk kepada produk hukum yang dikeluarkan MA? Pasal 32 ayat (4) UUMA menggunakan frasa ‘semua lingkungan peradilan’. Ketentuan ini perlu dikaitkan dengan fungsi pengawasan MA terhadap peradilan umum, peradilan agama, peradilan tata usaha negara, dan peradilan militer. Ukuran yang dipakai undang-undang adalah jangan sampai produk hukum itu ‘mengurangi kebebasan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara’.[*hukumonline.com]