Hukum Mengabadikan Orang Besar
Monday, 22 June 2015
Sudut Hukum | Barangkali akan ada orang berkata:
Apakah tidak memenuhi suatu maksud umat untuk mengembalikan sebagian keindahan
yang pernah dicapai oleh orang-orang besar kita yang telah berhasil mengisi
lembaran sejarah yang berharga itu, lantas para pembesar itu diabadikan dalam
bentuk patung agar menjadi peringatan generasi berikutnya terhadap jasa-jasa
dan keunggulan yang pernah mereka capai; sebab peringatan bangsa itu sering
dilupakan dan pertukaran malam dan siang itu sendiri sebenarnya yang membawa
lupa?
Untuk menjawab persoalan ini, perlu
dijelaskan, bahawa Islam sama sekali tidak suka berlebih-lebihan dalam
menghargai seseorang, betapapun tingginya kedudukan orang tersebut, baik mereka
yang masih hidup ataupun yang sudah mati.
Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:
"Jangan kamu menghormat aku seperti orang-orang Nasrani menghormati Isa bin Maryam, tetapi katakanlah, bahawa Muhammad itu hamba Allah dan RasulNya." (Riwayat Bukhari dan lain-lain)
Mereka bermaksud akan berdiri
apabila melihat Nabi, sebagai suatu penghormatan kepadanya dan untuk
mengagungkan kedudukannya.
Cara semacam itu dilarang oleh Nabi
dengan sabdanya:
"Jangan kamu berdiri seperti orang-orang ajam (selain Arab) yang berdiri untuk menghormat satu sama lain." (Riwayat Abu Daud dan Ibnu Majah)
Beliau pun memberikan suatu
peringatan kepada umatnya, sikap yang berlebih-lebihan terhadap kedudukan Nabi
sesudah beliau mati, maka bersabdalah Nabi sebagai berikut:
"Jangan kamu menjadikan kuburku ini sebagai tempat hariraya." (Riwayat Abu Daud)
Dan dalam doanya kepada Tuhannya
beliau mengatakan:
"Ya Allah! Jangan engkau jadikan kuburku sebagai berhala yang disembah." (Riwayat Malik)
Ada beberapa orang datang kepada
Nabi s.a.w., mereka itu memanggil Nabi dengan kata-katanya:
"Hai orang baik kami dan anak orang baik kami, hai tuan kami dan anak tuan kami."
Mendengar panggilan seperti itu,
Nabi kemudian menegurnya dengan sabdanya sebagai berikut:
"Hai manusia! Ucapkanlah seperti ucapanmu biasa atau hampir seperti ucapanmu yang biasa itu, jangan kamu dapat diperdayakan oleh syaitan. Saya adalah Muhammad, hamba Allah dan pesuruhNya. Saya tidak suka kamu mengangkat aku lebih dari kedudukanku yang telah Allah tempatkan aku." (Riwayat Nasa'i)
Agama ini (baca Islam) pendiriannya
dalam masalah menghormat orang, tidak suka seseorang itu diangkat-angkat
seperti berhala yang didirikan dengan biaya beribu-ribu supaya orang-orang
memberikan penghormatan kepadanya.
Banyak sekali material yang
dimasukkan oleh penganjur-penganjur kebesaran dan jurukunci tempat-tempat
bersejarah melalui pintu orang-orang atau pengikut dan ekornya yang telah mampu
mendirikan berhala ini. Dengan begitu, maka pada hakikatnya mereka ini telah
menyesatkan rakyat dengan menggunakan orang-orang besar yang jujur itu.
Keabadian hakiki yang dikenal di
kalangan umat Islam hanyalah Allah yang mengetahui segala yang rahsia dan
tersembunyi, yang tidak sesat dan tidak lupa. Sedang kebanyakan para pembesar
yang namanya diabadikan di sisi Allah adalah orang-orang yang tidak begitu dikenal
oleh manusia. Hal ini justeru kerana Allah suka kepada orang-orang yang baik,
taqwa dan tidak perlu menampak-nampakkan kepada orang lain. Mereka ini apabila
datang tidak dikenal, dan apabila pergi tidak dicari.
Sekalipun keabadian itu sangat perlu
bagi manusia, tetapi tidak mesti dengan didirikannya patung untuk orang-orang
besar yang perlu diabadikan itu. Cara untuk mengabadikan yang dibenarkan oleh
Islam ialah mengabadikan mereka itu ke dalam hati dan lisan, iaitu dengan
menyebut keberjayaan perjwangan mereka dan peninggalan-peninggalan yang
baik-baik yang ditinggalkan untuk generasi sesudah mereka. Dengan demikian
mereka itu akan selalu menjadi sebutan orang-orang belakangan.
Rasulullah s.a.w. sendiri dan begitu
juga para khalifah dan pemuka-pemuka Islam lainnya, tidak ada yang diabadikan
dengan berbentuk materi dan patung-patung yang terbuat dari batu yang dipahat.
Keabadian mereka itu semata-mata
adalah kerana sifat-sifat baiknya (manaqibnya) yang diceritakan oleh
orang-orang dulu (salaf) kepada orang-orang belakangan (khalaf) dan yang
diceritakan oleh orang-orang tua kepada anak-anaknya. Sifat beliau itu tertanam
dalam hati, selalu disebut dalam lisan, selalu mengumandang di majlis dan
klub-klub serta memenuhi hati, walaupun tanpa diwujudkan dengan patung dan
gambar.[*]