Keputusan Muktamar NU Tentang Kedudukan Hak Cipta Dalam Hukum Waris
Sunday, 14 June 2015
Sudut Hukum | Keputusan Muktamar NU
Tentang Kedudukan Hak Cipta Dalam Hukum Waris
Di samping masalah ibadah NU juga memberikan respon terhadap masalah-masalah
yang aktual dalam melakukan bahtsul masail, ini terbukti bahwa
NU mengadakan pembahasan dalam muktamar ke-28 tentang Kedudukan
Hak Cipta Dalam Hukum Waris.
Permasalahan yang timbul sekarang ini adalah munculnya suatu fenomena
di masyarakat dewasa ini bagaimana jika hak cipta ini dijadikan sebagai
harta warisan yang antara pewaris dan ahli warisnya saling mewarisi satu
sama lain. Kalau menurut Pasal 3 Undang-Undang Hak Cipta No. 19 Tahun 2002,
mungkin sudah jelas bahwa hak cipta itu dianggap sebagai benda bergerak yang
bisa beralih atau dialihkan untuk sebagian atau seluruhnya, dengan cara
pewarisan, hibah, wasiat, dijadikan milik negara dan diperjanjikan.
Permasalahan
diatas jika dikaji dari sudut pandang Islam, Kedudukan Hak Cipta Dalam HukumWaris dikategorikan sebagai permasalahan fiqih sosial. Fiqih memiliki
prinsip-prinsip antara lain:
1. Formulasi dari kajian (penalaran) faqih (fuqaha), dan kebenarannya bersifat
nisbi (relative).
2. Fiqih sifatnya beragam (Difersity), sunni dengan empat
madzhab terkenalnya
Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali.
3. Fiqih berwatak liberal.
4. Fiqih mengalami perubahan seiring dengan tuntutan ruang dan waktu, dengan
kata lain fiqih itu dinamis.
5. Fiqih bercorak realistis.28
Sejalan dengan tuntutan jaman yang pasti berkembang terus, maka aktulisasi
fiqih Islam merupakan suatu keniscayaan. Ada tiga komponen yang dapat berperan
disini, yakni: Ulama, Negara/Pemerintah (Aulia/Amr) dan masyarakat
sebagai subyek hukum (fiqh).
Ulama atau Fuqaha
sebagai pemegang otoritas dalam mereformulasikan fiqih sosial, selain memiliki
keberanian dan persyaratan yang memadai intuk menjawab persoalan, juga memiliki
kepekaan yang tinggi dalam menagkap persoalan dilingkungannya. Kemudian
berusaha memberikan solusi, apakah itu secara individual (Fardhi) atau
kolektif kelembagaan (Jama’iy).
Nahdlatul Ulama
(NU) memandang problematika yang terjadi di kalangan masyarakat mengenai
permasalahan tentang kedudukan hak cipta dalam hukum waris. Dalam menyikapi
permasalahan tersebut, maka dewan syuriyah memutuskan untuk memberikan
solusi terhadap permasalahan tersebut dalam muktamar ke-28 yang diadakan di
Yogyakarta pada tahun 1989. Adapun isi materi keputusan tersebut adalah :
Soal
: Apakah Hak Cipta menghasilkan uang atau nilai ekonomi selama dalam waktu yang
ditetapkan menurut Undang-Undang Hak Cipta, bagaimanakah kedudukanya dalam
hukum waris, sedangkan harta mayit yang lain, sudah lama dibagi waris dan
bagaimana pula kaitannya dengan zakat.
Jawab
: Kedudukan Hak Cipta dalam hukum waris adalah termasuk tirkah sekalipun
harta almarhum yang lain sudah lama di bagi. Adapun kaitanya dengan zakat
adalah seperti halnya mal ( harta
) biasa. [1]
Pengambilan dalil dari jawaban mengenai kedudukan hak cipta dalam hukumwaris menggunakan kitab sebagai berikut:
1. Dalam kitab Al-Qulyubi Juz III halaman 135.
Artinya : “ Harta Pusaka adalah yang ditinggalkan oleh mayit
walaupun denga sesuatu sebab atau bukan berupa harta seperti suatu keahlian,
ataupun dalam bentuk khamar yang kemudian menjadi cuka setelah kematiannya,
atau denda menuduh zina atau buruan yang masuk dalam jaring yang telah dipasang
setelah kematiannya.
2. Dalam kitab I’anatut Thalibin juz III halaman 223
Artinya : “ Harta Pusaka adalah apa saja yang ditinggalkan oleh
mayit, baik dalam bentuk harta maupun hak.
Dari pengambilan
dua dalil tersebut yang di jadikan sebagia landasan keputusan mengenai
kedudukan hak cipta dalam hukum waris dapat di ketahui bahwa harta pusaka atau
harta warisan adalah seluruh harta yang ditiggalkan oleh pewaris tidak hanya
berupa harta peniggalan yang berupa harta benda saja, akan tetapi juga bisa
berupa hak-haknya ataupun keahlian atau ketrampilan yang di wariskan oleh
pewaris kepada ahli warisnya. Hak Cipta yang merupakan benda yang bergerak yang
dapat beralih atau dialih tangankan baik secara keseluruhan atau sebagian salah
satunya dengan cara pewarisan.
[1]
Ahmad Rofiq, Fiqih
Kontekstual: Dari Normatif Kepemaknaan Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, hlm 445-446