Perhitungan Iddah Menurut Para Ulama
Sunday, 7 June 2015
Sudut Hukum | Berkaitan
dengan iddah, ada beberapa permasalahan iddah yang menjadi perdebatan di kalangan para
ulama.
a.
Iddah wanita yang khalwat
Hanafi,
Maliki, dan Hambali mengatakan : apabila telah berkhalwat dengannya, tetapi
tidak sampai mencampurinya, lalu istrinya tersebut ditalak, maka si istri harus
menjalani iddah persis seperti istri yang telah dicampuri. Sedangkan menurut
Imamiyah dan Syafi’i, khalwat tidak membawa akibat apapun.
b.
Arti quru’
Di
dalam Al-Qur’an telah dierangkan secara jelas bahwasanya wanita yang ditalak
suaminya sedangkan ia masih terbiasa haid, maka waktu tunggu baginya adalah
tiga kali quru’. Akan tetapi, para ulama berbeda
pandangan dalam memahami arti quru’ ini. Menurut Maliki dan Syafi’i quru’ adalah
masa suci. Sedangkan menurut pendapat
Hanafi,
quru’ adalah haid.
Hukum
positif di Indonesia sendiri menetapkan quru’ sebagai masa suci karena bermazhabkan Syafi’iyyah.
Sehingga, iddah itu mulai dihitung ketika wanita tersebut mengalami suci.
c.
Tidak haid selama menjalani iddah kematian
Malik
berpendapat bahwa di antara syarat sempurnanya iddah ialah agar istri tersebut haid satu
kali dalam masa tersebut. Jika ia tidak mengalami haid, Malik menganggapnya
sebagai orang yang diragukan hamil. Oleh karena itu, ia menjalani iddah hamil.
Diriwayatkan
pula pendapat lain dari Malik bahwa istri tersebut bisa jadi tidak haid dan bisa jadi
pula sedang hamil, yakni jika kebiasaan
masa haidnya itu lebih banyak dari masa iddah dan boleh jadi tidak ada, yakni orang perempuan
yang menurut kebiasaan haidnya lebih
banyak dari empat bulan.
Menurut
Ibnu Qosim, apabila iddah kematian telah berlaku, sedang
wanita itu tidak terdapat tanda-tanda kehamilan, maka ia boleh kawin. Pendapat ini dipegangi oleh
jumhur fuqaha’ Amshar, yaitu Abu Hanifah, Syafi’i, dan Tsauri.
d.
Iddah wanita yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil
Para
ulama sepakat bahwa iddah wanita yang ditinggal mati suami adalah 4 bulan 10
hari baik yang pernah haid maupun yang tidak haid sebagaimana ketetapan dalam
Al-Qur’an. Namun, ada ikhtilaf di kalangan para ulama apabila wanita yang
ditinggal mati suami itu dalam keadaan hamil.
Mayoritas
ulama mazhab yakni Maliki, Syafi’i, Hanafi, dan Hambali
berpendapat bahwa dia harus menunggu sampai dia melahirkan
anaknya, sekalipun hanya beberapa saat sesudah dia ditinggal mati oleh suaminya itu.
Bahkan, andai jasad suaminya belum
dikuburkan
sekalipun.42 Ini berdasarkan firman Allah :
Artinya
: “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai
mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah,
niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”.
Sedangkan
Imamiyah, mengatakan, iddah wanita hamil yang ditinggal
mati suaminya adalah iddah paling panjang di antara waktu melahirkan dan empat bulan sepuluh
hari. Kalau dia telah melewati waktu empat bulan sepuluh hari, tapi belum
melahirkan, maka iddahnya hingga dia melahirkan. Akan tetapi bila dia
melahirkan sebelum empat bulan sepuluh hari, maka iddahnya adalah empat bulan
sepuluh hari.
e.
Iddah bagi wanita yang suaminya hilang (mafqud)
Menurut
pendapat Hanafi dan Syafi’i dalam qaul jadid-nya, serta pendapat Hambali
dalam salah satu riwayatnya menyebutkan, istri tersebut tidak boleh menikah
lagi hingga berlalu masa (menurut adat) bahwa suaminya tidak hidup lagi sesudah
berlalu masa tersebut.
Hanafi
memberi batasan untuk masa penantian itu adalah 120 tahun. Sedangkan Syafi’i dan
Hambali memberi batasan waktu 90 tahun. Namun, menurut pendapat Maliki dan
Syafi’i dalam qaul qadim-nya dan yang dipilih oleh kebanyakan para ulama
pengikutnya serta yang diamalkan oleh Umar r.a. tanpa ada seorang pun di antara
para sahabat lainnya yang mengingkari perbuatannya, dan juga menurut pendapat
Hambali dalam riwayat lainnya: istri hendaknya menanti selama 4 tahun, yaitu
ukuran maksimal masa mengandung di tambah 4 bulan 10 hari, yakni sebagai masa iddah
atas kematian suami. Setelah itu, ia boleh menikah lagi.
f.
Iddah wanita yang istihadah
Wanita
yang mengalami istihadah, yakni mengeluarkan darah dari kemaluannya tetapi
bukan darah haid, menurut Imam Malik wanita tersebut memiliki perhitungan iddah
tersendiri yang berbeda dengan iddah wanita biasa.
Jika
wanita tersebut tidak dapat membedakan antara darah haid dan darah istihadah maka iddah
baginya adalah selama satu tahun.
Namun,
apabila ia dapat membedakan antara kedua darah itu, maka ada dua riwayat dari Imam Malik.
Riwayat pertama mengatakan bahwa iddahnya adalah satu tahun. Dan riwayat kedua
mengatakan, ia disuruh mengadakan pembedaan lalu beriddah berdasarkan haid.
Abu
Hanifah berpendapat bahwa iddahnya adalah bilangan haid, jika darah haid itu sudah jelas
maka ia beriddah selama tiga bulan.
Sedangkan
menurut Syafi’i, iddah wanita itu berdasarkan pembedaan antara kedua darah tersebut lalu
beriddah dengan bilangan hari haidnya
pada
hari-hari sehatnya.
g.
Iddah wanita hamil karena zina
Perdebatan
mengenai ketentuan iddah hamil karena zina ini telah diteliti oleh Muhammad
Isna Wahyudi yang ditulis dalam bukunya yang berjudul Fiqh ‘Iddah Klasik dan
Kontemporer.
Menurut
ulama Syafi’iyyah dan Hanafiyyah, perempuan
tersebut
tidak diwajibkan untuk beriddah. Sebab, iddah bertujuan untuk menjaga nasab,
sementara persetubuhan dalam bentuk zina tidak menyebabkan hubungan nasab
dengan laki-laki yang menyebabkan hamil. Menurut ulama Malikiyyah, wanita
tersebut sama kedudukannya dengan perempuan yang dicampuri secara syubhat sehingga
dia harus beriddah untuk mengetahui kebersihan rahim. Tapi, jika ia dikenakan
hukum hadd maka ia cukup menunggu satu kali haid saja. Sedangkan ulama
Hanabilah mewajibkan perempuan itu untuk menjalankan iddah seperti perempuan
yang ditalak.
h.
Wanita yang menikah pada waktu menjalani masa iddah
Menurut
Syafi’i, jika wanita menikah dalam masa iddahnya maka wanita itu harus beriddah
dengan dua iddah secara bersamaan. Misalnya, seorang wanita ditalak oleh
suaminya yang pertama. Sebelum iddah wanita tersebut habis, ia menikah lagi
dengan laki-laki lain.
Maka perkawinan dengan laki-laki kedua itu harus dibatalkan, dan wanita
tersebut menjalani iddah dari suami yang pertama kemudian beriddah lagi dari
suami yang kedua. [*]