-->

Perhitungan Iddah Menurut Para Ulama

Sudut Hukum | Berkaitan dengan iddah, ada beberapa permasalahan iddah yang menjadi perdebatan di kalangan para ulama.

a. Iddah wanita yang khalwat
Hanafi, Maliki, dan Hambali mengatakan : apabila telah berkhalwat dengannya, tetapi tidak sampai mencampurinya, lalu istrinya tersebut ditalak, maka si istri harus menjalani iddah persis seperti istri yang telah dicampuri. Sedangkan menurut Imamiyah dan Syafi’i, khalwat tidak membawa akibat apapun.

b. Arti quru’
Di dalam Al-Qur’an telah dierangkan secara jelas bahwasanya wanita yang ditalak suaminya sedangkan ia masih terbiasa haid, maka waktu tunggu baginya adalah tiga kali quru’. Akan tetapi, para ulama berbeda pandangan dalam memahami arti quru’ ini. Menurut Maliki dan Syafi’i quru’ adalah masa suci. Sedangkan menurut pendapat
Hanafi, quru’ adalah haid.

Hukum positif di Indonesia sendiri menetapkan quru’ sebagai masa suci karena bermazhabkan Syafi’iyyah. Sehingga, iddah itu mulai dihitung ketika wanita tersebut mengalami suci.

c. Tidak haid selama menjalani iddah kematian
Perhitungan Iddah Menurut Para Ulama
Malik berpendapat bahwa di antara syarat sempurnanya iddah ialah agar istri tersebut haid satu kali dalam masa tersebut. Jika ia tidak mengalami haid, Malik menganggapnya sebagai orang yang diragukan hamil. Oleh karena itu, ia menjalani iddah hamil.

Diriwayatkan pula pendapat lain dari Malik bahwa istri tersebut bisa jadi tidak haid dan bisa jadi pula sedang hamil, yakni jika kebiasaan masa haidnya itu lebih banyak dari masa iddah dan boleh jadi tidak ada, yakni orang perempuan yang menurut kebiasaan haidnya lebih banyak dari empat bulan.

Menurut Ibnu Qosim, apabila iddah kematian telah berlaku, sedang wanita itu tidak terdapat tanda-tanda kehamilan, maka ia boleh kawin. Pendapat ini dipegangi oleh jumhur fuqaha’ Amshar, yaitu Abu Hanifah, Syafi’i, dan Tsauri.

d. Iddah wanita yang ditinggal mati suaminya dalam keadaan hamil
Para ulama sepakat bahwa iddah wanita yang ditinggal mati suami adalah 4 bulan 10 hari baik yang pernah haid maupun yang tidak haid sebagaimana ketetapan dalam Al-Qur’an. Namun, ada ikhtilaf di kalangan para ulama apabila wanita yang ditinggal mati suami itu dalam keadaan hamil.

Mayoritas ulama mazhab yakni Maliki, Syafi’i, Hanafi, dan Hambali berpendapat bahwa dia harus menunggu sampai dia melahirkan anaknya, sekalipun hanya beberapa saat sesudah dia ditinggal mati oleh suaminya itu. Bahkan, andai jasad suaminya belum dikuburkan sekalipun.42 Ini berdasarkan firman Allah :
Artinya : “Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya. Dan barang siapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Allah menjadikan baginya kemudahan dalam urusannya”.

Sedangkan Imamiyah, mengatakan, iddah wanita hamil yang ditinggal mati suaminya adalah iddah paling panjang di antara waktu melahirkan dan empat bulan sepuluh hari. Kalau dia telah melewati waktu empat bulan sepuluh hari, tapi belum melahirkan, maka iddahnya hingga dia melahirkan. Akan tetapi bila dia melahirkan sebelum empat bulan sepuluh hari, maka iddahnya adalah empat bulan sepuluh hari.

e. Iddah bagi wanita yang suaminya hilang (mafqud)
Menurut pendapat Hanafi dan Syafi’i dalam qaul jadid-nya, serta pendapat Hambali dalam salah satu riwayatnya menyebutkan, istri tersebut tidak boleh menikah lagi hingga berlalu masa (menurut adat) bahwa suaminya tidak hidup lagi sesudah berlalu masa tersebut.

Hanafi memberi batasan untuk masa penantian itu adalah 120 tahun. Sedangkan Syafi’i dan Hambali memberi batasan waktu 90 tahun. Namun, menurut pendapat Maliki dan Syafi’i dalam qaul qadim-nya dan yang dipilih oleh kebanyakan para ulama pengikutnya serta yang diamalkan oleh Umar r.a. tanpa ada seorang pun di antara para sahabat lainnya yang mengingkari perbuatannya, dan juga menurut pendapat Hambali dalam riwayat lainnya: istri hendaknya menanti selama 4 tahun, yaitu ukuran maksimal masa mengandung di tambah 4 bulan 10 hari, yakni sebagai masa iddah atas kematian suami. Setelah itu, ia boleh menikah lagi.

f. Iddah wanita yang istihadah
Wanita yang mengalami istihadah, yakni mengeluarkan darah dari kemaluannya tetapi bukan darah haid, menurut Imam Malik wanita tersebut memiliki perhitungan iddah tersendiri yang berbeda dengan iddah wanita biasa.

Jika wanita tersebut tidak dapat membedakan antara darah haid dan darah istihadah maka iddah baginya adalah selama satu tahun. Namun, apabila ia dapat membedakan antara kedua darah itu, maka ada dua riwayat dari Imam Malik. Riwayat pertama mengatakan bahwa iddahnya adalah satu tahun. Dan riwayat kedua mengatakan, ia disuruh mengadakan pembedaan lalu beriddah berdasarkan haid.

Abu Hanifah berpendapat bahwa iddahnya adalah bilangan haid, jika darah haid itu sudah jelas maka ia beriddah selama tiga bulan. Sedangkan menurut Syafi’i, iddah wanita itu berdasarkan pembedaan antara kedua darah tersebut lalu beriddah dengan bilangan hari haidnya pada hari-hari sehatnya.

g. Iddah wanita hamil karena zina
Perdebatan mengenai ketentuan iddah hamil karena zina ini telah diteliti oleh Muhammad Isna Wahyudi yang ditulis dalam bukunya yang berjudul Fiqh ‘Iddah Klasik dan Kontemporer.

Menurut ulama Syafi’iyyah dan Hanafiyyah, perempuan tersebut tidak diwajibkan untuk beriddah. Sebab, iddah bertujuan untuk menjaga nasab, sementara persetubuhan dalam bentuk zina tidak menyebabkan hubungan nasab dengan laki-laki yang menyebabkan hamil. Menurut ulama Malikiyyah, wanita tersebut sama kedudukannya dengan perempuan yang dicampuri secara syubhat sehingga dia harus beriddah untuk mengetahui kebersihan rahim. Tapi, jika ia dikenakan hukum hadd maka ia cukup menunggu satu kali haid saja. Sedangkan ulama Hanabilah mewajibkan perempuan itu untuk menjalankan iddah seperti perempuan yang ditalak.

h. Wanita yang menikah pada waktu menjalani masa iddah

Menurut Syafi’i, jika wanita menikah dalam masa iddahnya maka wanita itu harus beriddah dengan dua iddah secara bersamaan. Misalnya, seorang wanita ditalak oleh suaminya yang pertama. Sebelum iddah wanita tersebut habis, ia menikah lagi dengan laki-laki lain. Maka perkawinan dengan laki-laki kedua itu harus dibatalkan, dan wanita tersebut menjalani iddah dari suami yang pertama kemudian beriddah lagi dari suami yang kedua. [*]

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel