Hadis Sebagai Sumber Hukum
Thursday, 30 July 2015
Sudut Hukum | Al-Qur’an benar-benar memberikan otoritas yang tak terbantahkan kepada Nabi untuk menjelaskan al-Qur’an. Bagaimana tidak penjelasan-penjelasan al-Qur’an yang lebih banyak bersifat aturan-aturan dasar dan prinsip-prinsip membutuh penerjemah aturan tersebut dalam tataran praktis. Itu sebabnya al-Qur’an menjelaskan bahwa ia diturunkan agar dapat dijelaskan oleh Nabi kepada manusia.
… وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُون (النحل: 44
…Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur’an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan (Q.S. al-Nahl: 44)
Adalah kenyataan bahwa banyak petunjuk-petunjuk al-Qur’an telah dijelaskan oleh hadis-hadis Nabi, sehingga dapat dilaksanakan oleh masyarakat muslim dengan baik. Para ulama melihat ada dua bentuk bayan al-Qur’an yang tidak diperselisihkan, yaitu bayan ta’kid dan bayan tafsir. Bayan ta’kid adalah hadis-hadis Nabi yang memberikan penegasan terhadap apa yang sudah dinyatakan oleh al-Qur’an. Jadi di sini, hadis tidak membuat perincian. Sebagai contoh, ketentuan awal puasa yang disebutkan oleh al-Qur’an: “Barangsiapa di antara kamu menyaksikan bulan itu (hilal), maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu… (Q.S. al-Baqarah: 185)
Hadis Nabi memberikan pengesan terhadap pernyataan al-Qur’an dengan mengatakan jangan berpuasa kecuali bila sudah melihat hilal.
لا تَصوموا حتّى تَرَوُا الهلالَ, ولا تُفطِروا حتّى تَرَوْه, فإِن غُمّ عليكم فاقدُروا له (رواه البخاري ومسلم) (Abd al-Baqi: II. 3).
Janganlah kamu berpuasa sehingga kamu melihat hilal (bulan Ramadhan), dan jangan pula berhari raya sehingga kamu juga melihat hilal (bulan Syawal). Jika tertutup awan, maka perkirakan sajalah (H.R. Bukhari dan Muslim)
Sedangkan bayan tafsir adalah hadis-hadis yang membuat perincian, pembatasan, atau aturan-aturan teknis terhadap perintah al-Qur’an. Sebagai contoh perintah shalat. Al-Qur’an hanya memerintahkan agar orang-orang yang beriman melaksanakan shalat, tetapi tidak merinci bagaimana cara melakukan shalat. Oleh karena itu hadis menjelaskan teknis pelaksanaan shalat.
عَنْ أَبِـي هُرَيْرَةَ قال: قَالَ رسول الله صلى الله عليه وسلم: إذَا قُمْتَ إلَى الصّلاَةِ فَكَبّرْ ثُمّ اقْرَأْ مَا تَيَسّرَ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ ثُمّ ارْكَعْ حَتّى تَطْمَئِنّ رَاكِعا ثُمّ ارْفَعْ حَتّى تَعْتَدِلَ قَائِما ثُمّ اسْجُدْ حَتّى تَطْمَئِنّ سَاجِدا ثُمّ ارْفَعْ حَتّى تَطْمَئِنّ جَالِسا ثُمّ افْعَلْ ذَلِكَ فِي صَلاَتِكَ كُلّهَا
Hadis riwayat Abu Hurairah, katanya: Rasulullah saw bersabda: Bila kamu hendak melaksanakan shalat, maka mulailah dengan takbir, kemudian baca ayat al-Qur’an yang dapat kamu baca, kemudian ruku sehingga sempurna, lalu tegak kembali sehingga lurus, setelah itu sujud dengan sempurna, kemudian duduk sehingga sempurna. Begitulah setiap shalat yang kamu kerjakan. (Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku`lah beserta orang-orang yang ruku (H.R. Bukhari dan Muslim)
Sedangkan posisi hadis yang dipersepsi secara berbeda adalah hadis-hadis yang menjadi bayan tasyri’, yakni hadis-hadis yang menetapkan ketentuan hukum baru yang tidak disebutkan oleh al-Qur’an. Sebagai contoh, penetapan keharaman memakan binatang buas dan burung yang berkuku tajam. Keharaman kedua kelompok binatang ini tidak disebutkan dalam al-Qur’an, tetapi hanya ketentuan yang datang dari Nabi.
Posisi hadis yang demikian pentingnya di dalam kehidupan kaum muslimin, membuat ia diterima dan sangat diperhatikan oleh masyarakat muslim awal. Itu sebabnya terdapat banyak riwayat tentang antusias para sahabat dalam mendapatkan sabda-sabda nabi. Di samping itu, kesadaran yang kuat akan pentingnya hadis, diperkuat pula oleh al-Qur’an yang menyatakan: Apa yang diberikan Rasul kepadamu ambillah, dan apa yang dilarangnya, hentikanlah (QS. Al-Hasyr/59: 7).
Begitu kuatnya kesadaran akan pentingnya hadis-hadis Nabi, para sahabat melakukan pemeliharaan terhadap hadis-hadis nabi dengan berbagai cara. Para sarjana di bidang hadis mengungkapkan bahwa pemeliharaan hadis tidak hanya dilakukan dengan cara penghafalan, tetapi juga pencatatan-pencatatan secara pribadi (kitabah) dan pengamalan-pengalaman langsung dalam kehidupan sehari-hari. [*Maizuddin M. Nur]