Hak dan Kewajiban Suami Isteri menurut Hukum Islam
Friday, 10 July 2015
Sudut Hukum | Perkawinan merupakan suatu cara yang di
syari’atkan AllAh S.W.T sebagai
jalan bagi Manusia untuk berkembangbiak dan untuk kelestarian hidupnya setelah masing-masing pasangan
siap melakukan peranannya yang positif
dalam rangka merealisir tujuan perkawinan.[1] Jika
akad nikah telah sah maka akan menimbulkan akibat hukum dan dengan demikian
akan menimbulkan pula hak dan kewajiban dalam kapasitasnya sebagai
suami-isteri.
Adapun hak dan kewajiban suami isteri dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Hak isteri atas suami
Diantara hak isteri atas suami adalah:
1) Mahar:
Mahar merupakan pemberian yang dilakukan
seorang calon suami kepada
calon isterinya dalam bentuk apapun baik berupa uang maupun barang (harta benda).[2]
Allah berfirman: Artinya:”Berikanlah mas
kawin mahar kepada wanita yang kamu nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan”.(Q.S An Nisa’:4)
Kuantitas mahar tidak ditentukan oleh syari’at
Islam, hanya menurut kemampuan
suami yang disertai kerelaan dari sang isteri. Hal ini
disebabkan adanya perbedaan status sosial ekonomi masyarakat, ada yang kaya ada
yang miskin, lapang dan sempitnya rezeki, itulah sebabnya Islam menyerahkan
masalah kuantitas mahar itu sesuai dengan status sosial ekonomi masyarakat
berdasarkan kemampuan masing-masing orang atau keadaan dan tradisi keluarganya.
2) Nafkah
Para ulama’ sependapat bahwa diantara hak
isteri terhadap suami adalah
nafkah.8 Hal
ini berdasarkan firman Alloh Swt: Artinya:”Dan
kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara
yang ma’ruf”. (Q.S. Al –Baqoroh: 233)
Menurut Sayyid Sabiq, bahwa yang dimaksud
dengan nafkah adalah memenuhi
kebutuhan makan tempat tinggal (dan kalau ia seorang yang kaya maka pembantu rumah tangga dan
pengobatan istri juga masuk nafkah). Hal
ini dikarenakan seorang perempuan yang menjadi isteri bagi seorang
suami mempergunakan segala waktunya untuk kepentingan suaminya dan kepentingan
rumah tangganya.
Nafkah rumah tangga merupakan hal yang
sangat penting dalam membentuk
keluarga yang sejahtera, sehingga kebutuha pokok manusia terpenuhi. Adapun kuantitas nafkah yang
diberikan suami kepada isterinya adalah sesuai kemampuan suami.
Allah S.W.T berfirman: Artinya: ”Tempatkanlah
mereka (para isteri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu”.
(Q.S.At-Thalaq:6)
Nafkah diberikan suami kepada isteri dalam
sebuah ikatan perkawinan yang sah, yang masih berlangsung
dan isteri tidak nusyuz (durhaka).
Atau karena hal-hal lain yang menghalangi istri menerima belanja (nafkah).
3) Memperlakukan dan menjaga isteri dengan
baik
Suami wajib menghormati, bergaul dan
memperlakukan isterinya dengan
baik dan juga bersabar dalam menghadapinya.[3] Bergaul
dengan baik berarti menjadikan suasana pergaulan selalu indah dan selalu
diwarnai dengan kegembiraan yang timbul dari hati kehati sehingga keseimbangan rumah
tangga tetap terjaga dan terkendali.[4]
Allah S.W.T. telah berfirman: Artinya: ”Dan bergaullah
dengan mereka secara patut, kemudian jika kamu tidak menyukai mereka maka
bersabarlah karena mungkin
kamu
tidak menyukai sesuatu padahal Alloh menjadikan padanya kebaikan yang banyak”.(Q.S. An-nisa’:19)
Bergaul dengan cara yang baik berarti
memperlakukan dan menghormati
dengan cara yang wajar, memperhatikan kebutuhan isterinya, menahan diri dari sikap yang tidak
menyenangkan iseteri dan tidak boleh berlaku
kasar terhadap isterinya.[5] Hal
ini telah diajarkan oleh nabi Muhammad sebagai berikut: Artinya:”Hak
isteri kepada suami adalah memberi makan kepada isterinya apabila ia makan,
memberi pakaian kepadanya jika dia berpakaian, tidak memukul pada muka dan
tidak berbuat jelek serta tidak memisahkan diri kecuali dari tempat tidur”. [6]
Seorang suami tidak boleh memarahi isteri
sekalipun sang isteri memiliki
kekurangan-kekurangan, namun suami tidak boleh mengungkitungkit apa yang menjadi kelemahan isterinya karena
dibalik kekurangankekurangan yang
ada pada isterinya terdapat kelebihan-kelebihan yang dipunyai oleh isterinya. Di samping itu
totalitas waktu isterinya tercurahkan oleh ketaatanya kepada suami.
Rasulullah telah bersabda: Artinya:”Janganlah
Seorang Suami Mukmin memarahi seorang Isteri Mukminah. Jika tidak
suka dengan salah satu perilakunya, Ia dapat menerima perilaku yang lain”.
b. Hak suami atas isteri
Adapun diantara hak suami atas isteri
adalah sebagai berikut:
1) Suami ditaati oleh isteri
Isteri wajib mentaati suami selama dalam
hal-hal yang tidak maksiyat.
Istri menjaga dirinya sendiri dan juga harta suaminya, menjauhi diri dari
mencampuri sesuatu yang dapat menyusahkan suaminya, tidak cemberut dihadapan
dan tidak menunjukkan keadaan tidak disenangi oleh suaminya.[7] Isteri
hendaknya taat kepada suaminya dalam melaksanakan urusan rumah tangganya selama
suami menjalankan ketentuan-ketentuan berumah tangga.[8] Hal
ini berdasarkan firman Allah SWT sebagai berikut: Artinya:”…Sebab
itu maka wanita yang shalihah adalah wanita yang taat kepada Allah, lagi
memelihara diri dibalik pembelakangan suaminya oleh karena Allah telah
memelihara”.(Q.S.An-
Nisa’: 34)
Yang dimaksud taat dalam ayat ini ialah
patuh kepada Allah SWT dan
kepada suaminya. Perkataan “taat” bisanya hanya digunakan oleh Allah. Tetapi
dalam ayat ini digunakan untuk suami juga, hal ini menggambarkan bagaimana
sikap isteri yang baik terhadap suaminya. Allah menerangkan isteri harus
berlaku demikian karena suami itu telah memelihra isterinya dengan
sungguh-sungguh dalam kehidupan suamiisteri. [9]
Yang dimaksud menjaga dirinya di belakang
suaminya adalah menjaga
dirinya diwaktu suaminya tidak ada, tanpa berbuat khianat kepadanya baik mengenai diri atau harta
bendanya.[10] Seorang
isteri harus mentaati serta berbakti dan mengikuti segala yang diminta dan dikehendaki
suaminya asalkan tidak merupakan suatu hal yang berupa kemaksiyatan.[11]
2) Isteri tidak memasukkan orang yang dibenci
oleh suaminya kedalam rumahnya
kecuali dengan izin suaminya
Isteri wajib memelihara diri di balik pembelakangan suaminya, terutama
apabila suami bepergian, jangan
sekali-kali isteri melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan kecurgaan suami,
sehingga suami tidak merasa tenteram pikiranya dalam bepergian. Sebagaimana hadits nabi Muhammad
S.A.W. Sebagai berikut: Artinya: ” ketahuilah…bahwa kalian
punya hak terhadap Isteri-Isteri kalian dan isteri-isteri kalian punya hak
terhadap kalian. Hak kalian terhadap isteri-isteri kalian adalah tidak
bersenangsenang di tempat tidurmu bersama orang yang kalian benci dan tidak
boleh memasukkan orang yang kalian benci di dalam rumah. Dan hak mereka
terhadap kalian adalah kalian
memberi
pakaian dan makanan kepada mereka dengan baik”
Melakukan perbuatan terlarang tidak hanya
akan menghancurkan rumah
tangga tetapi juga akan mendapat siksa yang sangat berat dari Allah.
c. Hak bersama suami isteri
Diantara hak bersama suami dengan isteri
adalah antara lain sebagai berikut:
1) Halalnya pergaulan
Suami-isteri sama-sama mempunyai hak untuk
menggauli sebagai pasangan
suami-isteri dan memperoleh kesempatan saling menikmati atas dasar saling memerlukan.[12] Hal
ini tidak dapat dilakukan secara sepihak saja.
Allah Swt telah berfirman: Artinya: ”Mereka
(para isteri) adalah pakaian bagimu dan kamupun adalah Pakaian bagi mereka”. (Q.S.
Al- Baqrah: 187)
2) Hak saling memperoleh harta waris
Sebagai salah satu dampak dari perkawinan
yang sah bila salah seorang
meninggal dunia, suami sebagai pemimpin yang bertanggung jawab dan mencukupi nafkah serta keperluan
hidup isterinya maka bila Istrinya
mati dengan meninggalkan harta pusaka, sang suami berhak mendapatkan harta warisan. Demikian pula
isteri sebagai kawan hidup yang sama-sama merasakan suka-duka hidup berumah
tangga dan berkorban membantu suaminya, maka adillah kiranya bila isteri diberi
bagian yang pasti dari harta peninggalan suaminya.[13]
3) Hak timbal balik
Dalam kehidupan rumah tangga, salah satu
kriteria ideal untuk mencapai
keluarga yang sakinah, mawadah dan rahmah adalah suami sebagai pemimpin bagi keluarganya memimpin
istrinya untuk mendidik dan
memperlakukan isterinya secara proporsional sebagai perintah syari’at bahwa Allah S.W.T. telah menyebut laki-laki
merupakan sosok pemimpin bagi
perempuan, hal ini tersebut dalam firmanNya: Artinya:
”Laki-laki
itu adalah pemimpin bagi kaum perempuan karena Allah telah melebihkan
sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka
(laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka”.
Sebagai pemimpin bagi isteri dan
keluarganya maka suami wajib memberikan
bimbingan dan pendidikan kepada isterinya dan keluarganya agar tidak terjerumus ke dalam lembah
kemaksiatan dan kehinaan. Hal
ini telah jelas diterangkan oleh Allah dalam
firman-Nya: Artinya:”Wahai
Orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api
neraka”.
Sedangkan isteri sebagai seorang yang
dipimpin oleh suaminya hendaklah
taat dan patuh terhadap perintah suaminya (selama perintah suaminya tidak dalam hal kemaksiyatan),
isteri hendaknya mengerjakan perintah
suami dengan sabar dan tenang.
Demikian timbal-balik antara suami-isteri
dalam memperoleh haknya
masing-masing secara proporsional yang tidak merugikan kedua belah pihak. Inilah kriteria ideal sebagai
simbiosis mutualisme (hubungan ketergantungan
yang saling menguntungkan) dalam rumah tangga.[*]
[1] Sayid
Sabiq, fiqh Al-Sunnah, Jilid 2, Kairo: Dar Al-Fath Li Al- A’lam
Al-Araby, 1997, hlm.5.
[2] Sulaiman
Rasjid, Fiqih Islam, Bandung : Sinar baru, cet.ke-22,t.t, hlm. 365.
[3] Al-Sayid
Sabiq, Op,Cit, hlm.126
[4] Rs.
Abdul Azis, Rumah Tangga Bahagia Sejahtera, Semarang: CV. Wicaksana,
cet.ke 1, 1990, hlm.65.
[5] Huzaimah
Tahido, Hak dan kewajiban Pria dan Wanita”, Agus Tiarsa dalam tuntunan Islam tentang
kemitrasejajaranpria dan wanita (dalam perspektif islam), Jakarta:
Majlis Ulama’ Indonesia,
1999, hlm.82.
[6] Al-Khafidz
Abi Abdillah Muhammad Ibn Yazid Al-Qazwini, Sunan Ibnu Majah, Jilid 1, Dar Al-Fikr,
hlm.593-594, Abu dawud, Sunan Abi Dawud, Jilid 1,cet ke 1, Mesir: Isa Al-Babi
Al- Halabi WA
Auladih, 1952, hlm. 494.
[7] Al-Sayyid
Sabiq, op,cit, hlm.134
[8] Huzaemah
tahido, Hak dan Kewajiban Pria dan Wanita, Jakarta : Majlis Ulama’ Indonesia, 1999, hlm. 80-81
[9] Departemen
Agama, ilmu Fiqih, jilid II, Jakarta: Proyek Perguruan Tinggi Agama/
IAIN Jakarta, hlm.
163-164.
[10] Al-Sayyid
Sabiq, Loc.cit.
[11] Al-Alamah
Almarhum Al-Syaikh Muhamad Jamaludin Al-Dimasyiqi, Mau’idhah Al- Mu’minin,Indonesia:
Dar Ihya’ Al-kutub Al-Araby, Jilid.1,hlm.117
[12] Al-Tirmidzi, Sunan
Al-tirmidzi, Jilid 2,Dar Al-Fikr, t,t,hlm.315.
[13] Al-Sayyid
Sabiq, Op.cit, hlm.48.