Pengertian Nadzir
Friday, 10 July 2015
Sudut Hukum | Kata nadzir secara
etimologi berasal
dari kata kerja nazira – yandzaru yang berarti “menjaga” dan “mengurus”.[1] Di dalam kamus Arab Indonesia disebutkan
bahwa kata nadzir berarti;
“yang melihat”, “pemeriksa.”[2] Dengan demikian kata nadzir mempunyai
arti “pihak yang melakukan pemeriksaan atau pihak yang memeriksa suatu obyek
atau sesuatu hal yang berkaitan dengan obyek yang ada dalam pemeriksaannya itu.
Dalam terminologi fiqh, yang dimaksud dengan nadzir adalah orang yang diserahi kekuasaan dan kewajiban untuk mengurus
dan memelihara harta wakaf.[3] Jadi pengertian nadzir menurut istilah adalah orang atau badan yang
memegang amanat untuk memelihara dan mengurus harta wakaf dengan sebaik-baiknya
sesuai dengan wujud dan tujuan harta wakaf.[4]
Selain kata nadzir, dalam hukum Islam juga dikenal istilah mutawalli. Mutawalli merupakan sinonim dari
kata nadzir yang
mempunyai makna yang sama yakni orang yang diberi kuasa dan kewajiban untuk
mengurus harta wakaf.[5] Lebih jelas lagi dalam Peraturan Pemerintah
No. 28 Tahun 1977 di dalam ketentuan umum, butir keempat menyebutkan bahwa nadzir adalah kelompok orang atau badan hukum yang
diserahi tugas pemeliharaan dan pengurusan benda wakaf.
Meskipun hukum Islam tidak membahas masalah nadzir dengan jelas, akan tetapi ada hal-hal yang
mengisyaratkan tentang arti pentingnya kedudukan nadzir, karena nadzir merupakan salah satu dari unsur wakaf, tanpa nadzir maka wakaf tidak akan berjalan dengan baik.
Unsur-unsur pembentuk wakaf antara lain:
a. Wakif yaitu orang yang mewakafkan hartanya.
Orang yang mewakafkan hartanya menurut Islam disebut wakif. Yang dimaksud dengan wakif adalah subyek hukum, yakni orang yang berbuat.
Menurut peraturan perundang-undangan wakif ialah orang atau orang-orang atau badan hukum yang mewakafkan
tanah miliknya.[6] Bagi seseorang atau orang-orang yang hendak
mewakafkan tanahnya harus memenuhi beberapa syarat tertentu, yaitu:
- Mukallaf, yakni orang atau orang-orang yang dianggap mampu untuk melaksanakan perbuatan hukum.
- Tidak karena terpaksa. Pelaksanaann wakafnya harus atas dasar kehendaknya sendiri.
- Ia harus dapat mewakafkan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.[7]
b. Mauquf atau harta yang diwakafkan
Barang atau benda yang diwakafkan haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut;
- Harus tetap dzatnya, dan harus dapat dimanfaatkan untuk jangka waktu yang lama (tidak habis sekali pakai), pemanfaatannya haruslah untuk hal-hal yang halal dan sah menurut hukum Islam.
- Harta yang diwakafkan harus jelas wujud dan batas-batasnya.
- Benda yang diwakafkan dapat berupa benda tidak bergerak dan dapat juga berupa benda yang bergerak.
- Harta benda yang diwakafkan harus bebas dari segala beban.[8]
c. Mauquf ‘alaih
Unsur yang ketiga ini merupakan unsur yang berbentuk tujuan wakaf itu
sendiri, dimana tujuan wakaf harus untuk kepentingan peribadatan (masjid,
mushala, langgar dan lain-lain) atau untuk kepentingan umum lainnya (lembaga
pendidikan, yayasan atau lembaga sosial, pasar, jalan dan lain sebagainya)
sesuai dengan ajaran Islam.[9]
d. Sighat atau ikrar wakaf
Ikrar wakaf dalam peraturan perundang-undangan merupakan “suatu pernyataan
kehendak dari wakif untuk
mewakafkan tanah miliknya.” Pengucapan
ikrar wakaf ini harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:
- Ikrar harus jelas dan tegas kepada siapa (nadzir) dan untuk apa tanah tersebut diwakafkan.
- Ikrar wakaf harus disaksikan oleh dua orang saksi.
Disamping kedua syarat ikrar wakaf tersebut, menurut
perundangundangan yang berlaku pengucapannya harus dilakukan di hadapan Pejabat
Pembuat Akta Ikrar Wakaf (PPAIW) di Kecamatan setempat. Pernyataan
wakaf yang merupakan tanda penyerahan barang atau benda yang diwakafkan
dapat dilakukan secara lisan maupun dalam bentuk tulisan. [10]
[1]
Taufiq Hamami, Perwakafan Tanah
dalam Politik Hukum Agraria Nasional, Jakarta: Tatanusa,
2003, hlm. 97
[2]
Muhammad Yunus, Kamus
Arab Indonesia, Jakarta: Yayasan Penyelenggara Penterjemah
/ Pentafsir al-Qur’an, 1973, hlm. 457
[3]
Ibnu Syihab al-Ramli, Nihayah
al-Muhtaj, Juz IV, Beirut: Daar al-Kitab al-Alamiyah, 1996,
hlm. 610
[4] M.
Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam, Zakat dan Wakaf,
Jakarta: UI Press, 1988, hlm. 91
[5]
Abdir Rauf, al-Qur’an dan Ilmu
Hukum, Jakarta: Bulan Bintang, 1979, hlm. 147
[6]
PP. Nomor 28 Tahun 1977, Pasal 1 ayat (2) jo Permenag Nomor 1
Tahun 1978, Pasal 1 Huruf (c).
[7]
Taufiq Hamami, op. cit., hlm. 71-72
[8]
Abi Yahya Zakaria al-Anshari, Fathul
Wahab, Juz I, Semarang: Toha Putra, t.th., hlm. 259-261
[9] Ibid.
[10] M.
Daud Ali, op. cit., hlm. 85-87