Latar Belakang Lahirnya UU No. 23 Tahun 2004
Saturday, 4 July 2015
SUDUT HUKUM | UU
PKDRT yang disahkan tahun 2004 merupakan hasil perjuangan panjang kelompok
perempuan di Indonesia. UU PKDRT berangkat dengan tujuan untuk melindungi
perempuan khususnya dari kekerasan dalam rumah tangga. Tujuan ini sebenarnya
masih dapat kita lihat dalam Ketentuan Umum UU PKDRT.[1] Dalam
penjelasan Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam
Rumah Tangga disebutkan bahwa pembaharuan hukum yang berpihak pada kelompok
rentan atau subordinasi, khususnya perempuan, menjadi sangat diperlukan
sehubungan dengan banyaknya kasus kekerasan, khususnya dalam rumah tangga.[2]
Lahirnya
UU PKDRT merupakan salah satu tonggak sejarah bagi upaya perlindungan terhadap
korban kekerasan yang terjadi dalam lingkup rumah tangga khususnya kaum
perempuan dan anak sebagai kelompok yang rentan menjadi korban kekerasan. Di
samping itu undang-undang ini juga mengatur tentang langkah-langkah antisipasi
lahirnya kekerasan baru serta adanya kejelasan sanksi yang tegas bagi pelaku
kekerasan.[3]
Pembaharuan
hukum diperlukan karena Undang-undang yang ada belum memadai dan tidak sesuai
lagi dengan perkembangan hukum masyarakat. Sehubungan dengan itu, didorong
karena adanya suatu kebutuhan karena maraknya tindak kekerasan oleh suami,
terhadap anggota keluarganya, yang terjadi dalam rumah tangga. Walaupun secara
umum di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) telah diatur mengenai
penganiayaan dan kesusilaan serta penelantaran orang yang perlu diberi nafkah
dan kehidupan. Namun, tidak sepenuhnya dapat menangani kasus-kasus yang terjadi
dalam rumah tangga. Oleh karena itu, dibutuhkan undang-undang khusus4 (Lex
Speciallis)[4]
yang dapat menangani kasus kekerasan dalam rumah tangga serta melindungi
korban.[5]
Sebelum
adanya Undang-undang No. 23 tahun 2004 seakan-akan tidak pernah terjadi
tindakan kekerasan dalam ruang lingkup rumah tangga. Karena dahulu penanganan
kekerasan dalam ruang tangga selalu terlambat. Artinya, korban atau keluarganya
baru melaporkan kekerasan yang terjadi setelah mengalami luka parah atau bahkan
telah meninggal. Perbuatan pidana tersebut biasanya dituntut berdasarkan Pasal
351 KUHP tentang Penganiayaan atau Penganiayaan yang Menyebabkan Matinya Korban
(Pasal 351 ayat (3) KUHP). Kasus tersebut “hanya” digolongkan pada perbuatan
pidana biasa, bukan merupakan delik khusus yaitu kekerasan dalam rumah tangga.[6]
Dalam
hal penganiayaan terhadap istri (domestic violence) UU PKDRT memberikan
pemberatan hukuman, namun Kitab Undang-undang Hukum Pidana tidak mengaturnya
dalam bab atau pasal tersendiri, melainkan sebagian dari pasal penganiayaan
terhadap anggota keluarga. Selain itu, KUHP hanya mengakui kekerasan fisik
sebagai bentuk kejahatan, tidak mempertimbangkan kekerasan psikis atau seksual.[7]
UU
PKDRT selain mengatur ikhwal pencegahan dan perlindungan serta pemulihan
terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga, juga mengatur secara spesifik
kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dengan unsure tindak pidana yang
berbeda dengan tindak pidana penganiayaan yang diatur dalam KUHP.[8]
Jadi,
keberadaan Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan
dalam Rumah Tangga memiliki konstribusi positif dalam penegakan hukum kekerasan
dalam rumah tangga di Indonesia. Dengan adanya Undang-undang
ini polisi dapat melindungi korban sekaligus ada kepastian hukum bagi korban
dalam mencari keadilan. Jika kekerasan dalam rumah tangga tadinya diposisikan
sebagai kasus perdata yang menjadi urusan privat masing-masing individu, tetapi
sekarang telah menjadi kasus pidana sehingga menjadi urusan publik.[*]
[1] Ester Lianawati, Konflik Dalam
Rumah Tangga (Keadilan dan Kepedulian Proses Hukum KDRT Perspektif Psikologi
Feminis), (Yogyakarta: Paradigma Indonesia (Group Elmatera), t.t.,), hal.
153-154.
[2] Moerti Hadiarti Soeroso, Kekerasan
Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Yuridis-Viktimologis, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2010), hal. 89.14
[3] Ridwan, Kekerasan Berbasis
Gender (Rekonstruksi Teologis, Yuridis, dan Sosiologis), (Purwokerto: Pusat
Studi Gender (PSG) STAIN Purwokerto, 2006), hal.80.
[4] M. Darin Arif Muallifin, Pengantar
Tata Hukum Indonesia, 2003, hal. 5.
[5] Moerti Hadiarti Soeroso, Kekerasan
Dalam Rumah Tangga Dalam Perspektif Yuridis-Viktimologis, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2010), hal. 89.
[6] Ibid., hal. 36.
[7] Ibid., hal. 6.
[8] Ibid., hal. 90.