Perselisihan Perburuhan
Sunday, 26 July 2015
Sudut Hukum | Perselisihan
perburuhan menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) sub 2 UU No. 22 tahun
1957 adalah pertentangan antara majikan dan serikat buruh atau golongan serikat
buruh yang disebabkan tidak adanya persesuaian paham mengenai hubungan kerja.
Rumusan
pengertian tersebut di atas mengandung arti bahwa yang dapat berselisih dalam perselisihan
perburuhan hanyalah serikat buruh dengan majikan, oleh karena itu, buruh yang belum menjadi anggota serikat
buruh yang secara
perseorangan berselisih dengan majikan tidak atau belum terlindungi oleh UU No. 22/1957.
Perselisihan
perburuhan ada dua macam, yaitu:
- Perselisiahan hak, yaitu perselisihan yang terjadi karena isi perjanjian kerja tidak dipenuhi, padahal perjanjiankerja telah disepakati bersama.
- Perselisihan kepntingan, yaitu perselisiahan yang terjadi karena adanya usaha dari pihak serikat buruh untuk mengubah syarat-syarat perburuhan demi terpeliharanya kepentingan buruh, dan tujuan itu diarahkan kepada pihak pengusaha atau majikan.
Penyelesaian
perselisihan perburuhan dapat diupayakan melalui:
1. Badan Pemisah (Arbitrase)
2. Panitia Penyelesaian Perselisishan Perburuhan Daerah (P4D)
3. Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P)
4. Menteri Tenaga Kerja atau Pejabat di lingkungan Depnaker yang ditunjuk.
5. Pengadilan Negeri.
Upaya
penyelesaian perselisihan perburuhan dilakukan secara bertahap, yaitu tahap pertama, kedua, ketiga, keempat dan kelima.
1. Penyelesaian
Tahap Pertama
Pada
tahap ini diharapkan mereka dapat saling memahami permaslahannya, saling
menghargai sehingga perselisihan dapat diselesaikan dengan cepat. Dasar hukumdalam penyelesaian usaha penyelesaian tahap ini adalah Pasal 2 UUNo. 22 tahun
1957, yang menyatakan bahwa:
- bila terjadi perselisihan perburuhan, serikat buruh dan majikan mencari penyelesaian perselisihan itu dengan jalan damai melalui perundingan.
- Hasil perundingan yang dicapai setelah disusun dijadikan perjanjian perburuhan menurut ketentuan yang ada dalam perjanjian perburuhan.
Dalam
tahap ini terdapat beberapa proses yang harus dilalui karena sering dalam perundingan belum
tercapai kata sepakat. Apabila demikian situasinya, proses pertama adalah buruh
diminta memberitahukan secara resmi dan langsung kepada majikan baik tertulis maupun
lisan melalui wakilwakilnya.
Dalam
waktu 7 hari ditunggu reaksi dari majikan atas keterangan tersebut. Bila dalam waktu tersebut
belum ada reaksi, proses berikutnya adalah buruh malalui wakil-wakilnya
menyampaikan keluhan kepada wakil pengusaha setempat yang tertinggi
kedudukannya. Terhadap proses kedua ini, reaksi dari pihak majikan/wakil
pengusaha ditunggu dalam waktu 2 x 7 hari.
Bila
dalam waktu tersebut reaksi belum juga ada, buruh melalui wakilwakilnya memberi tahu kepada pegawai pengawas
(menurut Pasal 3 ayat (1) UUNo. 22 tahun
1957).
2.
Penyelesaian Tahap Kedua
Dalam
tahap ini pegawai pengawas berperan sebagai perantara untuk menyelesaikan perselisihan, oleh
karenanya ia berusaha dalam waktu 7 hari harus sudah selesai mengadakan penyelidikan tentang pokok permasalahannya. Dalam waktu 7 hari
tersebut sesuai dengan aturan permainan
dalam P4D, ia mulai berunding dengan para pihak yang bersangkutan. Apabila
perundingan menghasilkan kata sepakat, hasil tersebut dijadikan perjanjian
perburuhan, tetapi apabila belum berhasil, pegawai pengawas meneruskan hal
tersebut kepada P4D dan para pihak yang bersangkutan diberi tahu tentang hal
itu.
Dengan
dikeluarkannya Peraturan Menteri Tenaga Keja No. 04/MEN/1986, prosedur penyelesaian perselisihan perburuhan tahap pertama dan kedua mengalami sedikit
modulasi sebagai berikut:
jika perundingan antara pengusaha dan buruh tidak berhasil mencapai kata sepakat dalam penyelesaian perselisihan yang terjadi di antara mereka secara damai, kedua pihak atau salah satu pihak mengajukan permohonan kepada kantor departemen tenaga kerja untuk diperantarai oleh pegawai perantara, pegawai perantara harus sudah melakukan tugasnya sebagai perantara. Jika usaha pegawai peratara tidak berhasil, atau berhasil tetapi hasilnya adalah para pihak sepakat untuk melakukan pemutusan hubungan kerja, pegawai perantara segera menyampaikan persoalan itu kepada kepala kantor wilayah departeman tenaga kerja. Dalam waktu 30 hari setelah menerima laporan, kepala kantor wilayah departeman tenaga kerja meminta petunjuk terlebih dahulu dari menteri tenaga kerja sebelum perselisihan itu disidangkan oleh P4D atau P4P.”
3.
Penyelesaian Tahap Ketiga
Pada
tahap ini penyelesain dilakukan oleh P4P karena para pihak belum puas terhadap keputusan P4D. Dasar
hukum dari penyelesaian tahap ini adalah Pasal 11 UUNo. 22 Tahun 1957. Tim P4P
terdiri dari wakil-wakil kementerian tenaga kerja, kementerian pertanian, dan
kementerian perhubungan masing-masing satu orang, dan dari pihak buruh sebanyak
7 orang, majikan diwakili masing-masing 5 orang. Tim P4P diangkat dan diberhentikan oleh
dewan menteri berdasarkan surat keputusan
presiden. Keputusan yang diambil P4P mengikat para pihak dan tidak boleh dimintakan banding.
[
4.
Penyelesaian Tahap Keempat
Penyelesaian
dalam tahap ini merupakan kebijaksanaan dari menteri tenaga kerja. Kebijaksanaan ini
berupa pembatalan atau penagguhan pelaksanaan putusan P4P dengan pertimbangan
demi pemeliharaan ketertiban umum dan melindungi kepentingan negara (ketentuan
Pasal 17 ayat (2) UUNo.22 tahun 1957). Pebatalan atau penundaan tersebut harus
dirundingkan lebih dahulu dengan para menteri yang salah satu stafnya ada atau
duduk dalam P4P.
5.
Penyelesaian Tahap Kelima
Penyelesaian
tahap ini melalui pengadilan negeri. Dalam hal ini pengadilan negeri hanya menegaskan
bahwa putusan P4D, P4P dan keputusan
menteri tenaga kerja dapat dilaksanakan. Jika ada penegasan dari pengadilan
negeri berarti pelaksanaan keputusan – keputusan tersebut seperti pelaksanaan
keputusan perdata, dapat dikenakan sanksi pidana melalui proses acara pidana.[*]