Pengertian Hukum Perburuhan
Sunday, 26 July 2015
Sudut Hukum | Tentang
pengertian hukum perburuhan, beberapa orang sarjana mengemukakan pendapatnya sebagai
berikut :
- Mr. Molenaar berpendapat : "hukum perburuhan adalah bagian dari hukum yang berlaku yang pada pokoknya mengatur hubungan antara buruh dan najukan, antara buruh dan buruh, serta antara buruh dan penguasa.
- Mr. M.G. Levenbach berpendapat : hukum perburuhan ialah hukum yang berkenaan dengan hubungan kerja dimana pekerjaan itu dilakukan di bawah pimpinan dan dengan keadaan penghidupan yang langsung bersangkut paut dengan hubungan kerja itu.
- Mr. N.E.H. Van Esveld berpendapat : ” hukum perburuhan ialah hukum yang meliputi pekerjaan yang dilakukan oleh swapekerja yang melakukan pekerjaan dan tanggungjawab sendiri.”
- Mr. Mok berpendapat :” hukum perburuhan ialah : hukum yang berkenaan dengan pekerjaan yang dilakukan di bawah pimpinan orang lain dan dengan keadaan penghidupan yang langsung bergandengan dengan pekerjaan itu.
- Prof. Imam Soepomo, SH, berpendapat :” hukum perburuhan adalah suatu himpunan peraturan, baik tertulis maupun tidak, yang berkenaan dengan suatu kejadian dimana seseorang bekerja pada orang lain dengan menerima upah.”
- Mr. Soetikno berpendapat: ” hukum perburuhan adalah keseluruhan peraturan-peraturan hukum mengenai hubungan kerja yang mengakibatkan seseorang secara pribadi ditempatkan dibawah perinta/pimpinan orang lain dan mengenai keadaan keadaan penghidupan yang langsung bersangkut paut dengan hubungan kerja tersebut.”
Dari
berbagai rumusan pengertian tentang hukum perburuhan tersebut dapat disimpulkan
bahwa hukum perburuhan mengandung beberapa unsur, seperti:
- serangkaian peraturan tertulis dan tidak tertulis.
- Peraturan itu mengenai suatu kejadian yang berhubungan dengan pekerjaan.
- Ada orang yang bekerja pada orang lain.
- Ada balas jasa berupa upah.
Banyak
peraturan tentang perburuhan berasal dari kebiasaan-kebiasaan, baik yang
ditetapkan oleh Pemerintah maupun tidak ditetapkan oleh Pemerintah. Sering pula
peraturan perburuhan itu timbul dari adanya ketetapan dari buruh itu sendiri,
majikan atau dari ketetapan mereka (buruh dan majikan) secara bersama-sama
melalui satu perjanjian.
Pada
hakikatnya menurut hukum, buruh itu bebas, karena secara prinsip tidak ada
perbudakan di Indonesia. Akan tetapi, jika dilihat dari hubungan kerja antara
buruh dan majikan secara psikologis buruh tidak bebas, sebab seseorang yang
hanya mengandalkan tenaga kerjanya sebagai sumber penghidupannya akan selalu
terikat pada majikannya dan harus menuruti apa yang diinginkan majikan itu
sejauh masih ada kaitannya dengan hubungan kerja mereka.
Karena
situasi seperti tersebut sering timbul ketidak adilan karena status buruh di
bawah pimpinan majikan, sehingga majikan yang berkedudukan lebih kuat daripada
buruh menuntut prestasi kerja yang maksimal tetapi kurang memperhatikan
kesejahteraan sosial si buruh. Keadaan demikian itu menimbulkan rasa simpati
dari Pemerintah untuk memikirkan bagaimana cara melindungi buruh sebagai pihak
yang lemah.
Oleh
karenannya, Pemerintah mengeluarkan peraturan-peraturan guna melindungi buruh,
serta mengatur hubungan kerja antara buruh dan majikan secara adil sehingga
salah satu pihak tidak ada yang merasa dirugikan. Peraturan ini pada umumnya
merupakan perintah (biasanya dengan kata-kata ”harus” atau ”wajib”), dan
larangan (biasanya dengan kata-kata ”tidak boleh” atau ”dilarang”).
Peraturan-peraturan Pemerintah yang dikeluarkan untuk maksud tersebut ,misalnya
:
- peraturan tentang pemberhentian buruh bukan Eropa, yang mewajibkan majikan dalam pemutusan hubungan kerja atas permintaan buruh memberi surat keterangan.
- peraturan perburuhan di perusahaan perkebunan yang menentukan bahwa perjanjian kerja antara buruh dan majikan (perusahaan) harus dibuat tertulis.
- peraturan di perusahaan industri yang menentukan bahwa jumlah semua potongan upah tidak boleh melebihi 25% upah terakhir (berupa uang).