Pengertian Syukur
Tuesday, 25 August 2015
Sudut Hukum | Definisi Syukur
Kata syukur bahasa berasal dari
kata”syakara”yang berarti membuka, sebagai lawan dari kata kafara (kufur)
yang berarti menutup. Sedangkan menurut istilah syara’ syukur
adalah pengakuan terhadap nikmat yang dikaruniakan Allah yang disertai dengan
ketundukan kepadanya dan mempergunakan nikmat tersebut sesuai dengan kehendak
Allah.
Imam al-Qusyairi mengatakan, ”hakikat syukur
adalah pengakuan terhadap nikmat yang telah diberikan Allah yang di buktikan
dengan ketundukan kepada-Nya. Jadi, syukur itu adalah mempergunakan
nikmat Allah menurut kehendak Allah sebagai pemberi nikmat. Karena itu, dapat dikatakan
bahwa syukur yang sebenarnya adalah mengungkapkan pujian kepada Allah
dengan lisan, mengakui dengan hati akan nikmat Allah, dan mempergunakan nikmat itu
sesuai dengan kehendak Allah.”
Imam Al-Ghazali mengatakan syukur
ada tiga perkara;
Pertama, pengetahuan tentang nikmat, bahwa seluruh nikmat
berasal dari Allah dan Allah-lah yang memberikan nikmat pengetahuan itu kepada
orang yang dikehendaki-Nya. Adapun yang lain hanya perantara untuk sampainya
nikmat itu.
Kedua, sikap jiwa yang tetap dan tidak berubah sebagai
buah dari pengetahuannya yang mendorong untuk selalu senang dan mencintai yang
memberi nikmat dalam bentuk kepatuhan kepada perintah Allah.
Ketiga, menghindari perbuatan maksiat kepada
Allah. Sikap yang demikian itu hanya terjadi
kalau seseorang telah mengenal
kebijaksanaan Allah dalam menciptakan seluruh makhluk-Nya.
Senada dengan imam Al-Qusyairi dan Imam
Al-Ghazali, Ibnu Qudamah berkata ”syukur itu dapat terjadi dengan lisan, hati, dan perbuatan”. Bersyukur
dengan hati adalah keinginan untuk selalu berbuat kebaikan. Bersyukur dengan
lidah ialah mewujudkan rasa terima kasih kepada Allah melalui ucapan dalam
bentuk pujian kepada-Nya.
Bersyukur dengan perbuatan adalah
mempergunakan nikmat Allah menurut kehendak Allah yang memberikan nikmat itu sendiri.
Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menyebutkan
bahwa hakikat syukur adalah mengakui nikmat Allah karena Dialah pemilik
karunia dan pemberian sehingga hati mengakui bahwa segala nikmat berasal dari
Allah SWT. Kemudian anggota badannya tunduk kepada pemberi nikmat itu. Yang
disebut tunduk adalah mentaati dan patuh karena seseorang tidak disebut tunduk,
kecuali jika dia mentaati perintah Allah dan patuh kepada syari’at-Nya. Dengan
demikian syukur merupakan pekerjaan hati dan anggota badan. Syaikh Abdul
Qadir al-Jailani menjelaskan tentang cara bersyukur sebagai berikut, bersyukur
dengan lisan adalah lisan mengakui bahwa nikmat itu berasal dari Allah dan
tidak menyandarkannya kepada makhluk atau kepada dirimu sendiri, daya mu, kekuatanmu,
atau usahamu. Syukur dengan hati adalah dengan keyakinan yang abadi, kuat, dan
kokoh bahwa semua nikmat, manfaat, dan kelezatan yang ada padamu, baik lahir maupun
batin, gerakanmu maupun diammu adalah berasal dari Allah bukan dari selain-Nya,
dan kesyukuranmu dengan lisanmu merupakan ungkapan dari apa yang ada di
dalam hatimu. Sedangkan bersyukur dengan anggota badan adalah hendaknya
kamu menggerakkan dan menggunakannya untuk ketaatan kepada Allah bukan untuk
selainnya dari makhluk.
Menurut al-Jurjaniy, al-syukur
ialah suatu keadaan kebaikan sebagai membalas suatu nikmat. Sama dengan lisan, tangan,
dan hati. Atau dengan perkataan yang lain syukur itu boleh dinyatakan
sebagai suatu sifat yang terpuji dilahirkan melalui lisan (lidah), janan (hati),
dan arkhan (anggota zahir) dengan satu tujuan untuk mengagungkan
kebesaran Allah swt dan ketinggian-Nya disebabkan oleh penganugerahan sesuatu nikmat.
Al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh Sa’id
Hawwa, syukur termasuk salah satu maqam para penempuh jalan ruhani
(salik). Syukur terdiri dari ilmu, hal (kondisi spiritual), dan amal perbuatan. Ilmu adalah dasar
darinya melahirkan hal (kondisi spiritual), dan hal melahirkan amal perbuatan. Ilmu
adalah mengetahui segala kenikmatan berasal dari Allah sang pemberi nikmat. Hal
adalah kegembiraan atas nikmat yang diperolehnya. Amal perbuatan adalah
mengerjakan perbuatan yang dicintai Allah. Amal perbuatan tersebut berkaitan dengan hati, anggota badan, dan lisan.
Sikap syukur perlu menjadi
kepribadian setiap muslim, sikap ini mengingatkan untuk berterimakasih kepada pemberi
nikmat (Allah) dan perantara nikmat yang diperolehnya (manusia). Dengan bersyukur
ia akan rela dan puas atas nikmat Allah SWT yang diperolehnya dengan tetap meningkatkan
usaha guna mendapat nikmat yang lebih baik.
Sikap ini merupakan fondasi seseorang
untuk mengikrarkan keislaman, menjadi muslim, serta selangkah menuju seorang mukmin yang sejati. Menurut Amin Syukur, syukur
adalah menggunakan nikmat Allah secara fungsional dan proposional. Syukur merupakan penampakkan nikmat
Allah yang dikaruniakan padanya baik dengan cara menyebut-nyebut nikmat
tersebut, dengan cara mempergunakannya dijalan yang dikehendaki oleh Allah SWT
atau dengan kata lain syukur adalah menyatakan kegembiraan menerima
nikmat tersebut dalam gerak tubuh dan lisan.[*]