Perkembangan Alasan Perceraian
Tuesday, 4 August 2015
Sudut Hukum | Pada dasarnya hukum Islam
menetapkan bahwa alasan perceraian hanya satu macam saja yaitu pertengkaran
yang sangat memuncak dan membahayakan keselamatan jiwa yang disebut dengan “syiqaq”,
sebagaimana Firman Allah dalam al-Qur’an Surat an-Nisa ayat 35 yang berbunyi:
Artinya: Dan jika kamu khawatir terjadinya perselisihan diantara keduanya (suami dan Isteri), maka utuslah seorang hakam dari keluarga suaminya dan seorang hakam dari keluarga Isteri. Dan jika keduanya menghendaki kebaikan, niscaya Allah memberikan petunjuk kepada keduanya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui dan Maha Mengawasi.
Sedangkan menurut hukum
Perdata, perceraian hanya dapat terjadi berdasarkan alasan-alasan yang ditentukan
Undang-undang dan harus dilakukan didepan sidang Pengadilan. Dalam kaitan ini ada dua
pengertian yang perlu dipahami yaitu istilah “bubarnya perkawinan” dan
“perceraian”.
Perceraian adalah salah satu
sebab dari bubarnya atau putusnya perkawinan. Dalam pasal 199 Kitab
Undang-undang Hukum Perdata BW disebutkan Perkawinan dapat bubar karena (1)
kematian salah satu pihak, (2) keadaan tidak hadirnya suami atau isteri selama
10 Tahun diikuti perkawinan baru si isteri atau suami setelah mendapat izin
dari Hakim, (3) karena putusan hakim setelah adanya perpisahan meja dan
ranjang, serta pembuktian bubarnya perkawinan dalam register catatan sipil,
(4). Perceraian. Sedangkan perceraian yang menjadi dasar bubarnya perkawinan
adalah perceraian yang tidak didahului oleh perpisahan meja dan ranjang.
Tentang hal ini ditentukan dalam pasal 209 Kitab Undang-undang Hukum Perdata
yaitu:
- Zina baik yang dilakukan oleh suami atau isteri,
- Meningggalkan tempat tinggal bersama dengan sengaja,
- Suami atau isteri dihukum selama 5 tahun penjara atau lebih yang dijatuhkan setelah perkawinan dilaksanakan,
- Salah satu pihak melakukan penganiyaan berat yang membahayakan jiwa pihak lain (suami/isteri). Lebih lanjut dalam pasal 208 KUH Perdata bahwa perceraian tidak dapat dilaksanakan berdasarkan atas persetujuan antara suami dan isteri.
Dalam pasal 38 Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disebutkan bahwa putusnya
perkawinan dapat terjadi karena salah satu pihak meninggal dunia, karena perceraian dan karena
adanya putusan pengadilan. Kemudian dalam pasal 39 ayat (2) ditentukan bahwa
untuk melaksanakan perceraian harus cukup alasan yaitu antara suami isteri
tidak akan hidup sebagai suami isteri . Ketentuan ini dipertegas lagi dalam
penjelasan pasal 39 ayat (2) tersebut dan pasal 19 Peraturan pemerintah Nomor 9
tahun 1975 yang mana disebutkan bahwa alasan yang dapat dipergunakan untuk
melaksanakan perceraian adalah:
- Salah satu pihak berbuat zina atau pemabuk, pemadat dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan
- Salah satu pihak meninggalkan pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemauannya.
- Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung
- Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiyaan berat yang membahayakan pihak lain.
- Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang menyebabkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami isteri.
- Antara suami isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Alasan perceraian ini adalah
sama seperti yang tersebut dalam pasal 116 Kompilasi Hukum Islam dengan penambahan
dua ayat yaitu:(a) suami melanggar taklik talak dan (b) peralihan agama atau murtad
yang menyebabkan terjadinya ketidak rukunan dalam rumah tangga.
Memperhatikan alasan-alasan
perceraian yang diterima dalam hukum Perkawinan Nasional, maka dapat
diketahui bahwa hukum positif di Indonesia tidak mengenal lembaga hidup terpisah yaitu
perceraian pisah meja dan pisah tempat tidur (scheding van tafel end bed) sebagaimana diatur dalam
pasal 424 Kitab Undang-undang Hukum Perdata atau dalam lembaga hukum keluarga Eropa yang
dikenal dengan “separation from bed and board”. Selain dari hal ini ketentuan yang diatur
dalam hukum positif Indonesia hampir sama dengan apa yang tersebut dalam
Stb.1933-74 pasal 52 dan Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 208, kecuali
apa yang tersebut dalam Kompilasi Hukum Islam sebagaimana tersebut diatas.
Perkembangan hukum keluarga
di beberapa negara Eropa menunjukkan bahwa alasaalasan perceraian sebagaimana
tersebut diatas sudah banyak dimodifikasi sesuai dengan perkembangan hidup
masyarakat. Di negara Belanda dalam pasal 151 N-BW baru Tahun 1971ditetapkan
bahwa perceraian dapat diputuskan oleh Pengadilan jika perkawinan itu sudah
tidak dapat dirukunkan lagi dan ini adalah sama dengan retaknya rumah tangga
yang tidak dapat diperbaiki lagi (brokendown marriage). Sekarang tidak
dipersoalkan lagi siapa yang bersalah (matrimonial guilt) sehingga
mereka bercerai, yang penting sekarang tidak ada lagi prospek pemulihan
hubungan rumah tangga yang bahagia.
Pihak suami atau isteri yang
mengajukan perceraian kepada Pengadilan harus menunjukkan bukti kepada
hakim bahwa rumah tangganya betul-betul telah retak yang tidak
dapat diperbaiki lagi.
Di Inggris semula menganut
asas bahwa perceraian hanya dapat dilakukan oleh Penggugat yang tidak bersalah
dan dapat membuktikan kesalahan Tergugat bahwa ia telah melakukan pelanggaran dalam
perkawinan. Dalam The Matrimanial Act 1973 ditentukan bahwa gugatan perceraian boleh
diajukan ke Pengadilan oleh Pihak suami atau isteri atas dasar perkawinan yang telah retak (brokendown
marriage) yang tidak dapat diperbaiki lagi. Ini adalah satu-satunya alasan
perceraian menurut hukum keluarga di Inggris. Pengadilan dapat mengabulkan permohonan
perceraian setelah menilai keretakan dari perkawinan tersebut.
Dalam menyelesaikan perkara
perceraian dengan alasan pecahnya perkawinan, Peradilan keluarga Belanda
dan Inggris menempuh prosedur yang mirip dengan prosedur syiqaq dalam hukum Islam. Langkah
pertama setelah perkara terdaftar, pengadilan memberi waktu kedua belah pihak
untuk berfikir secara mendalam. Dalam tenggang waktu tersebut, mereka
diharuskan berkonsultasi dengan tim ahli masalah keluarga yang mirip dengan institusi
hakamain dalam Syiqaq. Hasil kesepakatan mereka akan disahkan
oleh Pengadilan. Langkah kedua ialah, bila kesepakatan tidak tercapai,
pemeriksaan di Pengadilan baru dilakukan dengan menempuh prosedur hukum acara
biasa.
Bustanil Arifin mengutip Dr.
S. Jaffar Husein bahwa kemiripan penyelesaian perkara perceraian karena marriage
break down dengan prosedur Syiqaq (marriage breakdown itu sebenarnya sudah berarti Syiqaq)
membuktikan bahwa dunia sekarang dalam masalah perceraian kembali kepada konsep al-Qur’an.
Sebagaimana telah diuraikan
dimuka, Sebenarnya hukum Islam sudah terlebih dahulu menetapkan bahwa alasan
perceraian hanya ada satu macam saja yaitu pertengkaran yang sangat memuncak dan membahayakan
keselamatan jiwa yang disebut dengan “Syiqaq” atau (broken mariage, marital
breakdown). Namun dengan merinci alasan-alasan cerai yang sebenarnya
hanyalah indikator dari pecahnya sebuah perkawinan. sebagaimana tercantum dalam
pasal 19 PP no 9 Tahun 1975 dan pasal 116 Kompilasi Hukum Islam, sesungguhnya
Hukum Islam di Indonesia telah berjalan mundur kebelakang karena mengikuti
Burgerlijk Wetboek (BW) dan Huwelijke Ordonantie voor Christen Indonesiers
Java, Minahasa en Amboina (HOCI). Sedangkan di Belanda sendiri, ternyata alasan
perceraian seperti yang terdapat dalam Burgerlijk Wetboek dan Huwelijke
Ordonantie voor Christen Indonesiers Java, Minahasa en Amboina telah lama
ditingggalkan.[]
Oleh: Erlan Naofal, S.Ag, M.Ag, dalam makalahnya: PERKEMBANGAN ALASANPERCERAIAN DAN AKIBAT PERCERAIAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM BELANDA