Asas-asas Perjanjian
Monday, 21 September 2015
Sudut Hukum | Asas-asas Perjanjian
a. Asas Konsensualisme
Asas konsensualisme sering diartikan
bahwa dibutuhkan kesepakatan untuk lahirnya kesepakatan. Maksud dalam asas ini ialah perjanjian lahir
dan telah mengikat segera setelah para pihak mencapai kesepakatan atau
consensus, meskipun kesepakatan tersebut telah dicapai secara lisan
semata-mata. Ini berarti pada prinsipnya perjanjian yang mengikat dan berlaku
sebagai perikatan bagi para pihak yang berjanji tidak memerlukan formalitas,
walau demikian, untuk menjaga kepentingan pihak debitur (atau yang berkewajiban
untuk memenuhi prestasi) diadakanlah bentuk-bentuk formalitas atau
dipersyaratkan adanya suatu tindakan tertentu.[1]
b. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas kebebasan berkontrak merupakan asas
yang menduduki posisi sentral di dalam hukum kontrak, meskipun asas ini tidak
dituangkan menjadi aturan hukum namun mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam
hubungan kontraktual para pihak. Kebebasan berkontrak pada dasarnya merupakan
perwujudan dari kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia yang perkembangannya
dilandasi semangat liberalisme yang mengagungkan kebebasan individu.
Menurut asas kebebasan berkontrak,
seseorang pada umumnya mempunyai pilihan bebas untuk mengadakan perjanjian. Asas ini terkandung
suatu pandangan bahwa orang bebas untuk melakukan atau tidak melakukan perjanjian.
Menurut fSutan Remi Sjahdeini asas kebebasan berkontrak menurut hukum
perjanjian Indonesia meliputi ruang lingkup sebagai berikut :
- Kebebasan untuk membuat atau tidak membuat perjanjian.
- Kebebasan untuk memilih pihak dengan siapa ia ingin membuat perjanjian.
- Kebebasan untuk menentukan atau memilih kuasa dari perjanjian yang akan dibuatnya.
- Kebebasan untuk menentukan objek perjanjian.
- Kebebasan untuk menentukan bentuk suatu perjanjian.
- Kebebasan untuk menerima atau menyimpangi ketentuan undang-undang yang bersifat opsional (aanvullend optional).[2]
c. Asas Mengikatnya Kontrak (Pacta Sunt Servanda)
Asas pacta sunt servanda disebut
juga dengan asas kepastian hukum. Asas ini berhubungan dengan akibat
perjanjian. Asas pacta sunt servanda menggariskan bahwa hakim atau pihak
ketiga harus menghormati subtansi kontrak yang dibuat oleh para pihak,
sebagaimana layaknya sebuah undang-undang. Mereka tidak boleh melakukan
intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak.[3]
Setiap orang yang membuat kontrak, dia
terikat untuk memenuhi kontrak tersebut karena kontrak tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi
dan janji tersebut mengikat para pihak sebagaimana
mengikatnya undang-undang. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1338 ayat (1) yang
menentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang–undang
bagi mereka yang membuatnya.
d. Asas Itikad Baik
Asas itikad baik merupakan salah satu
asas yang dikenal dalam hukum perjanjian. Ketentuan tentang itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3)
bahwa perjanjian harus dilakukan dengan itikad
baik. Sementara itu, Arrest H.R di Negeri Belanda memberikan peranan tertinggi
terhadap itikad baik dalam tahap praperjanjian bahkan kesesatan di tempatkan di
bawah asas itikad baik, bukan lagi pada teori kehendak.
Begitu pentingnya itikad baik tersebut
sehingga dalam perundang–undangan atau perjanjian antara para pihak, kedua belah pihak akan berhadapan
dalam suatu hubungan hukum khusus yang dikuasai oleh
itikad baik dan hubungan khusus ini membawa akibat lebih lanjut bahwa kedua belah pihak itu harus
bertindak dengan mengingat kepentingan–kepentingan yang wajar dari pihak lain. Bagi
masing– masing calon pihak dalam perjanjian terdapat suatu kewajiban untuk
mengadakan penyelidikan dalam batas–batas yang wajar terhadap pihak lawan
sebelum menandatangani kontrak atau masing-masing pihak harus menaruh perhatian
yang cukup dalam menutup kontrak yang berkaitan dengan itikad baik. Walaupun itikad
baik para pihak dalam perjanjian sangat ditekankan pada tahap praperjanjian,
secara umum itikad baik harus selalu ada pada setiap tahap perjanjian sehingga
kepentingan pihak yang satu selalu dapat diperhatikan oleh pihak lainnya.
[1]
Kartini
Muljadi & Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Raja Grafindo
Persada, Jakarta, 2006, hlm.34.
[2]
Agus Yudha
Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial,
Kencana,
Jakarta, 2011, hlm.110.
[3]
Salim HS
dkk, Perancangan Kontrak & Memorandum of Understanding (MoU), Sinar Grafika,
Jakarta, 2008, hlm.2.