Kesalahan Dalam Fiqih Mawaris, Menyamakan Bagian Anak Laki-laki dan Perempuan
Friday, 4 September 2015
Sudut Hukum | Kesalahan Dalam Fiqih Mawaris, Menyamakan Bagian Anak Laki-laki dan Perempuan
Menyamakan bagian antara anak laki-laki dengan bagian buat anak perempuan adalah masalah yang klasik dan paling sering terjadi di tengah masyarakat yang mengaku agamis dan islamis.
Padahal ketentuan bahwa bagian untuk anak perempuan itu separuh dari bagian anak laki-laki bukan sekedar karangan atau ciptaan manusia, melainkan sebuah ketetapan yang langsung Allah SWT turunkan dari langit kepada kita.
Kalau mau protes dan keberatan, silahkan langsung ajukan kepada Allah SWT. Kalau di masa pensyariatan dulu, bisa saja keberatan itu direspon langsung oleh Allah, sehingga hukumnya diubah atau minimal diringankan.
Tetapi kita sekarang ini hidup di luar era pensyariatan, maka semua yang sudah ditetapkan itu adalah ketetapan yang tidak bisa diprotes lagi. Protes berart kafir dan menentang hukum-Nya. Dan untuk itu Allah SWT sudah menegaskan ketentuan-Nya yang sudah baku tidak boleh diubah-ubah :
يُوصِيكُمُ اللّهُ فِي أَوْلاَدِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الأُنثَيَيْنِ فَإِن كُنَّ نِسَاء فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِن كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ
Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu : bagian seorang anak lelaki sama dengan bagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. (QS. An-Nisa' : 11)
Saayngnya meski ayat ini sering dibaca berulang-ulang, namun dalam pelaksanannya cenderung hampir semua keluarga menjalankan cara-cara yang bertentangan dengan aturan syariah Islam ini.
Alasnnya bisa bermacam-macam. Bisa saja karena memang tidak tahu adanya aturan tersebut, lantaran selama ini lebih terdidik dengan sistem waris versi Belanda atau adat. Jadi selama ini memang sama sekali tidak pernah tahu menahu urusan pembagian waris.
Namun alasannya kadang bisa juga bukan karena tidak tahu, tetapi menganggap enteng urusan seperti ini. Dikiranya melanggar ketentuan syariah dalam masalah ini tidak mengapa, karena memang selama ini agama yang dijalankannya hanya sebatas masalah ritual dan syiar-syiar belaka.
Kalau urusan shalat, puasa, haji, perayaan hari-hari besar agama, serta hal-hal yang secara umum berbau agama, mungkin tidak pernah lepas dan selalu diupayakan. Tetapi giliran membagi warisnya dilakukan dengan cara yang menyimpang, tidak sadar kalau hal itu pada hakikatnya termasuk perbuatan menentang hukum-hukum Allah SWT, dan ancaman hukumannya bukan hal yang main-main.
Dan kenyataannya, tidak sedikit orang-orang yang setiap tahun bolak-balik pergi haji sekeluarga, tetapi tidak benar cara membagi harta warisan, karena mungkin dianggap urusan waris tidak ada kaitannya dengan agama yang dianutnya.[*]