Ketentuan Hukum Acara Khusus Perselisihan tentang Hasil Pilkada
Monday, 28 September 2015
Sudut Hukum | Ketentuan Hukum Acara Khusus Perselisihan
tentang Hasil Pilkada
Di tengah kelemahan sistem konstitusi
yang ada, MK berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan mewarnai
keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat. Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie
mengatakan:
“dalam konteks ketatanegaraan, MK
dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan
konstitusional di tengah kehidupan masyarakat.”
Dalam rangka mengawal dan menegakkan supremasi konstitusi, demokrasi, keadilan
dan hak-hak konstitusional warga negara, UUD 1945 telah memberikan empat kewenangan dan satu
kewajiban konstitusional kepada MK. Dalam
melaksanakan kewenangan dan kewajiban konstitusional tersebut, hukum acara
sangat diperlukan untuk mengatur mekanisme atau prosedur beracara di MK. Perlu
diperhatikan pula bahwa dalam pelaksanaannya MK harus memperhatikan asas-asas
hukum acara yang berlaku, yaitu persidangan terbuka untuk
umum; independen dan imparsial; peradilan dilaksanakan secara cepat, sederhana,
dan murah; hak untuk didengar secara seimbang (Audi et Alteram Partem); hakim
aktif dan juga pasif dalam proses persidangan; dan Ius curia novit yakni
dilarang menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang
diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas melainkan wajib untuk
memeriksa dan mengadilinya. Hukum acara MK terbagi menjadi dua bagian, yaitu
hukum acara umum dan hukum acara khusus. Ketentuan hukum acara umum mengatur tentang
ketentuan-ketentuan yang bersifat umum, yaitu ketentuan tentang persidangan, syarat
permohonan, dan perihal putusan.
Ketentuan umum dalam hal persidangan di
MK di antaranya; MK mengadili dalam sidang pleno yang dihadiri oleh seluruh hakim yang
terdiri atas 9 (sembilan) orang, hanya dalam
keadaan luar biasa maka sidang pleno tersebut dihadiri sekurang-kurangnya 7 (tujuh) hakim konstitusi. Keadaan
luar biasa itu adalah meninggal dunia atau terganggu fisik/jiwanya sehingga tidak
mampu melaksanakan kewajiban sebagai hakim. Pimpinan sidang pleno adalah Ketua MK. Dalam
hal Ketua berhalangan, maka sidang dipimpin oleh Wakil Ketua, dan manakala
Ketua dan Wakil Ketua berhalangan untuk memimpin sidang, maka pimpinan sidang
dipilih dari dan oleh anggota MK. Pemeriksaan
dapat dilakukan oleh panel hakim yang dibentuk MK, terdiri sekurang-kurangnya 3
(tiga) orang hakim. Hasil dari pemeriksaan panel disampaikan kepada sidang
pleno untuk pengambilan putusan maupun untuk tindak lanjut pemeriksaan. Sidang pleno untuk laporan panel pembahasan perkara dan
pengambilan putusan itu disebut Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) yang tertutup untuk umum. Setelah
RPH mengambil putusan dalam sidang tertutup, maka putusan itu kemudian diucapkan
dalam sidang pleno terbuka untuk umum yang sekurangkurangnya di hadiri oleh 7
(tujuh) orang hakim. Ketentuan
pengucapan putusan dalam sidang terbuka untuk umum
ini merupakan syarat sah dan mengikatnya putusan.
Syarat permohonan di MK antara lain
mengenai Pengajuan Permohonan yang harus ditulis dalam Bahasa Indonesia; ditandatangani oleh
pemohon sendiri atau kuasanya; dibuat 12 (dua
belas) rangkap; dan memuat uraian yang jelas mengenai permohonannya (pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, sengketa kewenangan lembaga
negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, pembubaran partai politik, perselisihan
tentang hasil pemilihan umum, atau pendapat DPR
bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden diduga telah melakukan pelanggaran hukum atau perbuatan
tercela, dan atau tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945). Sistematika uraian pengajuan
permohonan adalah nama dan alamat pemohon atau kuasanya (identitas dan posisi
pihak); dasar-dasar permohonan (posita) yang meliputi kewenangan, kedudukan
hukum (legal standing), pokok perkara, hal yang diminta untuk diputus (petitum)
sesuai dengan ketentuan dalam setiap permohonan, dan dilampiri alat-alat bukti
pendukung.
Dalam Pasal 36 UU No. 8 Tahun 2011
menguraikan alat bukti yang digunakan oleh para pihak untuk membuktikan dalilnya. Macam-macam
alat bukti yang dapat diajukan ke MK adalah surat atau tulisan, keterangan saksi,
keterangan ahli, keterangan para pihak, petunjuk, dan alat bukti berupa informasi
yang diucapkan, dikirimkan, diterima atau disimpan secara elektronik dengan
alat optik atau yang serupa dengan itu. Alat bukti yang disertakan dalam permohonan tersebut akan
diperiksa oleh hakim di dalam sidang. Dalam pemeriksaan tersebut pemohon harus dapat
mempertanggungjawabkan perolehan alat bukti yang diajukan secara hukum.
Pertanggungjawaban perolehan secara hukum tersebut menentukan suatu alat bukti sah atau tidak. Penentuan sah atau tidaknya
alat bukti tersebut dinyatakan dalam persidangan. Terhadap alat bukti yang
dinyatakan sah, MK kemudian melakukan penilaian dengan memperhatikan
persesuaian antara alat bukti yang satu dengan alat bukti yang lain di dalam
RPH. Mengingat pentingnya tahap pemeriksaan pembuktian sebagai tahap yang
menentukan, maka kehadiran para pihak, saksi dan ahli untuk memenuhi panggilan
MK adalah kewajiban. Untuk itu, agar yang dipanggil tersebut dapat
mempersiapkan segala sesuatunya, maka panggilan MK harus telah diterima dalam
jangka waktu paling lambat 3 (tiga) hari sebelum hari persidangan. Dalam hal
saksi tidak hadir dalam persidangan tanpa alasan yang sah, sedangkan saksi
telah dipanggil secara patut menurut hukum, MK dapat meminta bantuan kepolisian
untuk menghadirkannya secara paksa. Sedangkan kehadiran para pihak berperkara
dalam persidangan dapat didampingi atau diwakili oleh kuasanya berdasarkan
surat kuasa khusus. Bahkan dapat pula didampingi oleh selain kuasanya, hanya
saja apabila didampingi oleh selain kuasanya, pemohon harus membuat surat
keterangan yang diserahkan kepada hakim konstitusi dalam persidangan.
Sidang pertama harus ditetapkan dalam
jangka waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan dicatat dalam buku register sebagaimana
diatur dalam Pasal 34 UU No. 8 Tahun 2011
tentang MK. Sidang pertama tersebut adalah sidang untuk pemeriksaan pendahuluan. Sidang ini merupakan
sidang sebelum memeriksa pokok perkara. Dalam
sidang pertama ini MK mengadakan pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan materi permohonan. Pemeriksaan ini dilakukan oleh panel atau
pleno dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang terbuka untuk umum. Apabila dalam pemeriksaan
tersebut ternyata materi permohonan itu tidak lengkap dan/atau tidak jelas,
maka menjadi kewajiban MK memberikan nasihat kepada pemohon untuk melengkapi
dan/atau memperbaikinya. Untuk itu kepada pemohon diberikan waktu paling lambat 14 (empat belas)
hari.
Pemeriksaan permohonan atau perkara
konstitusi dilakukan dalam sidang MK terbuka untuk umum, hanya Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH) yang dilakukan dalam sidang tertutup. Karena
sidang terbuka itu dapat dihadiri oleh siapa saja, sedangkan pemeriksaan
perkara itu memerlukan keseksamaan yang tinggi dan ketenangan, maka setiap
orang yang hadir dalam persidangan itu wajib mentaati tata tertib persidangan.
Di samping itu, berdasarkan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang, MK
telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) tentang tata tertib
persidangan yakni PMK Nomor 03/PMK/2003. Oleh karena itu siapa saja yang
melanggar tata tertib persidangan ini, maka dikategorikan sebagai penghinaan
terhadap MK (contempt of court).
Perihal putusan, dasar hukum putusan
perkara konstitusi adalah UUD 1945 sebagai konstitusi tertulis negara Republik Indonesia. Untuk
putusan yang mengabulkan harus didasarkan pada sekurang-kurangnya 2 (dua) alat bukti
yang sah dan keyakinan hakim bahwa permohonan tersebut memenuhi alasan dan
syarat-syarat konstitusional sebagaimana dimaksud dalam konstitusi. Oleh karena
itu putusan harus memuat fakta-fakta yang terungkap dan terbukti secara sah di
persidangan dan pertimbangan hukum yang menjadi dasarnya. Cara pengambilan
putusan dilakukan dengan musyawarah untuk mufakat dalam RPH melalui sidang
pleno tertutup dipimpin oleh Ketua sidang. Dalam rapat pengambilan putusan
tersebut setiap hakim konstitusi menyampaikan pertimbangan atau pendapat
tertulis terhadap permohonan (legal opinion). Dengan demikian maka tidak ada
suara abstain dalam rapat pengambilan putusan. Dalam hal putusan tidak dapat
dihasilkan melalui musyawarah untuk mufakat, maka musyawarah ditunda sampai
sidang pleno berikutnya. Dalam permusyawaratan tersebut harus diusahakan secara
sungguh-sungguh untuk mufakat, namun apabila ternyata tetap tidak dicapai mufakat,
maka putusan diambil dengan suara terbanyak. Pengambilan putusan dengan suara
terbanyak bisa jadi mengalami kegagalan karena jumlah suara sama. Apabila
demikian, maka suara terakhir ketua sidang pleno hakim menentukan. Dalam pengambilan
putusan dengan cara demikian, pendapat hakim yang berbeda dimuat dalam
putusan. Putusan dapat diucapkan pada hari tersebut juga atau ditunda pada hari
lain, dan hari pengucapan putusan diberitahukan kepada para pihak.
Putusan yang telah diambil dalam RPH
dilakukan editing tata tulis dan redaksinya sebelum ditandatangani oleh hakim yang memeriksa,
mengadili, dan memutus, dan panitera yang
mendampingi hakim, kemudian ditetapkan jadwal pengucapan putusan setelah jadwal tersebut ditetapkan hari,
tanggal, dan jamnya, serta pihak-pihak dipanggil.
Putusan diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum. Sejak pengucapan
tersebut, putusan MK menjadi putusan pengadilan tingkat pertama dan terakhir
yang berkekuatan hukum tetap dan final. Artinya, terhadap putusan tersebut tidak ada upaya
hukum lagi dan wajib dilaksanakan. MK menjatuhkan putusan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Seperti juga putusan pengadilan lainnya, putusan MK harus memuat hal-hal sebagai berikut:
Kepala putusan berbunyi: ”Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”;
- identitas pihak;
- ringkasan permohonan;
- pertimbangan terhadap fakta yang terungkap dalam persidangan;
- pertimbangan hukum yang menjadi dasar putusan;
- amar putusan, dan
- hari dan tanggal putusan, nama hakim konstitusi dan panitera.
Putusan yang telah diucapkan dalam sidang
terbuka untuk umum dan oleh karenanya telah berkekuatan hukum tetap tersebut, salinannya
kemudian harus disampaikan kepada para pihak
paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja sejak putusan diucapkan.
Kemudian mengenai ketentuan hukum acara
khusus di MK dalam mengadili perselisihan tentang hasil pilkada, antara lain mengatur
tentang ketentuan-ketentuan mengenai pemohon
(termasuk materi permohonan dan tenggang waktu pengajuan), KPU sebagai termohon, dan putusan
terhadap perselisihan tentang hasil pilkada.
Ketentuan tentang siapa yang dapat
bertindak sebagai pemohon dalam perselisihan tentang hasil pilkada, berdasarkan Pasal 74 ayat (1)
UUMK adalah pasangan calon kepala daerah dan
wakil kepala daerah sebagai peserta pilkada. Sedangkan materi permohonan dalam perselisihan hasil
pilkada adalah berdasarkan Pasal 4 PMK Nomor 15 Tahun 2008 yang menyatakan, “Objek
perselisihan Pemilukada adalah hasil penghitungan suara yang ditetapkan oleh
Termohon yang mempengaruhi:
- pemungutan Pasangan Calon yang dapat mengikuti putaran kedua pilkada; atau
- terpilihnya Pasangan Calon sebagai kepada daerah dan wakil kepada daerah”.
Pertimbangan Putusan MK dalam perkara
pilkada Nomor 41/PHPU.DVI/ 2008 tertanggal 2 Desember 2008 menegaskan bahwa, “Mahkamah dapat menilai pelanggaran-pelanggaran yang
terstruktur, sistematis, dan masif sebagai penentu putusan dengan alasan pelanggaran yang memiliki
tiga sifat itu dapat mempengaruhi hasil peringkat
perolehan suara yang signifikan dalam Pemilu atau Pemilukada.” Dari pertimbangan MK tersebut,
penulis melihat dalam perkembangan penyeselaian perselisihan tentang hasil
pilkada, MK dapat mengadili perkara tidak hanya pada hasil penghitungan suara
yang telah ditetapkan KPU, tetapi perihal pelanggaran-pelanggaran yang sangat mempengaruhi
hasil penghitungan suara juga dapat menjadi landasan MK untuk mengadili perkara
ini. Hal ini sesuai dengan tujuan MK sebagai penegak keadilan berdasar pada
kebenaran materil, walau hal ini bertentangan dengan peraturan formil MK itu
sendiri yang menyatakan objek perselisihan adalah hasil perhitungan suara.
Dalam hal inilah, seorang hakim mempertaruhkan kepekaan dan kearifannya. Ia
harus memenangkan kebenaran yang menurutnya lebih unggul, meski dengan resiko
mengalahkan aturan resmi. MK tidak boleh membiarkan
aturan keadilan procedural (procedural justice) memasung dan mengesampingkan keadilan
substantif (substantive justice). Tetapi juga tidak
selalu baik apabila selalu mengesampingkan aturan formal karena hal ini membuat
seolah-olah kewibawaan hukum itu sendiri hilang. Jadi untuk kedepannya
sebaiknya ada penyelarasan dalam praktik dan aturan, dan PMK Nomor 15 Tahun
2008 tentang hal-hal yang terkait dengan objek perselisihan tentang hasil
pilkada sebaiknya diperbaiki sehingga aturan tersebut tidak hanya menjadi
aturan yang berdiri yang dalam praktiknya dapat dikesampingkan sehingga aturan itu
tidak mempunyai kewibawaan hukum.
Perselisihan tentang hasil pilkada hanya
dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3 x 24 (tiga kali dua puluh empat) jam
terhitung sejak KPU mengumumkan penetapan hasil pemilu secara nasional dan wajib diputus dalam jangka waktu paling lambat
14 (empat belas) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam BRPK. Karena limitnya waktu pengajuan tersebut dan
luasnya wilayah hukum Republik Indonesia, maka PMK 04/PMK/2004 menetapkan
pengajuan permohonan tersebut dapat dilakukan melalui (faksimili atau e-mail
dengan ketentuan paling lambat 3 (tiga) hari terhitung sejak habisnya tenggang
waktu, permohonan aslinya harus telah diterima oleh MK. 19 Materi permohonan
tersebut harus diuraikan dengan jelas dan rinci terkait dengan kesalahan hasil
penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan hasil penghitungan yang benar
menurut pemohon, dan permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang
diumumkan oleh KPU dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut
pemohon. KPU yang hasil kerjanya
dipersengketakan di MK sangat berkepentingan terhadap permohonan perselisihan
tentang hasil pilkada. KPU sebagai termohon harus diberitahu tentang permohonan
tersebut melalui penyampaian salinan permohonan dan harus diberi kesempatan
dalam pemeriksaan di dalam sidang MK. Penyampaian salinan permohonan tersebut
harus dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak
permohonan di registrasi.
Putusan MK terhadap permohonan yang tidak
memenuhi syarat-syarat kedudukan hukum (legal standing) dan syarat-syarat kejelasan materi sebagaimana dimaksud Pasal 74 ayat (1)
sampai dengan ayat (3) dan Pasal 5 UU MK adalah tidak diterima. Manakala alasan yang menjadi dasar permohonan
terbukti secara hukum dan meyakinkan, maka MK memutuskan mengabulkan
permohonan, menyatakan membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh
KPU, dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar sebagaimana dimaksudkan
oleh pemohon. Sebaliknya, manakala tidak terbukti beralasan, maka MK menyatakan
putusan yang menolak permohonan pemohon. Dalam perkembangan, putusan yang
dikeluarkan MK dalam perkara perselisihan tentang hasil
pilkada bisa mendiskualifikasi calon yang masuk dalam putaran kedua atau pun
pemenang pilkada.
Perkembangan hukum acara MK dalam praktik
membutuhkan ijtihad dari hakim konstitusi dalam rangka menegakkan supremasi konstitusi, demokrasi, keadilan dan hak-hak
konstitusional warga negara. Hukum acara MK adalah hukum formil yang berfungsi
untuk menegakkan hukum materiilnya yaitu bagian dari hukum konstitusi yang
menjadi kewenangan MK. Hukum acara MK dimaksudkan sebagai hukum acara yang
berlaku secara umum dalam perkara-perkara yang menjadi kewenangan MK dan hukum acara yang berlaku secara khusus
untuk setiap kewenangan yang dimaksud.