Pengertian dan Dasar Hukum Wewenang Mahkamah Konstitusi Memutus Perselisihan tentang Hasil Pilkada
Monday, 28 September 2015
Sudut Hukum | Pengertian dan Dasar Hukum
Wewenang Mahkamah Konstitusi Memutus Perselisihan tentang Hasil
Pilkada
Pilkada adalah singkatan dari
pemilihan kepala daerah. Berdasarkan Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22
Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum ditegaskan bahwa “Pemilu Kepala
Daerah dan Wakil Kepala Daerah adalah pemilu untuk memilih kepala daerah dan wakil
kepala daerah secara langsung dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945”. Dari ketentuan UU No. 22 Tahun 2007 tersebut, pilkada ditempatkan ke dalam
rezim (wilayah) pemilihan umum. Sementara, menurut ketentuan pemilihan
umum yang diatur di dalam Bab VIIB tentang Pemilihan Umum pasal 22E ayat (2)
UUD 1945 disebutkan bahwa “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.” Jadi sebenarnya semula pemilihan umum itu
dilakukan untuk memilih pemimpin secara nasional yang meliputi pemilihan
Presiden dan Wakil Presiden dan pemilihan legislatif. Tetapi, meskipun Pasal
22E ayat (2) UUD 1945 di atas tidak menyebutkan Kepala daerah dan Wakil Kepala
Daerah pemilihannya sebagai bagian dari penyelenggaraan pemilu, namun ketentuan
UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu menempatkan pilkada masuk ke
dalam rezim (wilayah) pemilihan umum.
Pilkada merupakan mekanisme
demokrasi dalam rangka rekruitmen pemimpin di daerah di mana rakyat
secara menyeluruh memiliki hak dan kebebasan untuk memilih calon-calon
yang didukungnya.[1] Penulis memahami pilkada
sebagai salah satu fenomena yang ada di dalam sistem demokrasi negara Indonesia
yang merupakan agenda pemerintah bagi masyarakat daerah untuk menentukan
pemimpinnya sendiri. Merujuk pada kriteria-kriteria tersebut, maka pilkada juga
bisa diartikan sebagai pemilihan umum bagi masyarakat daerah untuk memilih
pemimpinnya sendiri.
Pemilihan tersebut memerlukan
perangkat lain untuk mendukung prosesnya, termasuk perangkat hukum
(lembaga hukum) yang dapat mengadili apabila terjadi
perselisihan tentang hasil pilkada. Mekanisme pemerintahan seperti itu harus
dilakukan dengan tata cara yang demokratis pula. Penyelenggaraan
pemerintahannya harus dijalankan secara demokratis yang antara lain meliputi
tata cara penunjukan pejabat, penentuan kebijakan, pertanggungjawaban,
pengawasan, sampai penentuan tentang siapa yang akan mengadili apabila terjadi
perselisihan tentang hasil pemilihan kepala daerah.
Perselisihan tentang hasil
pemilihan kepala daerah adalah perselisihan antara pasangan calon kepala daerah
dan wakil kepala daerah sebagai peserta pilkada dan KPU provinsi dan/atau
KPU kabupaten/kota sebagai penyelenggara pemilu. Yang
diperselisihkan adalah penetapan penghitungan suara hasil pemilihan kepala
daerah yang ditetapkan oleh KPU provinsi atau KPU kabupaten/kota yang
mempengaruhi penentuan calon untuk masuk ke putaran kedua pilkada atau
terpilihnya pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.[2]
Perselisihan tentang hasil
pemilihan kepala daerah semula menjadi kewenangan MA untuk memutus dan
mengadili, namun kemudian kewenangan tersebut dialihkan ke MK yang pada dasarnya
kewenangan MK adalah memutus perselisihan tentang hasil penghitungan
suara pemilihan umum yang sifatnya nasional. Berdasarkan ketentuan
Pasal 79 UU No. 8 Tahun 2011 tentang MK, kewenangan memutus Perselisihan
tentang Hasil Pemilihan Umum (PHPU) meliputi PHPU Presiden dan Wakil Presiden
dan PHPU Legislatif yaitu anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan
Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dan berdasarkan Pasal
74 ayat (2) UU No. 8 Tahun 2011 tentang MK, Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU)
adalah perselisihan antara peserta pemilu (perseorangan calon anggota DPD,
pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, atau parpol) dan KPU sebagai
penyelenggara pemilu; yang diperselisihkan adalah penetapan perolehan suara
hasil pemilu secara nasional oleh KPU; dan perselisihan penetapan perolehan
suara hasil pemilu secara nasional yang dimaksud harus mempengaruhi terpilihnya
calon anggota DPD, penentuan terpilihnya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden
atau penentuan untuk dipilih kembali pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
putaran kedua, atau perolehan kursi parpol peserta pemilu di suatu daerah
pemilihan.
Namun setelah Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah diundangkan,
kewenangan MK ditambah lagi yaitu memutus perselisihan tentang hasil
pilkada yang semula merupakan kewenangan MA. Pasal 236C UU No. 12
Tahun 2008 tersebut menyatakan “Penanganan perselisihan hasil penghitungan
suara pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah oleh Mahkamah Agung
dialihkan kepada Mahkamah Konstitusi paling lama 18 (delapan belas) bulan sejak
Undang-Undang ini diundangkan”. Jadi, sejak dikeluarkannya UU No. 12 Tahun 2008
tentang Pemerintahan Daerah, kewenangan memutus perselisihan tentang hasil pilkada
yang semula merupakan kewenangan MA dialihkan ke MK. Sehingga pada tanggal 29
Oktober 2008, Ketua MA Prof. Dr. Bagir Manan dan Ketua MK Prof. Dr. Moh. Mahfud
MD menandatangani berita acara pengalihan wewenang memutus perselisihan tentang
hasil pilkada melalui nota kesepahaman antara MA dan MK sebagai pelaksanaan
amanat UU No. 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah.
Jadi, kewenangan MK dalam
memutus perselisihan tentang hasil pilkada merupakan kewenangan yang baru
dimiliki oleh MK karena sebelumnya merupakan kewenangan yang dimiliki
oleh MA. Yang menjadi perbincangan dan perdebatan di masyarakat adalah mengenai
kontitusional atau tidaknya pengalihan wewenang memutus perselisihan tentang
hasil pilkada dari MA ke MK tersebut. Untuk dapat dikatakan sebagai
konstitusional, maka harus ada ketentuannya di dalam UUD 1945 sebagai
konstitusi negara. Konstitusi sebagai dasar hukum yang tertinggi dibentuk atas
dasar kesepakatan rakyat sehingga konstitusi haruslah mempunyai nilai-nilai
demokrasi. Sebab, suatu konstitusi yang baik harus menjamin kedaulatan hukum
yang mengedepankan demokrasi. Pemilu berhubungan erat dengan demokrasi karena
sebenarnya pemilu merupakan salah satu cara pelaksanaan demokrasi.[3]
Pilkada merupakan mekanisme demokrasi
dalam rangka rekruitmen pemimpin di daerah di mana rakyat secara
menyeluruh memiliki hak dan kebebasan untuk memilih calon-calon yang
didukungnya. Seperti halnya Pemilu yang juga merupakan mekanisme demokrasi
dalam rangka rekruitmen pemimpin, namun secara nasional, di mana rakyat secara
menyeluruh juga memiliki hak dan kebebasan untuk memilih calon-calon pemimpin
nasional yang didukungnya. Sebagai bagian dari demokrasi, pilkada bersumber dan
berasal dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Di dalam UUD 1945
menjelaskan bahwa Negara Indonesia merupakan Negara demokrasi yang mempunyai kedaulatan
di tangan rakyat sekaligus sebagai Negara dengan kedaulatan hukum. Hal ini ditegaskan di
dalam pasal 1 ayat (2) yang menyatakan, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan
dilaksanakan menurut Undang- Undang Dasar.”
Landasan konstitusional MK
dalam melaksanakan kewenangannya memutus perselisihan tentang hasil
pemiliham umum adalah Pasal 24C UUD tahun 1945 dan landasan hukum
lainnya adalah Pasal 10 ayat (1) huruf d, Pasal 74, dan 79 Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah
dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Namun
karena kewenangan MK memutus perselisihan tentang hasil pilkada tidak
disebutkan secara eksplisit di dalam UUD 1945 maka kewenangan tersebut tidak
berdasarkan landasan konstitusional, tetapi memiliki landasan hukum lain yaitu
berdasarkan Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007, Pasal 106 ayat
(1) dan ayat (2) dan Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 Perubahan
Kedua atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, Pasal 4 PMK Nomor 15 Tahun 2008,
dan berita acara pengalihan wewenang mengadili dari MA kepada MK tanggal 29
Oktober 2008.
[1]
Bagir Manan, Menyongsong Fajar Otonomi Daerah,
Yogyakarta: FH UII Press, Cet. Ke-3, 2004, h. 59.
[2]
Ahmad Fadlil Sumadi, “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi,”
Disampaikan pada acara Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA) yang diselenggarakan atas
kerjasama Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang dengan Perhimpunan Advokat
Indonesia (PERADI) pada Kamis, 24 Januari 2013 di Hotel Kencana, Bandungan, Semarang, h.
19-21.
[3]
Moh. Mahfud MD, Hukum dan Pilar-pilar Demokrasi,
Yogyakarta: Gama Media, 1999, h. 220.