Prinsip Pembuktian Perkara Pidana
Saturday, 19 September 2015
Sudut Hukum | Prinsip
Pembuktian Perkara Pidana
Dalam
pembuktian pidana terdapat beberapa prinsip yaitu :[1]
a) Hal-hal yang dimuat di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Prinsip ini terdapat
pada Pasal 184 ayat (2) KUHAP yang berbunyi:
Hal-hal yang
secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan atau disebut dengan istilah notoke
feiten. Secara garis besar fakta notoke dibagi menjadi dua golongan, yaitu:
- Sesuatu atau peristiwa yang diketahui umum bahwa sesuatu atau peristiwa tersebut memang sudah demikian halnya atau semestinya demikian. Yang dimaksud sesuatu misalnya, harga emas lebih mahal dari perak. Yang dimaksud dengan peristiwa misalnya, pada tanggal 17 Agustus diadakan peringatan hari Kemerdekaan Indonesia.
- Sesuatu kenyataan atau pengalaman yang selamanya dan selalu mengakibatkan demikian atau selalu merupakan kesimpulan demikian. Misalnya, arak adalah termasuk minuman keras yang dalam takaran tertentu bisa menyebabkan seseorang mabuk.
b) Kewajiban seorang saksi
Kewajiban
seseorang menjadi saksi diatur pada penjelasan Pasal 159 ayat (2) KUHAP yang
menyebutkan: Orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang
pengadilan untuk memberikan keterangan tetapi dengan menolak kewajiban itu ia
dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku,
demikian pula dengan ahli.
c) Satu saksi bukan saksi (unus testis nulus testis)
Prinsip ini
terdapat pada Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang menegaskan bahwa keterangan seorang
saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap
perbuatan yang didakwakan kepadanya.
Berdasarkan
KUHAP, keterangan satu saksi bukan saksi tidak berlaku bagi pemeriksaan cepat.
Hal ini dapat disimpulkan dari penjelasan Pasal 184 KUHAP sebagai berikut:
"Dalam acara pemeriksaan cepat, keyakinan hakim cukup didukung satu alat
bukti yang sah".
d) Pengakuan terdakwa tidak menghapuskan kewajiban penuntut umum membuktikan kesalahan terdakwa.
Prinsip ini merupakan
penegasan dari lawan prinsip "pembuktian terbalik" yang tidak dikenai
oleh hukum acara pidana yang berlaku di Indonesia. Menurut Pasal 189 ayat (4)
KUHAP yang berbunyi: keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan
bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan
harus disertai dengan alat bukti lain.
e) Keterangan terdakwa hanya mengikat pada dirinya sendiri.
Prinsip ini diatur pada Pasal 189 ayat
(3) KUHAP yang menentukan bahwa: "Keterangan terdakwa hanya dapat
digunakan terhadap dirinya sendiri". Ini berarti apa yang diterangkan
terdakwa di sidang pengadilan hanya boleh diterima dan diakui sebagai alat
bukti yang berlaku dan mengikat bagi diri terdakwa sendiri. Menurut asas ini,
apa yang diterangkan seseorang dalam persidangan yang berkedudukan sebagai
terdakwa, hanya dapat dipergunakan sebagai alat bukti terhadap dirinya sendiri.
Dalam suatu perkara terdakwa terdiri dari beberapa orang, masing-masing
keterangan setiap terdakwa hanya merupakan alat bukti yang mengikat kepada
dirinya sendiri. Keterangan terdakwa A tidak dapat dipergunakan terhadap
terdakwa B, demikian sebaliknya.
[1] Hari
Sasangka dan Lily Rosita. 2003. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana,
Bandung: Mandar Maju, hlm. 20.